Jurnalime Warga

Ketabahan Masyarakat Aceh Dalam Masa Sulit

Akhir-akhir ini kita menghadapi situasi yang semakin sulit. Pelbagai persoalan muncul ke permukaan dan nyaris membuat kita berputus asa.

|
Editor: mufti
IST
MELINDA RAHMAWATI, M.Pd., alumnus Pendidikan IPS Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta 

Cerita tentang tragedi di Krueng Arakundo itu ia dapatkan dari teman sekolahnya yang tinggal di sekitar tempat itu. Dia menyampaikan bahwa di antara masyarakat sendiri banyak versi cerita mengenai tragedi berdarah yang terjadi di sana.

Namun, semua cerita tersebut sejatinya menuntun pada satu fakta, “Mayat yang secara sengaja ditenggelamkan ke dalam sungai dan diberi pemberat agar tidak pengapung ke permukaan.”

Bagi mereka yang masih mengenali jasad keluarga yang ditenggelamkan, mereka langsung menguburnya secara layak. Namun, sebagian masyarakat sekitar masih meyakini bahwa masih ada jasad yang tenggelam di dasar sungai itu.

Potret kekejian yang terdokumentasikan dalam buku tersebut dan cerita yang disampaikan oleh teman-teman saya di Jakarta yang berasal dari Aceh, membuat saya merasakan betapa tabahnya mereka saat berada pada situasi sulit dan pelik pada masa konflik. Belum lagi di masa Darurat Militer, berlanjut dengan Darurat Sipil yang berakhir dengan darurat tsunami.

Para istri yang kehilangan suami, anak laki-laki, atau sanak saudara laki-lakinya yang ditembak, bahkan mati tanpa tahu keberadaan jasadnya hingga kini. Para perempuan yang harus menanggung trauma psikis mendalam akibat pelecehan seksual yang kini seperti mimpi buruk yang selalu menghantui setiap waktu, dan mereka para generasi masa depan Aceh saat itu yang kini secara tidak langsung mewarisi luka dan trauma para pendahulunya berusaha untuk menatap jauh masa depan dengan berdamai dengan luka sejarahnya. Mereka begitu tabah menjalani hidup baru pascakonflik dan memulai kembali dari awal dengan ketabahan dan imannya.  Agama menjadi pegangan utama setelah semua yang dimiliki hilang.

Kali ini, saya tutup dengan mengutip langsung kalimat dalam buku tersebut, “…Awalnya ada sikap apriori orang Australia terhadap warga Aceh yang mereka nilai fundamentalis dan separatis. Namun, setelah mendapatkan pemaparan yang jelas dari dari orang-orang AS yang datang ke Aceh secara diam-diam, yang mendapatkan kenyataan bahwa orang Aceh adalah rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, kaum tertindas, dan bukan kaum separatis yang hak asasinya telah terinjak-injak….”

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved