Liputan Eksklusif Aceh

20 Tahun Damai Aceh, 2 Tantangan Terbesar dalam Menjaganya Menurut Rektor Unimal

Kedua hal itu bisa mengancam stabilitas dan menggerogoti perdamaian Aceh dan yang telah dicapai dengan susah payah.

|
Penulis: Jafaruddin | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM/JAFARUDDIN
DAMAI ACEH - Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal), Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, S.T., M.T., IPM., ASEAN.Eng menyampaikan beberapa hal tentang 20 tahun perdamaian Aceh. 

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Tepat dua dekade sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh masih berdiri damai hingga hari ini. 

Dalam rangka memperingati momen penting ini, kami melakukan wawancara eksklusif dengan Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal), Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, S.T., M.T., IPM., ASEAN.Eng, yang juga merupakan tokoh masyarakat Aceh dengan komitmen tinggi terhadap pembangunan dan perdamaian berkelanjutan.

Berikut petikan lengkap wawancaranya. Di bagian akhir wawancara ini, kami juga menyajikan kembali video detik-detik perdamaian Aceh tercapai saat penandatangan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. 

Apa makna 20 tahun damai Aceh bagi Bapak secara pribadi dan sebagai tokoh masyarakat?

Secara pribadi saya sangat bersyukur. Damai Aceh dari tahun 2005 hingga 2025 adalah damai terpanjang dalam sejarah Aceh setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ini pencapaian besar dan anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut kita syukuri.

Momentum ini harus terus dijaga oleh seluruh masyarakat Aceh bersama Pemerintah dan stakeholder lainnya.

Sebagai masyarakat Aceh, kita punya tanggung jawab bersama untuk menjaga dan merawat perdamaian ini demi mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat.

Apa harapan terbesar Pak Rektor agar perdamaian ini tetap langgeng dalam 20 tahun ke depan?

Harapan saya adalah agar semua pihak menyadari bahwa tiada perdamaian abadi tanpa keadilan dan kesejahteraan.

Maka, kita semua wajib memajukan Aceh melalui pembangunan sektor ekonomi rakyat, serta pemerataan akses pendidikan dan kesehatan.

Kedua sektor ini merupakan pondasi penting untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan dan mempercepat peningkatan taraf hidup masyarakat Aceh.

Menurut Bapak, apa tantangan paling besar dalam menjaga perdamaian Aceh saat ini?

Tantangan terbesar adalah kemiskinan dan kebodohan. Ketika masyarakat masih hidup dalam kemiskinan, mereka sangat rentan terhadap provokasi.

Begitu pula kebodohan, yang membuat masyarakat mudah diadu domba.

Kedua hal ini bisa mengancam stabilitas dan menggerogoti perdamaian yang telah kita capai dengan susah payah.

Bagaimana seharusnya peran generasi muda dalam menjaga dan meneruskan semangat damai ini?

Generasi muda wajib memahami sejarah panjang perdamaian Aceh, terutama momen penting pada 15 Agustus 2005.

Mereka harus tahu dampak nyata dari konflik berkepanjangan yang merusak sendi kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi Aceh.

Generasi muda harus ikut menjaga perdamaian ini melalui langkah konkret, seperti menggunakan media sosial secara bijak, tidak menyebarkan hoaks, dan tidak memprovokasi masyarakat.

Mereka juga harus aktif dalam pembangunan Aceh melalui inovasi di sektor pertanian, perkebunan, kelautan, dan jasa.

Apakah Bapak merasa semua butir MoU Helsinki telah dijalankan secara adil dan konsisten? Jika belum, bagian mana yang paling krusial untuk segera dituntaskan?

Masih ada beberapa poin penting dalam MoU Helsinki yang belum terlaksana secara konsisten dan adil.

Salah satu yang paling krusial adalah terkait penyelenggaraan pemerintahan Aceh, terutama di bidang ekonomi.

Pemerintah Aceh seharusnya diberi otonomi penuh dalam pengelolaan sumber daya alam seperti migas, tambang, hutan, dan kelautan, termasuk pengelolaan pelabuhan dan bandara.

Selain itu, dalam hal kerja sama ekonomi luar negeri, Pemerintah Aceh perlu diberi ruang lebih luas dengan dukungan dari pemerintah pusat.

Bagaimana Bapak melihat peran agama dan budaya lokal dalam mendukung perdamaian jangka panjang di Aceh?

Peran agama dan budaya lokal sangat penting dan strategis. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang religius.

Karena itu, ulama dan tokoh adat memiliki tanggung jawab besar untuk terus mengedukasi dan membimbing masyarakat.

Agama dan budaya harus dijadikan penyangga utama dalam menciptakan perdamaian yang berakar kuat dan berkelanjutan.

Apa pesan Pak Rektor untuk pemerintah pusat dan pemerintah Aceh agar tidak mengabaikan akar konflik di masa lalu?

Banyak konflik di dunia ini lahir dari ketidakadilan, kemiskinan, dan kesenjangan kekuasaan.

Belajar dari sejarah kelam Aceh, saya berharap pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh benar-benar fokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama melalui pemerataan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan penguatan ekonomi rakyat.

Jangan sampai akar penyebab konflik dulu diabaikan begitu saja, karena bisa menjadi bara yang sewaktu-waktu menyala kembali.

Apakah korban konflik dan keluarganya sudah cukup mendapatkan keadilan dan perhatian? Apa langkah konkret yang masih perlu diambil?

Saya rasa negara masih memiliki tanggung jawab besar terhadap korban konflik. Mereka harus menjadi tanggungan negara.

Anak-anak korban harus mendapatkan pendidikan sampai jenjang sarjana, akses pelayanan kesehatan yang baik, serta bantuan ekonomi untuk pemberdayaan keluarga mereka. 

Jika diberi kesempatan berbicara kepada seluruh rakyat Aceh hari ini, pesan damai apa yang ingin Bapak sampaikan?

Mari kita semua bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia perdamaian ini.

Kita juga berterima kasih kepada pencetus perdamaian ini, Bapak SBY dan Bapak Jusuf Kalla.

Tanpa peran mereka, damai ini mungkin tak pernah terwujud.

Sebagai rakyat Aceh, kita wajib menjaga dan merawat perdamaian ini demi masa depan yang lebih baik untuk anak cucu kita.

Apa satu hal yang menurut Pak Rektor dapat memperkuat perdamaian Aceh, jika dilakukan bersama oleh semua pihak?

Kolaborasi dan kebersamaan. Semua hal akan terasa lebih ringan dan lebih mudah jika dilakukan secara bersama-sama.

Pemerintah Aceh harus merangkul semua elemen masyarakat, baik ulama, tokoh adat, akademisi, pemuda, maupun pelaku usaha.

Kita harus bangun Aceh bersama, sebagai buah dari perdamaian ini. Hanya dengan semangat bersama, kita bisa mewujudkan Aceh yang maju, adil, dan bermartabat.

Dua puluh tahun perdamaian bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari perjuangan membangun peradaban baru yang damai, berkeadilan, dan sejahtera.(*)

Baca juga: Jelang 20 Tahun Damai Aceh, Munawar Liza: MoU Helsinki Semakin Hambar!

Baca juga: Dua “Lelah”, Satu Bencana: MoU Helsinki dan Damai, Menang?

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved