Salam
Dua Dekade Damai, Mari Kita Rawat Aceh
15 Agustus 2005. Sebuah perjanjian damai yang mengakhiri lebih dari tiga dekade konflik bersenjata, sekaligus membuka lembaran baru bagi Aceh
Hari ini, tepat 20 tahun sejak Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Nota Kesepahaman Helsinki pada 15 Agustus 2005. Sebuah perjanjian damai yang mengakhiri lebih dari tiga dekade konflik bersenjata, sekaligus membuka lembaran baru bagi Aceh.
Dua dekade damai bukan pencapaian kecil. Tidak ada lagi suara tembakan di tengah desa, tidak ada lagi patroli militer yang menakutkan warga sipil. Dalam waktu itu pula, Aceh mengalami pembangunan fisik yang cukup signifikan. Partai lokal tumbuh, pemilihan langsung terjadi, dan mantan kombatan terlibat dalam pemerintahan.
Namun, perdamaian bukanlah tujuan akhir. Sebab, ia adalah pondasi untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan martabat rakyat. Dan di titik inilah, Aceh masih menghadapi tantangan serius. Misalnya saja, Aceh hari ini masih mencatatkan diri di tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.
Begitu juga dana otonomi khusus yang jumlahnya mencapai seratusan triliun rupiah belum sepenuhnya mampu mengatasi kesenjangan sosial dan pembangunan. Banyak desa masih tertinggal, dan anak-anak Aceh masih bertarung dengan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang ideal.
Korban konflik dan keluarganya juga masih menanti pemulihan hak. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, yang diharapkan menjadi forum pengungkapan dan penyembuhan luka, belum menunjukkan kinerja optimal. Proses keadilan transisional berjalan lambat, bahkan nyaris mandek.
Kecuali itu, korupsi justru tumbuh subur di tengah proses pemulihan. Sejumlah pejabat daerah, termasuk kepala daerah, sekretaris daerah, tersangkut kasus korupsi besar. Janji perubahan pasca-Helsinki perlahan digerogoti oleh kepentingan politik jangka pendek dan lemahnya akuntabilitas publik.
Dua dekade sebenarnya adalah waktu yang cukup untuk menengok ke belakang dan menilai perjalanan kita. Namun yang lebih penting, dua dekade juga cukup untuk mengajak semua pihak menata ulang komitmen bersama. Yakni, kembali merapatkan barisan antara pemerintah, masyarakat sipil, ulama, akademisi, dan generasi muda.
Merapatkan barisan di sini sebenarnya bukan hanya soal menyatukan elit politik, tetapi juga soal mengembalikan semangat kolektif: bahwa damai bukan hanya milik mereka yang menandatangani perjanjian, tapi juga milik generasi yang lahir setelahnya. Generasi muda Aceh perlu dikenalkan pada sejarah konflik dan nilai perdamaian, agar tidak terputus dari narasi perjuangan dan harapan.
Pemerintah pusat pun tidak boleh lepas tangan. Penguatan otonomi Aceh mesti diikuti dengan komitmen untuk menyelesaikan kewajiban yang tertuang dalam MoU Helsinki, termasuk persoalan-persoalan yang masih menggantung, misalnya pengelolaan sumber daya alam yang adil, dan keberlanjutan dana otonomi khusus pasca-2027.
Aceh sudah membuktikan bahwa konflik bisa diakhiri melalui dialog. Kini tantangannya adalah membuktikan bahwa damai bisa ditumbuhkan melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Dua dekade damai adalah bukti dari pencapaian itu, dimana manfaatnya pun sudah dirasakan oleh seluruh masyakakat Aceh. Nah?
POJOK
Mendes sebut dana desa tak bisa jadi jaminan pembiayaan kopdes merah putih
Kalau bisa, maka dijamin dana itu sebentar saja sudah ludes…
KPK geledah Dirjen PHU Kemenag terkait kasus kuota haji
Korupsi di Kemenag hanya perulangan, kayak ulang tahun begitu?
Temuan Wali Kota Lhokseumawe, murid kelas 3 SD belum bisa membaca
Uji dia dengan uang kertas, bisa baca tidak?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.