KUPI BEUNGOH

Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan?

Ekonom senior Kwik Kian Gie pernah mengingatkan, “Kita tidak sedang membangun. Kita sedang menumpuk risiko bagi generasi mendatang

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Muhammad Nasir, Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe, Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban, dan Penulis Buku Manajemen ZISWAF 

Oleh: Dr. Muhammad Nasir

"Bangsa yang hidup dari utang, perlahan mati dari kehormatan."

Ketika siang kian panas dan malam kian gelisah, negeri ini melangkah di atas jembatan tipis bernama utang.

Di bawahnya menganga jurang ketidakpastian, sementara di atas pundaknya memikul beban triliunan yang terus membengkak. 

Hingga Mei 2025, total utang pemerintah Indonesia telah menembus Rp8.340 triliun (Kementerian Keuangan RI, 2025). 

Ini bukan sekadar angka, melainkan denyut yang menggambarkan arah dan keberlanjutan bangsa.

Utang: Instrumen atau Ketergantungan?

Utang negara sejatinya bukan semata instrumen fiskal, melainkan cermin keberanian politik, tanggung jawab moral, dan visi lintas generasi. 

Jika utang terus dijadikan tongkat ajaib untuk menambal defisit, kapan bangsa ini akan berjalan dengan kaki sendiri—yakni kemandirian dan keberanian?

Struktur utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp5.990,72 triliun (71,8 persen) dan pinjaman lainnya sebesar Rp2.349,28 triliun (28,2 persen). 

Baca juga: Kasus Pemukulan Pelajar si Aceh Timur  Masih dalam Penyelidikan, Diduga Karena Utang

Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah tren beban bunga utang

Dalam RAPBN 2025, anggaran pembayaran bunga utang mencapai Rp519 triliun, melampaui belanja pendidikan tinggi dan hampir setara dengan anggaran kesehatan nasional (sekitar Rp189 triliun). 

Ketika alokasi pembayaran bunga utang telah mendekati belanja kementerian teknis, kita sedang menghadapi persoalan mendasar: bukan sekadar defisit fiskal, melainkan defisit keberanian.

Rasionalitas Ekonomi vs Kepekaan Moral

Selama rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen, sebagaimana disyaratkan oleh Maastricht Treaty, banyak pihak menilai utang Indonesia masih dalam batas “aman”. 

Namun aman secara angka belum tentu sehat secara nurani. 

Ekonom senior Kwik Kian Gie pernah mengingatkan, “Kita tidak sedang membangun. Kita sedang menumpuk risiko bagi generasi mendatang.” (CNN Indonesia, 2023).

Ini bukan semata kritik terhadap kebijakan, melainkan ajakan untuk menimbang ulang arah pembangunan: apakah kita sedang membangun dengan kaki sendiri, atau terus mengandalkan tongkat utang yang rapuh?

Perspektif Syariah: Utang Bukan Solusi Permanen

Dalam Islam, utang (dayn) adalah solusi darurat, bukan strategi permanen. Ulama kontemporer seperti Dr. Erwandi Tarmizi menegaskan bahwa:

“Utang tidak boleh mendatangkan manfaat bagi pemberi utang, karena jika demikian maka jatuh dalam riba. Sebab utang bukan akad bisnis, melainkan akad tolong-menolong.”
(Harta Haram Muamalat Kontemporer, 2020, hlm. 94).

Baca juga: Viral Hitung-hitungan 1 Penduduk RI Tanggung Rp 28 Juta Agar Utang Negara Lunas, ini Kata Kemenkeu

Al-Qur’an secara eksplisit melarang praktik riba (QS. Al-Baqarah: 275–279) karena bukan hanya merusak ekonomi, tetapi juga menghancurkan etika sosial. Rasulullah SAW bahkan pernah menolak menyalatkan jenazah orang yang wafat dalam kondisi memiliki utang yang belum dilunasi (HR. Muslim).

Lebih lanjut, Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam magnum opus-nya Fiqh al-Zakah menulis:

“Kebiasaan berutang adalah tanda lemahnya manajemen dan rendahnya tanggung jawab. Negara yang hidup dalam bayang-bayang utang berarti telah menjual masa depannya demi kepentingan sesaat.”  (Jilid 2, hlm. 105).

