Jejak Investasi di Pidie

Wawancara Eksklusif, Investasi tak Jalan jika Lahan belum Selesai

CEO Trans Continent, Ismail Rasyid ternyata ikut terlibat dalam proyek pembangunan pabrik semen Laweung. Perannya sebagai rekanan logistik

Editor: mufti
serambinews
Ismail Rasyid Menjelaskan Investasi Tak Jalan, Jika Lahan Belum Selesai 

CEO Trans Continent, Ismail Rasyid, ternyata ikut terlibat dalam proyek pembangunan pabrik semen Laweung. Perannya sebagai rekanan logistik. Di tengah jalan, kontraknya diputus tanpa pemberitahuan sehingga ia mengalami kerugian material dan waktu. Ismail akhirnya memilih mundur demi menghindari konflik. Kisahnya ini dibeberkannya dalam wawancara eksklusif yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur, disela kunjungan ke China beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancara Ismail Rasyid yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjend) Dewan Ekonomi Aceh (DEA). Wawancara ini juga dapat disaksikan dalam program ‘Saksi Kata’ di kanal YouTube Serambinews:

Dalam rangka apa perjalanan ke China?

Saya berangkat dengan tim tanggal 14 Oktober 2025 dan hampir seminggu di sini. Kita berangkat ke China, pertama ada undangan dari Sunny Corporation khusus untuk Sunny Marine, sebagai manufaktur alat-alat pelabuhan. Kita diundang sebagai salah satu customer mereka. Ada event di Suhai, China melaunching produk baru sekaligus penghargaan buat kita sebagai customer premium. 

Kita sudah membeli dari mereka sekitar 10 unit alat berat. Dari short crane kapasitas 80 ton dan sebagainya. Jadi sudah lebih kurang 10 tahun kita menjadi customer mereka. Komunikasi dengan mereka juga sangat baik, mulai dari proses jual beli maupun maintenance. Yang diundang ini merupakan customer yang rutin belanja dengan mereka, komunikasi bagus, pembayarannya bagus, dan kita juga memberikan timbal balik berupa masukan dan lainnya. Hal-hal seperti ini sangat penting bagi mereka.

Pernah terlibat dalam proyek pabrik semen Laweung, kira-kira tahun berapa?

Saya ingat persis tahunnya, sekitar tahun 2017, pada saat Muzakir Manaf masih menjadi Wakil Gubernur Aceh. Saya kira ini akan nyambung, apalagi Mualem kini sudah menjadi Gubernur Aceh. Dia pasti paham proses pembangunan itu. 

Bagaimana prosesnya dan apa saja yang Anda lakukan saat itu?

Tender proyek dibuka secara nasional melalui media cetak nasional. Kami mengikuti seluruh prosedur yang berlaku, karena saya sendiri tidak memiliki banyak koneksi orang dalam. Setelah melalui proses negosiasi sesuai aturan, kami berhasil memenangkan tender. 

Target utama saat itu adalah menyelesaikan pengiriman material untuk mendukung acara groundbreaking oleh Presiden Joko Widodo. Tenggat waktu yang diberikan sangat ketat, hanya satu setengah bulan. Pipa baja untuk kebutuhan piling (tiang pancang) pelabuhan pabrik harus segera dikirim dari Gresik ke Laweung melalui jalur darat.

Situasi politik di Aceh saat itu tidak stabil, bahkan sempat terjadi pembakaran alat berat. Namun, saya tetap optimis karena memiliki banyak rekan di lapangan. Setelah melakukan survei dan penawaran, kami mendapatkan pekerjaan tersebut. Meski menghadapi tantangan di lapangan, salah satunya adalah kondisi jembatan di Sungai Krueng Mane yang miring dan tidak bisa dilalui, sehingga kami terpaksa memutar lewat jembatan darurat yang dibangun pemerintah, tetapi pekerjaan berhasil diselesaikan tepat waktu. 

Paket utama senilai beberapa miliar rupiah rampung dengan baik. Pipa sebanyak tujuh trailer berhasil kami angkut dari Gresik, melintasi Trans Jawa, menyeberang ke Sumatra, dan tiba di Laweung. Semua assessment telah kami lakukan secara menyeluruh, dan administrasi serta pembayaran dari pihak perusahaan juga selesai. Kedua belah pihak puas.

