Liputan Eksklusif

Teumeunak di Media Sosial Bisa Bikin Murtad

Padahal, kebiasaan berkata kasar di media sosial dapat menimbulkan dampak serius, baik secara pribadi maupun sosial. 

Editor: mufti
COVER KORAN SERAMBI INDONESIA
HEADLINE SERAMBI INDONESIA EDISI RABU 20250723 

Sebabkan Stres hingga Potensi Kegilaan pada Anak

Jangan lihat konten ini. Langsung scroll. Ini akan membuat algoritma konten negatif tidak naik, sehingga mengurangi motivasi untuk membuat konten serupa. Hetti Zuliani, Psikolog dan Profesional Konselor dari USK

Psikolog dan Profesional Konselor dari Universitas Syiah Kuala (USK), Hetti Zuliani, PhD, menjelaskan dampak negatif dari kebiasaan berbicara kasar, atau yang dikenal sebagai teumeunak dalam bahasa Aceh, di media sosial. Fenomena ini menjadi sorotan di Aceh karena maraknya keluhan masyarakat terhadap tingginya kasus teumeunak, terutama di platform seperti TikTok dan Facebook, baik dalam bentuk narasi maupun teks. Bahkan, ada usulan pembentukan Satgas Penegak Etika Media Sosial untuk menegur, membina, hingga memberikan sanksi kepada pelaku teumeunak.

Menurut Hetti, kebiasaan bertutur kasar, baik secara lisan maupun tulisan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, hingga potensi gangguan jiwa, terutama pada anak-anak yang berada di lingkungan orang tua yang membudayakan teumeunak. “Perilaku agresi verbal seperti ini berpotensi menyebabkan gangguan kecemasan, stres, bahkan depresi pada anak. Dalam kasus ekstrem, anak bisa terisolasi dan mendekati kondisi seperti skizofrenia atau gangguan jiwa,” ungkap Hetti saat dihubungi pada Selasa (22/7/2025).

Hetti menjelaskan bahwa kebiasaan ‘teumeunak’ sering kali dipicu oleh krisis identitas di kalangan masyarakat. Kekhawatiran tidak mendapatkan perhatian di media sosial, atau yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO), mendorong sebagian orang memilih menjadi kreator konten negatif dengan menggunakan bahasa kasar untuk menarik perhatian. “Banyak yang meragukan identitas diri mereka dan berpikir bahwa tanpa kata-kata kasar, konten mereka tidak akan viral,” ujarnya. Padahal, menurut Hetti, menjadi positif atau negatif sama-sama berpotensi viral jika dilakukan secara konsisten.

Namun, kebiasaan ini tidak hanya berdampak pada audiens, tetapi juga pada pelaku itu sendiri. “Jiwa kita sebenarnya tidak siap menerima perkataan buruk seperti itu. Ketika pelaku merasa tidak mendapat perhatian meski sudah menggunakan kata-kata kasar, mereka cenderung meningkatkan agresi verbalnya untuk menarik perhatian lebih,” jelas Hetti.

Dampak teumeunak sangat signifikan terhadap anak-anak. Orang tua yang sering menggunakan bahasa kasar berpotensi membentuk persepsi negatif pada anak-anak mereka. “Anak-anak yang tumbuh dengan branding negatif dari orang tua cenderung meniru perilaku agresi verbal dan mengalami gangguan sosial, yang dapat berujung pada depresi atau bahkan skizofrenia,” tambah Hetti.

Untuk mengatasi fenomena ini, Hetti menyarankan agar masyarakat menemukan nilai positif dalam diri mereka dan menonjolkannya secara konsisten di media sosial. Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak melihat konten berbau teumeunak, bahkan sekilas pun. “Jangan lihat konten ini. Langsung scroll. Ini akan membuat algoritma konten negatif tidak naik, sehingga mengurangi motivasi untuk membuat konten serupa,” katanya.

Selain itu, Hetti menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengintervensi perilaku kasar di media sosial melalui kebijakan yang tegas. Menurutnya, para pelaku media sosial seperti TikToker atau selebgram memiliki pengaruh besar, dan anak-anak menjadi korban utama dari konten negatif. “Tanpa intervensi pemerintah, akan sulit memfilter atau mencegah menjamurnya bahasa kasar di media sosial,” pungkas Hetti.(rn)

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved