Jurnalisme Warga

Jejak Leluhur Dalam DNA: Sebait Puisi Genetik dari Masa Silam

Di balik sampel setetes liur yang saya kirimkan ke laboratorium di luar negeri, terdapat kisah yang lebih panjang daripada umur manusia

Editor: mufti
IST
Prof. Dr. JASMAN J. MA’RUF, M.B.A, Profesor Manajamen Pemasaran Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univversitas Syiah Kuala (USK), melaporkan dari Banda Aceh 

Genetika bukan hanya bicara tentang tempat. Ia juga menyimpan sifat dan karakteristik tubuh: apa yang kita rasakan, makan, takutkan, dan bahkan pikirkan.

Saya misalnya, memiliki kemungkinan tinggi mengalami kerontokan rambut dini. Saya lebih suka makanan asin daripada manis. Saya memiliki kotoran telinga kering dan tidak takut berbicara di depan umum. Anehnya, semua itu juga muncul dalam hasil tes genetika.

Yang lebih menakjubkan, bahkan cara saya merespons bau, atau risiko saya terhadap gigitan nyamuk, tersimpan di dalam DNA.

Para ilmuwan menyebutnya sebagai traits atau sifat-sifat turunan yang dipengaruhi oleh kombinasi gen. Seperti kumpulan partitur, mereka bisa menyusun harmoni kepribadian dalam tubuh saya. Di sana, saya bukan hanya tubuh. Saya adalah teks panjang yang ditulis oleh waktu dan keturunan.

Saudara jauh, jejak dekat

Hasil DNA ini juga membawa saya ke pertemuan yang tak terduga: dengan mereka yang berbagi darah, walau tak pernah saya temui.

Nama-nama muncul: Bakri Siddiq, Robin Block, Maria Daly, Cindy Williams, dan Azman Kamaruddin.

Ada yang sepupu tingkat lima, tingkat tujuh, bahkan kesebelas. Namun, gen kami terhubung.

Yang paling menakjubkan adalah anak saya pun berbagi segmen DNA dengan mereka. Dalam pohon keluarga yang tak tercatat oleh silsilah, genetika menjadi jembatan sunyi yang menghubungkan kembali.

Mereka tinggal di benua lain, mungkin berbahasa lain, berdoa kepada Tuhan yang berbeda. Namun, di balik semua itu, kami berbagi sekuens basa nitrogen yang sama. Kami adalah potongan yang terpisah dari mosaik yang sama.

Masa lalu menulis tubuh

Malam itu saya menatap layar hasil DNA saya. Akan tetapi, saya tak lagi melihat grafik. Saya melihat wajah-wajah tanpa nama—petani di Gujarat, pelaut dari Aceh, pedagang dari Basra, dan mungkin budak yang dibawa jauh dari Afrika Timur. Mereka semua hidup, sejenak, di dalam saya. Dan kini, di dalam anak saya, mereka hidup lebih jauh lagi.

Ilmu telah membuat saya berpikir ulang: Bahwa tubuh ini bukan hanya milik saya, melainkan juga milik masa lalu.

Dan bahwa saya—kita semua—adalah perpanjangan tangan dari ratusan kisah cinta, peperangan, pelayaran, dan pengampunan.

Jejak leluhur itu nyata. Ia bukan sekadar kenangan, melainkan juga instruksi biologis, yang menjadikan kita siapa kita hari ini. Jejak mereka tak hilang. Mereka hidup: dalam DNA.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved