Kupi Beungoh
Aceh, Mesin Tanpa Bensin
Betapa tidak, Provinsi Aceh telah dianugerahi Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, minyak dan gas bumi (migas), tambang mineral, perkebunan, dan
Oleh: Muhammad Habibi *)
PEMERINTAH Aceh di bawah kepemimpinan Mualem–Dek Fadh hendaknya menyadari bahwa negeri yang sedang mereka pimpin ialah mesin ekonomi dengan tenaga yang besar.
Betapa tidak, Provinsi Aceh telah dianugerahi Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, minyak dan gas bumi (migas), tambang mineral, perkebunan, dan hasil laut yang diminati mancanegara.
Namun, semua itu kerap dijadikan jualan utama pemerintah daerah untuk mendatangkan investor dengan mengabaikan satu bahan bakar penting, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM).
Sejatinya, mereka lupa bahwa masa depan suatu daerah bertumpu pada kualitas manusianya, bukan sekadar yang tersimpan di perut bumi.
Hari ini, Aceh ibarat mesin raksasa, namun tanpa bensin.
Mesin itu memang terlihat kokoh dan menjanjikan, tetapi tidak punya kemampuan untuk bergerak jauh karena bahan bakarnya tidak pernah disiapkan dengan serius.
Baca juga: Ketua Forbes Aceh TA Khalid Desak Menteri ESDM Selesaikan Alih Kelola Blok Migas di Aceh
Secara ekonomi, ketersediaan SDA Aceh pada sektor migas terbukti telah memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui dana bagi hasil.
Tetapi, tanpa SDM yang terampil dan siap pakai, Aceh akan berhadapan dengan tantangan besar, yaitu: seberapa banyak SDM Aceh bisa bekerja pada industri ini?
Setelah konflik bersenjata berakhir pada 2005, Aceh rutin mendapatkan hak Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dengan harapan dapat mengejar ketertinggalan.
Khususnya di bidang pembangunan sumber daya manusia. Salah satu agendanya melalui pelayanan fasilitas pendidikan yang memadai.
Beberapa politeknik, akademi, dan SMK didirikan di berbagai kabupaten/kota.
Meski hampir 20 tahun DOKA ditransfer dari pusat, hari ini pemerintah daerah hanya mampu mengandalkan slogan “Aceh Damai dan Aman Berinvestasi” untuk menggoda investor datang dan berinvestasi di Aceh.
Baca juga: 12 Bidang Tanah di Blok Migas Pase Bersertifikat Diserahkan ke BPMA dan Triangle
Benar bahwa tanpa jaminan rasa aman, mustahil modal asing maupun domestik mau bersandar, karena investor sangat fokus pada risiko instabilitas politik dan keamanan.
Tetapi kondisi aman hanya menjadi prasyarat minimal. Investasi membutuhkan lebih dari sekadar suasana tenteram.
Faktor lain yang sering luput adalah kualitas sumber daya manusia.
Investasi besar sering kali memerlukan tenaga kerja terampil di bidang teknis, manajemen, hingga penguasaan teknologi terbaru.
Lemahnya link and match antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri membuat Aceh akan terus kekurangan tenaga kerja siap pakai dan terampil.
Namun pertanyaannya: sudahkah pembangunan SDM di Aceh berjalan seiring dengan visi pengelolaan SDA?
Baca juga: Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh
Faktanya setelah enam bulan pelantikan, pemerintahan Mualem–Dek Fadh hanya sibuk mengenai peluang investasi di Aceh tanpa sekalipun menyinggung keterhubungan antara sekolah vokasi yang ada di Aceh dengan kebutuhan sumber daya manusia pada industri yang sudah dan akan hadir di Aceh agar para lulusan dapat bekerja nantinya.
Ironisnya, investor yang tertarik mengelola SDA di Aceh justru akan lebih banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhannya.
Link and Match
Salah satu tantangan mendasar pembangunan SDM di Aceh saat ini adalah lemahnya keterhubungan (link and match) antara lembaga pendidikan vokasi seperti SMK dan politeknik dengan kebutuhan nyata dunia industri.
Padahal, link and match ini adalah kunci agar investasi yang masuk ke Aceh tidak hanya memindahkan modal, tetapi juga membuka lapangan kerja yang layak bagi putra-putri Aceh.
Sebagai contoh konkret, Aceh punya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang didorong menjadi pusat industri pengolahan gas, pupuk, dan logistik.
Baca juga: Cari Sumber Migas, Aceh Energy Mulai Eksplorasi Blok Bireuen Sigli pada 2026
Namun, pertanyaannya, apakah sekolah vokasi di sekitar KEK sudah menyiapkan program studi yang match?
Apakah siswa SMK atau politeknik di Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Utara memiliki keterampilan pengelasan pipa, perawatan mesin produksi, manajemen rantai pasok, atau logistik modern?
Jawabannya masih jauh dari itu.
Selama ini, narasi pengembangan sekolah vokasi di Aceh sering hanya berhenti pada pembangunan gedung baru, penambahan jurusan, atau pengadaan peralatan praktik.
Sayangnya, itu belum menjamin keterkaitannya dengan kebutuhan investor.
Kurikulum masih banyak yang generik dan tertinggal dari perkembangan teknologi industri.
Baca juga: Bupati Al-Farlaky Minta Bagi Hasil Migas yang Lebih Adil Untuk Aceh Timur
Seharusnya, sekolah vokasi yang adaptif mampu menangkap detail kebutuhan ini, lalu menjadikannya kompetensi dasar di kurikulum.
Dengan begitu, lulusan akan relevan dengan peluang kerja yang tercipta.
Link and match juga erat kaitannya dengan peran pemerintah daerah. Pemerintah harus bertindak sebagai penyambung kepentingan sekolah dan industri.
Pemerintah daerah harus memfasilitasi pertemuan rutin antara SMK/Politeknik dengan asosiasi pengusaha, BUMN, maupun investor.
Data kebutuhan tenaga kerja harus disusun rapi, disampaikan ke sekolah, dan diterjemahkan menjadi pembaruan kurikulum.
Tanpa itu, sekolah akan terus berjalan di jalurnya sendiri, sementara industri menunggu SDM yang tak kunjung siap.
Baca juga: Aceh Energi Segera Eksplorasi Migas, BPMA Ajak Pemkab Bireuen Kolaborasi
Kita bisa belajar dari daerah atau negara yang tidak punya SDA besar, tetapi unggul berkat SDM.
Singapura, Jepang, dan Korea Selatan adalah contoh yang menarik.
Mereka minim SDA, tetapi membangun manusia lewat pendidikan berkualitas, riset, inovasi teknologi, dan budaya kerja yang unggul.
Mesin mereka kecil, tetapi bensinnya berkualitas tinggi.
Aceh punya peluang besar untuk memperbaiki situasi ini. Potensi SDA tetap harus dikelola secara bijak dan berkelanjutan.
Namun, kunci nilai tambahnya terletak pada SDM. Pemerintah Aceh juga harus berani melakukan revolusi link and match.
Baca juga: Polda Aceh Tegaskan Siap Dukung Pengamanan Kegiatan Hulu Migas
Ini berarti bukan hanya membangun gedung sekolah baru, tetapi memastikan guru dan instruktur industri hadir di ruang kelas.
Dunia usaha perlu dilibatkan sejak mendesain kurikulum, membuka pintu magang, hingga rekrutmen langsung.
Wajibkan setiap investor yang masuk ke Aceh untuk mendirikan sekolah vokasi binaan dan merumuskan jurusan yang sesuai kebutuhan, serta menyiapkan sarana dan prasarana penunjangnya.
Singkatnya, jika Aceh ingin investasi berjalan inklusif, bukan hanya menghadirkan pabrik tetapi juga menghidupkan kantong ekonomi rakyat, maka link and match bukan lagi jargon, melainkan kerja bersama.
Sekolah vokasi harus berubah menjadi mesin produksi SDM siap kerja yang mengisi ruang-ruang industri yang sudah dan akan dibangun.
Pembangunan SDM harus menjadi program prioritas.
Baca juga: ORF Migas Blok Andaman Ditetapkan di Lhokseumawe, Walikota Sayuti: 80 Persen Harus Tenaga Lokal
Hari ini, Aceh memang ibarat mesin megah yang masih mogok. SDA besar, tetapi SDM belum sepenuhnya siap menjadi penggerak.
Sudah saatnya kita berhenti menjual narasi SDA tanpa menyiapkan bahan bakarnya. Tanpa SDM unggul, Aceh hanya akan terus menjadi ladang subur yang hasilnya dinikmati orang lain.
Membangun manusia berarti menyiapkan bensin untuk mesin Aceh.
Karena pada akhirnya, emas hitam (migas) bisa habis, tetapi emas abu-abu (otak manusia) akan terus menghasilkan energi kemajuan. Semoga (*)
PENULIS adalah Dosen Teknik Mesin Universitas Malikussaleh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.