Opini

Pengaturan Informasi Publik yang Dikecualikan

Namun demikian, keterbukaan informasi tidak bersifat absolut, karena terdapat informasi-informasi tertentu yang oleh negara ditetapkan sebagai informa

Editor: mufti
IST
M Zubair SH MH, Kadis Kominfo dan Persandian Bireuen 

M Zubair SH MH, Kadis Kominfo dan Persandian Bireuen

KETERBUKAAN informasi merupakan salah satu pilar utama dalam pemerintahan yang demokratis. Di Indonesia, semangat keterbukaan informasi publik diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Undang-undang ini menjamin hak warga negara untuk mengetahui informasi publik sebagai bentuk akuntabilitas dan partisipasi terhadap penyelenggaraan negara.

Namun demikian, keterbukaan informasi tidak bersifat absolut, karena terdapat informasi-informasi tertentu yang oleh negara ditetapkan sebagai informasi yang dikecualikan. Yakni informasi yang tidak dapat diberikan kepada publik karena alasan hukum, keamanan, privasi, atau kepentingan strategis lainnya. Di sinilah pentingnya pengaturan yang tegas dan bijak terhadap informasi publik yang dikecualikan.

Tanpa adanya ketentuan dan keputusan yang jelas, keterbukaan dapat menjadi bumerang yang mengancam kerahasiaan negara, melanggar hak privat, atau bahkan merusak proses penegakan hukum. Maka, dalam tulisan ini akan membahas signifikansi pengaturan informasi publik yang dikecualikan.

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 memberi dasar hukum yang kuat bagi setiap warga negara untuk mengakses informasi yang berada dalam penguasaan badan publik.
Hal ini merupakan implementasi dari prinsip-prinsip demokrasi modern yang menempatkan rakyat sebagai subjek aktif dalam pengawasan pemerintahan. Melalui keterbukaan, rakyat dapat menilai kinerja pemerintah, mencegah praktik korupsi, dan ikut serta dalam perumusan kebijakan publik.

Namun keterbukaan ini memiliki batasan yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP, menyebutkan bahwa informasi yang dikecualikan adalah informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada publik dapat menghambat proses penegakan hukum; mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; membahayakan pertahanan dan keamanan negara; mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; merugikan ketahanan ekonomi nasional; merugikan kepentingan hubungan luar negeri.

Kemudian; dapat mengungkapkan isi akta autentik yang bersifat pribadi dan rahasia; mengungkap rahasia pribadi seseorang; mengungkap rahasia jabatan; dan mengungkap rahasia lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, keterbukaan informasi tidak bersifat mutlak. Justru perlu pengaturan yang hati-hati agar keterbukaan tidak mengorbankan kepentingan strategis negara maupun individu.

Signifikansi pengaturan

Pengaturan informasi yang dikecualikan memiliki arti penting dalam tiga dimensi utama: Pertama, Menjaga Kepentingan Strategis Negara. Negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga rahasia tertentu demi stabilitas nasional. Informasi yang menyangkut pertahanan, intelijen, diplomasi, dan ekonomi makro misalnya, harus dikelola secara tertutup agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam hal ini, pengecualian informasi menjadi instrumen penting dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan negara. Kedua, Melindungi Hak Privasi dan Kerahasiaan Individu. Informasi publik tidak berarti informasi personal atau rahasia seseorang bisa disebarluaskan tanpa izin. Identitas korban kejahatan, data medis pasien, dan informasi keuangan individu merupakan contoh data yang wajib dijaga kerahasiaannya. Pengaturan yang tepat akan mencegah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan penyalahgunaan data pribadi.

Ketiga, Mendorong Kepastian Hukum dan Administrasi. Penetapan informasi yang dikecualikan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) melalui uji konsekuensi menciptakan landasan hukum yang jelas dalam pengelolaan informasi. Kejelasan ini penting agar tidak terjadi multitafsir atau keputusan sepihak yang dapat memperlemah prinsip keterbukaan. Keputusan yang terdokumentasi dan dapat diuji menjadi bentuk akuntabilitas dan perlindungan terhadap penyalahgunaan wewenang. Informasi publik yang dikecualikan tersebut harus melewati uji konsekuensi dan dapat diuji dalam jangka waktu tertentu.

Kewajiban uji konsekuensi terhadap informasi publik yang dikecualikan diatur dalam Pasal 19 UU KIP yang berbunyi, “Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dengan seksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu dikecualikan untuk diakses setiap orang”.

Meski telah ada landasan hukum, praktik pengaturan informasi yang dikecualikan masih menghadapi sejumlah tantangan. Antara lain, kurangnya kapasitas Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Tidak semua badan publik memiliki PPID yang profesional dan memahami secara mendalam tentang klasifikasi informasi. Akibatnya, banyak permintaan informasi yang ditolak tanpa uji konsekuensi yang sahih atau tanpa dokumen penetapan informasi yang dikecualikan sebagaimana mestinya.

Selain itu potensi penyalahgunaan untuk menutup akses Informasi, dimana ada kecenderungan sebagian pihak menggunakan dalih "informasi dikecualikan" untuk menutupi informasi yang seharusnya terbuka. Terutama jika menyangkut dugaan korupsi, konflik kepentingan, atau penyimpangan kebijakan. Hal ini tentu mencederai semangat keterbukaan dan akuntabilitas publik.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved