Syamsul Jahidin, Satpam Sekaligus Advokat Gugat UU Polri, Nilai Pelatihan Satpam Terlalu Mahal

Kali ini, ia menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian (UU Polri) karena menilai adanya komersialisasi dalam pengelolaan pengamana

Editor: Mursal Ismail
Dok Mahkamah Konstitusi
SATPAM SYAMSUL JAHIDIN - Syamsul Jahidin dalam sidang di Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemohon menggugat aturan tunjangan seumur hidup anggota DPR RI. Kini ia menggugat UU Polri yang dinilai memberatkan dalam pelatihan satpam 

"Hingga saat ini saya memegang sertifikasi sebagai assesor atau penguji dan penilai dari Sertifikasi LSP PP Polri, menguji kelayakan personel Satpam," ujarnya dihubungi pada Kamis (30/10/2025).

Sosok Syamsul juga merupakan penggugat tunjangan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota DPR.

Gugatan ke MK terdaftar dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025 yang diajukan pada 30 September 2025.

Syamsul menargetkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Asas-asas Pemerintahan yang Baik, menyoroti ketidakadilan sistem yang memberikan hak istimewa kepada elite politik sambil merugikan rakyat biasa.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, mantan anggota DPR yang menjabat hanya satu periode (lima tahun) berhak atas 60 persen gaji pokok seumur hidup, plus tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar.

Sejak 1980, sekitar 5.175 penerima telah membebani APBN hingga Rp226 miliar.

Menurutnya, rakyat bekerja 10-35 tahun untuk pensiun, sementara dewan hanya lima tahun menerima tunjangan pensiun seumur hidup bahkan bisa diwariskan.

Syamsul menambahkan bahwa status DPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tak boleh jadi alasan hak istimewa, bertentangan dengan asas keadilan sosial UUD 1945.

Gugat UU Polri

Syamsul menilai frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Kepolisian menimbulkan komersialisasi yang terjadi dalam pengelolaan pengamanan swakarsa dan tidak mengenal batasan dalam pengelolaannya.

“Ketentuan norma pasal a quo jelas telah digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan para pejabat Polri untuk menjadi pengusaha aktif terorganisir,” ujar Syamsul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 195/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).

Syamsul menegaskan dirinya berhak memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari praktik komersialisasi yang membebani profesi satpam.
 
Ia menilai, pekerjaan yang seharusnya menjamin penghidupan layak justru dipenuhi unsur kapitalistik.

Pria yang juga berprofesi sebagai advokat itu merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan prinsip hukum ditegakkan.

Ia menuturkan, sebelum bekerja sebagai satpam, dirinya diwajibkan mengikuti pendidikan Gada Pratama dengan biaya sekitar Rp 4 juta.
 
Sementara untuk naik jenjang menjadi chief, danru, atau manajer, ia harus menempuh pelatihan Gada Utama yang biayanya mencapai Rp 13,5 juta.

Menurut Syamsul, besarnya biaya tersebut tidak sebanding dengan kewenangan maupun penghasilan satpam. Sehingga menimbulkan ketimpangan dan mengaburkan kepastian hukum.

Ia mengaku telah mendaftar melalui Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) Pelatihan, sementara penyelenggara pelatihan bertindak sebagai fasilitator, dan ijazah serta Kartu Tanda Anggota (KTA) satpam diterbitkan oleh Polri.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved