Breaking News

Opini

Jangan Salahkan Perempuan: Melihat Fenomena Gugatan Cerai dalam Bingkai Sosial yang Lebih Luas

Data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat bahwa sebagian besar kasus perceraian dalam beberapa tahun terakhir berasal dari gugatan cerai

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
MUSDAWATI, Dosen Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry/Pengamat Isu Sosial dan Keluarga. 

Ketika tekanan ekonomi bertemu dengan relasi rumah tangga yang timpang, perceraian sering menjadi jalan terakhir. 

Dalam keluarga-keluarga kelas menengah ke bawah, beban ganda kerap dipikul perempuan: sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga. 

Ketika tak ada dukungan emosional maupun finansial dari pasangan, dan ketika upaya perbaikan tidak kunjung membuahkan hasil, keputusan menggugat cerai menjadi bentuk keberanian terakhir dari seseorang yang telah terlalu lama menahan luka.

Fenomena ini tidak bisa dibaca dalam kerangka moral semata. 

Menghakimi perempuan sebagai pihak yang "tak sabar," "terlalu bebas," atau "kebablasan dalam memahami gender" hanya akan mengaburkan realitas struktural yang sesungguhnya. 

Kesetaraan gender bukan tentang merendahkan laki-laki, melainkan memperjuangkan keadilan dalam relasi. 

Perempuan yang menggugat cerai tak bisa disamakan dengan perempuan yang melawan ajaran agama, justru bisa jadi ia sedang menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya dari relasi yang tidak sehat.

Perlu disadari bahwa keluarga hari ini tidak lagi dapat dibayangkan dengan pola yang sama seperti era 1990-an. 

Struktur dan fungsi keluarga telah mengalami transformasi besar, dipengaruhi oleh globalisasi, urbanisasi, serta teknologi informasi. 

Media sosial tidak hanya mengubah cara anggota keluarga berkomunikasi, tetapi juga mendefinisikan ulang nilai, ekspektasi, dan relasi kekuasaan di dalam rumah. 

Ruang-ruang digital telah menjadi bagian dari ruang domestik, dan ini menimbulkan dinamika baru yang belum sepenuhnya dipahami secara sosiologis. 

Sayangnya, belum banyak studi mendalam di Indonesia--apalagi di Aceh--yang mengkaji bagaimana media digital mengubah struktur dan relasi dalam keluarga.

Dengan demikian, gagasan tentang “keluarga ideal” tidak bisa dipatok sebagai bentuk tetap dan permanen. 

Keluarga adalah ruang yang selalu harus dinegosiasikan ulang seiring dengan kompleksitas kehidupan yang terus berubah.

Kesetiaan terhadap bentuk keluarga patriarkis sebagai satu-satunya standar hanya akan menutup mata terhadap realitas yang lebih cair dan beragam. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved