Kupi Beungoh
Hilirisasi Aceh: Dari Pemasok Mentah Menuju Daerah Bernilai Tambah
Di sinilah pentingnya memahami dan menggerakkan hilirisasi secara serius. Hilirisasi adalah proses mengolah bahan
Oleh: Mahfudz Y. Loethan, Wakil Komite Tetap Bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah Kadin Indonesia
PEREKONOMIAN Aceh hari ini masih dikepung oleh kenyataan pahit: kita kaya sumber daya, tetapi miskin nilai tambah. Potensi laut, perkebunan, pertanian, dan hasil bumi kita melimpah, namun belum dikelola secara optimal untuk mendatangkan kesejahteraan yang merata. Salah satu akar persoalannya adalah posisi Aceh yang selama ini lebih sering menjadi pemasok bahan mentah, sementara pengolahan dan keuntungan utamanya dinikmati oleh daerah atau pihak lain.
Di sinilah pentingnya memahami dan menggerakkan hilirisasi secara serius. Hilirisasi adalah proses mengolah bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Tanpa hilirisasi, kita hanya menjadi “penyedia bahan baku” bagi industri di luar, sementara nilai ekonomi dan lapangan kerja justru dinikmati oleh pihak lain. Hilirisasi adalah jalan untuk menciptakan produk lokal yang berdaya saing, menyerap tenaga kerja, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.
Di Aceh, sektor perikanan menunjukkan potensi luar biasa yang belum tergarap maksimal. Produksi ikan laut dari Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo di Banda Aceh mencapai lebih dari 14.000 ton per tahun, didukung oleh lebih dari 350 kapal penangkap dan pengangkut. Namun, sebagian besar hasil tangkapan dijual dalam bentuk segar atau beku. Produk olahan seperti fillet, ikan kaleng, atau makanan laut kemasan masih sangat terbatas. Bahkan hingga hari ini, belum ada satu pun pabrik sarden lokal yang beroperasi di Aceh, padahal bahan bakunya tersedia melimpah setiap hari.
Baca juga: Teuku Riefky Harsya Menteri Ekonomi Kreatif Aceh Jadi Prioritas Ekraf
Kita pernah punya inisiatif lokal seperti Makjar, merk ikan keumamah kaleng yang lahir dari semangat UMKM Aceh. Produk ini sempat tampil sebagai pionir, namun kini hilang dari pasaran. Sang pemilik pernah kami temui dan mengungkap bahwa minimnya kepedulian dan dukungan dari pemerintah menjadi alasan utama kegagalan bertahan.
Keumamah, atau yang juga dikenal sebagai ikan kayu, adalah makanan khas Aceh yang dibuat dari ikan tongkol yang direbus, lalu dijemur hingga kering, dan dimasak kembali dengan bumbu tradisional khas Aceh seperti asam sunti dan rempah aromatik. Rasanya gurih, aromanya kuat, dan bisa bertahan lama tanpa pengawet. Potensi keumamah sebagai produk kuliner kemasan ekspor sangat besar, apalagi di era tren makanan khas daerah dan nostalgia kuliner. Namun tanpa dukungan hilirisasi yang nyata, potensi ini tak akan pernah jadi kekuatan ekonomi.
Saat ini memang ada beberapa produk ikan keumamah kemasan yang mulai tumbuh, tapi untuk berkembang, mereka butuh dukungan sistemik- perizinan yang mudah, sertifikasi, fasilitasi pasar, dan tentu saja akses pembiayaan. Gagalnya bertahan hidupnya Makjar adalah bukti nyata bahwa hilirisasi tidak bisa berjalan sendiri. Sebagus apa pun produk lokal, tanpa kolaborasi nyata - tanpa hadirnya pemerintah, dukungan pasar, akses pembiayaan, dan keberpihakan masyarakat—ia akan tersingkir.
Sektor perkebunan sawit juga memiliki cerita yang sama. Di wilayah pantai barat dan selatan Aceh, ribuan hektare sawit menghasilkan tandan buah segar dalam jumlah besar. Namun sebagian besar hanya diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO), tanpa proses hilirisasi lanjutan seperti minyak goreng kemasan, sabun, atau bioenergi. Jika pabrik pengolahan dibangun lebih dekat ke sumber bahan baku, maka nilai tambahnya akan tinggal di daerah, bukan pergi ke luar Aceh.
Sektor pertambangan pun tidak berbeda. Di berbagai daerah, seperti Aceh Barat, Aceh Tengah, dan Pidie, tambang emas dan batuan mineral aktif dieksplorasi. Namun ekspor bahan mentah terus berlangsung tanpa pemurnian lokal. Bijih emas, tembaga, dan logam lainnya langsung dikirim ke luar Aceh tanpa proses hilirisasi di daerah. Padahal jika dilakukan pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam provinsi, kita bisa membuka rantai industri baru, dari pemisahan logam mulia, pengemasan batangan logam, hingga industri perhiasan dan logistik ekspor.
Aceh seharusnya tidak hanya menjadi lubang tambang, tapi juga rumah bagi industri pengolahan mineral yang ramah lingkungan dan padat karya. Pemerintah harus memfasilitasi regulasi dan infrastruktur pendukung agar investor tambang tidak hanya menggali, tapi juga mengolah di tempat. Inilah makna hilirisasi tambang: menghentikan ekspor mentah, dan mulai memproduksi nilai tambah dari kekayaan bumi sendiri.
Begitu pula dengan sektor pertanian. Aceh bukan hanya penghasil ikan dan sawit—tetapi juga beras dari persawahan-peladang di Pidie, Aceh Besar, Aceh Utara, hingga Aceh Barat Daya. Namun faktanya, sebagian besar hasil gabah dari petani kita justru dikirim ke provinsi tetangga seperti Sumatera Utara. Di sana, gabah itu digiling, dikemas dengan merek modern, lalu dijual kembali ke Aceh dengan harga lebih tinggi. Ini ironi yang harus kita akhiri. Mengapa kita tidak bisa membangun pabrik penggilingan modern sendiri? Mengapa kita tidak bisa menciptakan merek beras unggulan Aceh yang bisa bersaing di rak swalayan?
Kita terlalu lama tergantung pada sistem yang tidak adil. Petani kita kerja keras, tapi nilai tambah justru mengalir ke luar daerah. Hilirisasi pangan harus jadi perhatian serius. Pemerintah daerah harus mulai memetakan lokasi-lokasi strategis untuk membangun rice milling unit modern dan industri pengemasan beras lokal. Aceh harus mampu menghadirkan merek beras sendiri yang tidak kalah dari luar.
Contoh yang patut dicermati datang dari dataran tinggi Gayo. Kopi Arabika Gayo sudah dikenal luas di pasar global karena cita rasanya yang khas. Tapi produk kopi lokal kita masih banyak dijual dalam bentuk green bean—biji mentah. Padahal jika diproses secara penuh menjadi roasted bean, dikemas modern, diberi merek, dan dipasarkan langsung, nilainya bisa berkali lipat. Beberapa pelaku usaha muda di Aceh Tengah mulai mengarah ke sana. Ini bukti bahwa hilirisasi bisa dimulai dari skala kecil—asal ada ekosistem yang mendukung.
Begitu juga dengan minyak nilam dan biji pala, dua komoditas aromatik dan rempah yang menjadi kekuatan Aceh di peta ekspor nasional. Nilam Aceh dikenal berkualitas tinggi dan digunakan sebagai bahan baku parfum dunia. Namun selama ini nilam lebih banyak dijual dalam bentuk minyak mentah. Hilirisasi bisa mendorong produk turunan seperti parfum herbal, sabun aromaterapi, atau minyak relaksasi dalam kemasan premium. Pala juga demikian, bisa diolah menjadi manisan, bumbu instan, hingga minyak atsiri untuk pasar kecantikan. Tapi hingga kini, industri olahan pala di Aceh belum mendapat perhatian serius.
Pemerintah Aceh sendiri sebenarnya telah menetapkan hilirisasi sebagai strategi utama pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja berkualitas. Ini langkah maju, tapi tidak cukup jika tidak diikuti dengan kebijakan dan keberpihakan nyata. Pemerintah harus hadir lebih aktif: memberi pelatihan, memfasilitasi perizinan, membuka jalur distribusi, hingga memastikan produk lokal bisa masuk ke swalayan dan jaringan ritel modern.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.