Dari Angka Menuju Arah

Utang seharusnya dialokasikan untuk belanja produktif yang dapat meningkatkan kapasitas fiskal jangka panjang bukan untuk subsidi konsumtif atau pembiayaan proyek mercusuar yang penuh kepentingan politik jangka pendek. 

Sebab jika tidak, utang hanya menjadi topeng yang menutupi kegagalan struktural.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah memperingatkan:

“Ketika pajak menjadi alat penindasan dan utang dijadikan fondasi kekuasaan, maka kehancuran negara hanya tinggal menunggu waktu.”

Krisis fiskal yang didiamkan tanpa reformasi adalah kemunduran yang disamarkan dengan pembangunan semu.

Menuju Etika Fiskal Baru

Sudah saatnya Indonesia bergerak dari paradigma teknokratis menuju etika fiskal berbasis keberkahan, kemandirian, dan keadilan antargenerasi. 

Sejumlah instrumen dan pendekatan alternatif telah tersedia, tinggal menanti keberanian politik dan kejujuran moral untuk menggunakannya.

1. Optimalisasi Sukuk Negara (SBSN)

Sejak 2013, lebih dari 4.000 proyek strategis telah dibiayai melalui Sukuk Berbasis Aset: dari pembangunan madrasah, jembatan, hingga rumah sakit (DJPPR, 2024). 

Negara seperti Malaysia, Turki, dan Uni Emirat Arab menjadikan sukuk sebagai instrumen utama pembiayaan pembangunan tanpa harus terjebak dalam jerat bunga ribawi.

2. Penguatan ZISWAF sebagai Pilar Fiskal

Potensi zakat Indonesia mencapai Rp327 triliun per tahun, sementara potensi wakaf uang menurut Badan Wakaf Indonesia diperkirakan mencapai Rp180 triliun. 

Namun realisasi penghimpunan masih jauh dari harapan: zakat baru mencapai sekitar Rp33,7 triliun (BAZNAS, 2024).

 Jika dikelola secara profesional, transparan, dan digital, potensi ini bisa menjadi sumber pembiayaan sosial yang mandiri dan berkeadilan.

Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abul A’la al-Maududi:

“The economic life of a nation cannot be truly Islamic unless it is freed from the bondage of interest.”  (Economic Teachings of Islam, 1969).

Membangun Tanpa Menyandera

Pembangunan sejati tidak diukur dari berapa kilometer jalan dibangun atau gedung tinggi menjulang, tetapi dari seberapa adil, mandiri, dan bermartabat rakyatnya. Kita bukan anti utang. Tapi kita menolak menjadikan utang sebagai napas hidup bernegara.

Prof. Muhammad Umer Chapra menekankan:

“Borrowing beyond the ability to repay is not just economically unsound, it is ethically irresponsible and Islamically unacceptable.”  (The Future of Economics, 2000).

Jika fiskal tidak dijalankan dengan keberanian, maka APBN hanya menjadi neraca angka, bukan neraca amanah. Kita harus ingat, sejarah tidak mencatat seberapa mewah monumen dibangun, tetapi seberapa bijak peradaban diwariskan.

Penutup: Membangun dengan Keberanian, Bukan Utang

Kini saatnya kesadaran kolektif digugah: bahwa bangsa yang terus hidup dari utang adalah bangsa yang perlahan kehilangan arah, kehilangan keberanian, dan kehilangan kehormatan.

Mari kembali pada prinsip-prinsip fiskal Islam yang berkeadilan dan memberdayakan. Mari berinvestasi pada keberkahan, bukan pada beban bunga. Dan mari membangun peradaban dengan keberanian, bukan dengan ketergantungan.

Baca juga: Cara Nabung Agar Rekening Tidak Dianggap Dormant Lalu Diblokir PPATK, Pakar Siber Sarankan Hal Ini

"Utang mungkin solusi sesaat, tapi hidup dari utang adalah jalan buntu bagi bangsa yang kehilangan arah, kehilangan daya, dan kehilangan kehormatan."

*) PENULIS adalah Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe, Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban, dan Penulis Buku Manajemen ZISWAF

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved