Breaking News

Opini

Jangan Salahkan Perempuan: Melihat Fenomena Gugatan Cerai dalam Bingkai Sosial yang Lebih Luas

Data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat bahwa sebagian besar kasus perceraian dalam beberapa tahun terakhir berasal dari gugatan cerai

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
MUSDAWATI, Dosen Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry/Pengamat Isu Sosial dan Keluarga. 

Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melihat bahwa nilai-nilai Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab bisa diwujudkan dalam bentuk relasi keluarga yang setara dan adaptif terhadap zaman.

Baca juga: 2.311 Istri di Aceh Gugat Cerai Suami, Sebagian Akibat Judi Online

Membaca ulang dinamika rumah tangga

Konteks lokal Aceh yang memiliki sistem sosial dan hukum berbasis syariat seharusnya tidak menjadi hambatan untuk membaca ulang dinamika rumah tangga. 

Justru dari nilai-nilai Islam itulah, keadilan relasional dalam keluarga bisa ditegakkan. 

Perempuan yang berani menggugat cerai bukan sedang menolak agama, tetapi sedang memperjuangkan maqashid syariah--menjaga jiwa, akal, dan martabat. 

Perlu kesadaran kolektif bahwa relasi rumah tangga yang sehat adalah fondasi masyarakat Islami, bukan sekadar mempertahankan status nikah dalam bentuk kosong.

Apa yang perlu dilakukan? Pertama, ubah cara pandang dari menyalahkan menjadi memahami. Data perceraian harus dibaca sebagai alarm sosial. 

Kedua, dorong lahirnya riset-riset kontekstual tentang keluarga di era digital, termasuk di wilayah seperti Aceh yang memiliki karakteristik kultural dan religius yang khas. 

Ketiga, hadirkan kebijakan publik yang mendukung kesejahteraan keluarga secara holistik, mulai dari layanan konseling, perlindungan hukum, hingga literasi digital berbasis nilai Islami.

Sebagai penutup, perceraian bukanlah aib yang layak dibebankan sepenuhnya pada perempuan. 

Ia adalah sinyal dari sesuatu yang lebih besar: perubahan masyarakat, tuntutan keadilan dalam relasi, dan ketidakmampuan sistem untuk melindungi yang rentan. 

Maka membangun keluarga hari ini bukan soal kembali ke masa lalu, melainkan tentang keberanian menyusun relasi yang adil, setara, dan relevan dengan dunia yang terus berubah.

*) PENULIS adalah Dosen Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry/Pengamat Isu Sosial dan Keluarga.

Isi dari artikel ini menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved