Kupi Beungoh
Epilog Prabowo–Mualem: Era Baru, Narasi Baru, Harapan Baru - Penutup
Prabowo–Mualem adalah salah satu dari sedikit anomali itu--sebuah pertemuan antara pusat dan pinggiran, antara sejarah dan masa depan
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
TIDAK banyak momentum dalam sejarah daerah yang datang dengan keseimbangan antara legitimasi politik lokal, otoritas nasional, dan harapan rakyat.
Prabowo–Mualem adalah salah satu dari sedikit anomali itu--sebuah pertemuan antara pusat dan pinggiran, antara sejarah dan masa depan, antara kenangan luka dan impian nikmat.
Selama bertahun-tahun, Aceh berjalan dalam ritme yang terpisah.
Kini, untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir, ada kemungkinan ritme itu diselaraskan.
Dengan komposisi kekuasaan yang unik, harapan baru muncul ahwa Aceh tidak lagi berjalan sendiri, melainkan berdialog aktif dengan republik secara dewasa dan kadang bahkan setara.
Dalam enam artikel sebelumnya, kita telah menelusuri fondasi narasi Prabowo–Mualem dari berbagai sisi.
Pertama, tentang bagaimana rahmat yang diberikan Tuhan melalui geografi dan sejarah, mesti dijadikan nikmat melalui kerja keras, kebijakan cerdas, dan tata kelola yang baik.
Kedua, kita menegaskan pentingnya otonomi asimetris--bukan sebagai keistimewaan kosong, tetapi sebagai bentuk hubungan yang berlandaskan resiprositas dan pengakuan sejarah.
Kita juga menelisik bagaimana pembangunan mesti dimulai dari fondasi konkret.
Infrastruktur dasar, konektivitas wilayah, layanan dasar, hingga ekonomi berbasis sumber daya dan keunggulan lokal.
Kita bicara tentang Sabang dan peluang transshipment global.
Tentang Sumitronomics--sebuah tawaran geopolitik dan geostrategis untuk menjadikan Aceh sebagai gerbang ekonomi pulau besar yang selama ini tertinggal narasinya.
Kita menyinggung peluang energi baru dari Blok Andaman, dan masa depan hijau yang menanti jika Leuser dijadikan poros pembangunan berkelanjutan di wilayah tengah Aceh.
Namun, semua itu hanya akan menjadi retorika jika tidak ditopang oleh tiga prasyarat fundamental yang selama ini menjadi kelemahan kronis Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.