Tahap berikutnya adalah pengangkutan material yang lebih besar menggunakan tronton atau kapal tongkang melalui laut untuk proses pemancangan dermaga. Setelah diumumkan bahwa kami kembali memenangkan paket tersebut, saya tengah mengurus dokumen dan berangkat ke Meksiko untuk menghadiri pertemuan. Perjalanan berlanjut ke Amerika Serikat dan Kanada selama dua minggu.

Saat saya di luar negeri, saya mendapat kabar dari tim bahwa proyek tersebut tiba-tiba dialihkan ke kontraktor lain. Padahal kami sudah melalui proses panjang dan mengeluarkan biaya untuk assessment dan lain-lain. Sekembali ke Indonesia, saya bertemu dengan Presiden Direktur perusahaan, Pak Bahar, untuk meminta klarifikasi. Saya tidak menerima keputusan tersebut karena kontrak sudah diumumkan dan kami dinyatakan menang, namun diputus tanpa pemberitahuan.

Saya juga sempat berdiskusi dengan Wakil Gubernur saat itu. Kami bukan mengambil proyek dari Aceh, melainkan membawa pekerjaan dari luar ke Aceh.  Setelah beberapa pihak memfasilitasi pertemuan di Jakarta, saya memutuskan untuk mengalah demi kebaikan Aceh agar tidak terjadi konflik. Meski rugi secara material dan waktu, saya relakan proyek tersebut untuk diambil oleh pihak lain.

Sempat ada arahan agar kami tetap berkolaborasi. Saya menangani pengangkutan laut, pihak lain menangani darat, atau sebaliknya. Namun, dalam forum tersebut terjadi tarik-menarik dan situasi yang kurang nyaman. Saya akhirnya menyampaikan bahwa saya tidak ingin mengambil kegiatan di Aceh, tetapi tetap ingin membawa kegiatan dari luar ke Aceh sesuai kapasitas kami. Tapi pada prinsipnya saya ikhlas, meski kita rugi dari segi material, agar tidak terjadi konflik saling sikut di Aceh dan meninggalkan projek itu untuk diambil teman.

Menurut Anda kenapa proyek ini bisa terhenti?

Saya sempat ke lokasi beberapa kali, termasuk saat pembongkaran barang saya hadir ke sana. Yang serius terjadi adalah konflik kepemilikan lahan. Waktu itu belum selesai sepertinya musyawarah antara yang punya projek. Mereka ada konsorsium dari Semen Indonesia dengan Semen Laweung. Dari Semen Laweung terdapat lahan yang dibaliknya masih ada lagi lahan masyarakat, yang menurut penjelasan saat itu masih dalam proses negosiasi. 

Bagaimana pendapat Anda terkait harapan masyarakat agar pabrik semen Laweung ini dibangun kembali?

Saya pikir sangat rasional kalau Pak Gubernur Mualem menginginkan pabrik ini diaktifkan kembali. Namun, untuk mewujudkannya, perlu ada pertemuan antara semua pihak terkait guna mencari solusi terbaik. Hal ini penting agar investasi yang telah berjalan tidak gagal dan justru dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, daerah, dan secara nasional.

Saat ini, kebutuhan semen di Indonesia sangat besar, bahkan produk semen dari luar negeri seperti China sudah masuk ke pasar domestik. Dalam konteks ini, Semen Indonesia telah melakukan investasi signifikan di proyek tersebut, termasuk penyertaan saham dari pihak lokal. Karena itu, saya kira sudah saatnya semua pihak duduk bersama untuk mendiskusikan kelanjutan proyek ini secara menyeluruh dan strategis.

Apakah mungkin adanya wacana perusahaan China mengambil alih pabrik tersebut?

Menurut saya, pengambilalihan oleh pihak luar, termasuk perusahaan China, tidak bisa dilakukan begitu saja. Secara legal, Semen Indonesia masih memegang peran dominan dalam proyek ini. Karena itu, jika pemerintah ingin menyelesaikan persoalan ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempertemukan Semen Indonesia dengan Pemerintah Aceh untuk membahas secara menyeluruh struktur kepemilikan saham.

