Lahan Jusuf Kalla Diserobot Mafia Tanah, James Riady Bantah Milik Lippo Group

Ia juga membantah bahwa Lippo Group disebut menyerobot lahan milik PT Hadji Kalla, seperti yang disebut oleh Jusuf Kalla.

Editor: Faisal Zamzami
Kompas.com/Aisyah Sekar Ayu Maharani
Chairman Lippo Group James Riady saat ditemui di Wisma Mandiri, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). 


Penelusuran Kementerian ATR/BPN mengungkap fakta hukum yang sangat rumit di atas satu bidang tanah di Tanjung Bunga tersebut.

PT Hadji Kalla memegang Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbit tahun 1996. HGB ini berlaku hingga 2036.

Sementara GMTD memegang Hak Pengelolaan (HPL) yang berasal dari kebijakan Pemda Gowa dan Makassar yang terbit tahun 1990-an.

Menurut Nusron, secara fundamental, konflik ini adalah tentang tumpang tindih dua hak yang berbeda, HGB milik Hadji Kalla dan HPL milik GMTD (afiliasi Lippo Group), di atas lahan yang sama.

Selain itu, masalah ini diperumit oleh putusan Pengadilan Negeri Makassar tahun 2000 tentang perkara GMTD melawan Manyombalang Daeng Solong yang memenangkan GMTD.

Nusron menjelaskan, penyelesaian kasus ini tidak dapat didasarkan pada generalisasi satu putusan pengadilan, karena ada banyak subjek hukum dan dasar penerbitan hak yang berbeda.

Nusron juga menegaskan bahwa putusan PN Makassar No. 228/Pdt.G/2000 hanya mengikat para pihak yang berperkara GMTD vs. Manyombalang Daeng Solong, sehingga tidak otomatis berlaku terhadap PT Hadji Kalla yang memiliki dasar penerbitan HGB yang berbeda.

"Untuk itu, Kementerian ATR/BPN tidak berpihak. Fungsi Kementerian dalam kasus ini adalah administratif, memastikan bahwa objek tanah yang dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Makassar sudah sesuai dengan data pertanahan yang sah," tutur Nusron.

Untuk mencegah error in objecto (kesalahan objek) yang sering dimanfaatkan mafia tanah, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengambil langkah proaktif.

Kantor Pertanahan mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta klarifikasi dan koordinasi teknis.

Hal ini karena sebelumnya, Kementerian ATR/BPN menekankan bahwa perlu dilakukan Konstatering Administratif sebelum pelaksanaan eksekusi.

Konstatering adalah proses pengukuran dan pencocokan ulang objek di lapangan dengan data administrasi yang ada, guna memastikan batas-batas eksekusi tidak melanggar hak pihak lain yang sah.

Nusron menggunakan kasus ini sebagai momentum penting untuk membersihkan sistem pertanahan nasional.

"Kami ingin semua terang agar ke depan tidak ada lagi tumpang tindih, sertipikat ganda (double certificate), dan overlapping di masa depan," tandas Nusron.

Baca juga: VIDEO Israel Tak Gentar Hadapi Surat Penangkapan dari Turki, Singgung Suku Kurdi

Baca juga: VIDEO - Pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih Bireuen Tembus 43 Persen

Baca juga: Khidmat dan Semaraknya Peringatan Hari Pahlawan di Pendopo Bupati BIreuen, Veteran Dapat Bingkisan

 

Artikel ini Sudah tayang di Kompas.com

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved