Opini
20 Tahun Damai, Aceh belum Maju Seperti Dijanjikan
SEJAK penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh memasuki babak baru dalam sejarahnya, yaitu dari konflik bersenjata
Namun, analisis akademis mengkritik efektivitas pemanfaatan dana tersebut. Menurut penelitian, meskipun dana Otsus dikeluarkan besar, pengalokasiannya belum mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan maupun meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan secara substansial. Contohnya, saat BPS pada 2021 menyatakan Aceh sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatra (15,33 % penduduk miskin), hal ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap target dan pelaksanaan program Otsus.
Penelitian menyebut korupsi, lemahnya perencanaan, koordinasi antar daerah, dan perubahan regulasi yang sering terjadi sebagai penyebab dana Otsus tidak efektif mencapai sasaran. Selama kurun waktu 2017 hingga semester I 2018, tercatat total kerugian negara akibat korupsi di Aceh mencapai 349,9 miliar rupiah. Jumlah ini setara dengan 4.374 unit rumah sederhana untuk warga miskin.
Dalam praktiknya, banyak inisiatif pemerintah daerah yang masih bersifat simbolik. Misalnya, penegakan syariat Islam dan promosi pariwisata halal memang menegaskan identitas Aceh, tetapi capaian riil dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan manusia perlu lebih diutamakan. Data juga menunjukkan bahwa Aceh masih masuk kategori provinsi termiskin Sumatra dengan persentase penduduk miskin sekitar 14–15 % , meski ada tren penurunan tipis. Juga, meski IPM meningkat, Aceh belum mencapai tingkat ketahanan masyarakat seperti di provinsi dengan IPM tertinggi (di atas 80).
Secara keseluruhan, Aceh perlu menggeser fokus dari retorika identitas semata ke strategi pembangunan berbasis data dan hasil nyata. Pemerintah Aceh kini tampak menyadari hal ini dengan menekankan program yang “diukur melalui data BPS”. Misalnya, peningkatan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan) terus dilakukan untuk membuka akses ekonomi. Investasi di SDM melalui pelatihan tenaga kerja dan peningkatan kualitas guru/dokter juga menjadi agenda.
Ke depan, upaya transformasi menuju pembangunan substansial harus terus didorong oleh indikator terukur seperti pertumbuhan ekonomi yang inklusif, IPM dan rata-rata lama sekolah yang meningkat, turunnya angka kemiskinan dan pengangguran, serta kualitas pelayanan publik yang dapat diakses merata di seluruh kabupaten/kota. Dengan pendekatan seperti ini, diharapkan “istimewanya Aceh” benar-benar memberi dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, bukan hanya simbol formalitas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.