Pihak lokal dan masyarakat juga perlu dilibatkan dalam forum tersebut agar tercipta kesepahaman bersama. Setelah ada kejelasan mengenai kepemilikan dan tanggung jawab masing-masing pihak, barulah terbuka ruang bagi investor mana pun untuk masuk. Artinya, fondasi hukumnya harus jelas terlebih dahulu, baru kemudian pemerintah bisa mengambil alih atau membuka peluang investasi baru.

Ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan: Pemerintah Provinsi Aceh dapat menyertakan saham melalui BUMD seperti PEMA, Semen Indonesia bisa melakukan take over penuh, atau investor lokal dapat membeli kembali nilai investasi yang telah dikeluarkan oleh Semen Indonesia. Setelah itu, barulah proyek ini bisa dibuka secara bebas untuk pihak lain. Namun, jika investor masuk tanpa penyelesaian awal yang tuntas, justru akan memicu konflik baru.

Menurut saya, ada dua modal utama dalam proyek semen. Pertama legalitas dan kedua lahan. Baru setelah itu menyusul investasi dalam bentuk lainnya. Lahan adalah bahan baku utama dalam industri semen. Jika persoalan lahan belum selesai, maka pembicaraan soal investasi menjadi tidak relevan. Investasi membutuhkan kepastian hukum dan kejelasan status lahan agar pelaksanaan di lapangan tidak menimbulkan konflik, baik di lingkar tambang maupun kawasan industri.

Isu-isu yang berkaitan dengan komunitas dan lingkungan juga harus menjadi perhatian utama. Jika hal-hal mendasar ini tidak diselesaikan, sebesar apa pun nilai investasinya, proyek tidak akan berjalan dengan nyaman dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Bagaimana pendapat Anda selaku Sekjend DEA menyikapi persoalan ini?

Sebelum saya berbicara atas nama DEA, secara pribadi saya sangat berharap investasi di Aceh dapat berjalan dengan baik. Dengan semangat baru dari Pak Gubernur, harapan kita adalah terciptanya solusi terbaik bagi semua pihak.

Terkait posisi DEA, persoalan ini perlu kami pelajari secara mendalam terlebih dahulu. Kami akan membahasnya dalam tim untuk merumuskan solusi yang paling tepat dan ideal. Jika diperlukan, kami akan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya Semen Indonesia dan unsur legal dari pemerintah daerah.

Setelah itu, kami akan menyusun rekomendasi dan berdiskusi untuk disampaikan kepada Pak Gubernur sebagai bahan pertimbangan kebijakan. Sebagai pelaku bisnis, saya melihat opsi ini sangat mungkin untuk dijalankan ke depan, tentu dengan pendekatan yang konstruktif dan kolaboratif.

Apa harapan Anda kepada masyarakat sekitar?

Saya sudah 20 tahun berada di dalam industri logistik. Sebagian besar di pertambangan, seperti tambang emas, batubara, nikel dan bijih besi. Hampir di 16 provinsi saya kirim logistik. Persoalan-persoalan yang timbul adalah masyarakat di lingkar tambang. Dan ini adalah persoalan sosialisasi yang paling utama. Karena, kalau hanya diselesaikan secara aturan yang baku, bahwa ini izin dari Pusat ada, langsung di eksekusi, tentu ini akan menimbulkan percikan-percikan konflik di masyarakat. 

Tapi alangkah baiknya sosialisasi dengan masyarakat di lingkar tambang. Mereka ini harus diberikan pengertian, pemahaman, dan kesempatan untuk berpartisipasi di lingkungan tersebut. Khususnya anak-anak muda yang selama ini belum ada kegiatan. Sesuai dengan kapasitasnya harus diberdayakan. Mereka harus dilatih untuk diberikan kesempatan, sehingga mereka ini akan menjadi benteng agar projek itu berjalan dengan baik.

Disamping itu persoalan lingkungan. Kadang-kadang tambang ini ada juga sebagian yang bandel. Asal mereka menghasilkan banyak, tapi meminimumkan cost yang keluar. Dan ini perlu pemerintah, masyarakat dan pemuka agama untuk bisa mengkomunikasikan ini. Sehingga win-win itu muncul. Karena tidak ada pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan. Tidak ada pembangunan yang statis, semua ada pengorbanan. Tapi pengorbanan ini harus kita imbangi dengan recovery, cost sosial, benefit ke masyarakat. Persoalan di lingkungan tambang itu harus kita selesaikan.(*)

 

* Ismail Rasyid, CEO Trans Continent.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved