Kupi Beungoh
Epilog Prabowo–Mualem: Era Baru, Narasi Baru, Harapan Baru - Penutup
Prabowo–Mualem adalah salah satu dari sedikit anomali itu--sebuah pertemuan antara pusat dan pinggiran, antara sejarah dan masa depan
Otonomi akan terus menjadi romantisme administratif.
Bangga karena “milik sendiri” tapi gagal karena tak mampu mengelola.
Tapi mari kita melangkah lebih jauh.
Di tengah transformasi ini, kita perlu menyelami satu gagasan yang lebih dalam--yakni geografi kebangsaan.
Sebuah ide yang mencoba mensintesis dua cara pandang lama dalam hubungan pusat-daerah- geografi kekuasaan dan geografi kepemilikan.
Geografi kekuasaan adalah cara pusat memandang daerah sebagai wilayah yang harus dijaga kestabilannya, dikendalikan otoritasnya.
Geografi kepemilikan adalah cara rakyat daerah memandang tanahnya sebagai warisan leluhur, sumber hidup, dan basis identitas.
Keduanya kerap bertabrakan, terutama ketika kebijakan dan pembangunan dipaksakan tanpa mendengar aspirasi lokal.
Tapi Prabowo–Mualem bisa menjembatani keduanya.
Mereka, terutama Mualem harus menjadikan Aceh bukan sebagai objek kontrol, tapi sebagai subjek pembangunan.
Semangat Geografi Kebangsaan
Inilah semangat geografi kebangsaan—bahwa republik ini dibangun bukan atas dasar dominasi, tetapi atas dasar pengakuan dan dihargai yang nyaris menuju kesetaraan.
Setiap daerah berhak untuk tumbuh sesuai karakternya, tanpa harus kehilangan loyalitas pada republik.
Prabowo, sebagai presiden, punya kekuatan untuk mendorong paradigma ini.
Mualem, sebagai gubernur, punya peluang untuk membuktikan bahwa otonomi bisa sejalan dengan integrasi nasional.
Dari Sabang hingga Singkil, dari pantai barat hingga dataran tinggi tengah, narasi ini bisa dijalankan dengan nyata.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.