Jurnalisme Warga

Tapak Tilas Perjuangan Teuku Umar di Puncak Mugo, Wisata Sejarah yang Menggetarkan Jiwa

Di balik keelokan alamnya yang tenang dan permai, tersembunyi kisah-kisah heroik yang menjadi fondasi semangat masyarakatnya hingga kini.

Editor: mufti
IST
FAISAL, S.T., M.Pd., Kepala SMKN 1 Julok dan Ketua IGI Daerah Aceh Timur, melaporkan dari Aceh Barat 

Bagi masyarakat Aceh, khususnya generasi muda, ziarah ke makam ini menjadi cara menghidupkan kembali semangat patriotik yang mulai pudar oleh zaman.

Tidak jauh dari makam, pengunjung dapat membaca narasi sejarah perjuangan Teuku Umar yang dibagi menjadi tiga fase besar. Fase pertama adalah ketika Teuku Umar memulai perjuangannya melawan Belanda secara terbuka sejak tahun 1878.

Ia lahir di Meulaboh pada tahun 1854 dari pasangan Teuku Tjut Machmud dan Tjot Muhani. Pada usia muda, ia telah menunjukkan bakat kepemimpinan dan kecintaannya pada tanah kelahiran. Ia kemudian menikah dengan pejuang wanita tangguh, Tjut Nyak Dhien, janda Teuku Ibrahim Lamnga.

Fase kedua terjadi pada tahun 1893 hingga 1896, di mana Teuku Umar memilih berpihak kepada Belanda. Pilihan ini tentu menuai kontroversi, tetapi sejatinya merupakan taktik cerdas untuk mengumpulkan senjata dan informasi musuh.

Teuku Umar berhasil mendapatkan 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kilogram mesiu, dan uang tunai sebesar 18.000 dolar dari Belanda. Semua itu digunakan untuk kembali memperkuat barisan pejuang Aceh.

Fase terakhir berlangsung dari tahun 1896 hingga 1899. Setelah memperoleh apa yang dibutuhkan, Teuku Umar kembali membelot dari Belanda dan memimpin serangan terhadap pos-pos kolonial.

Pada tanggal 10 Februari 1899, dalam perjalanan menyerang Meulaboh dari arah Lhok Bubon, pasukannya disergap Belanda akibat bocornya informasi oleh mata-mata.

Keesokan harinya, tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Suak Ujong Kalak, tertembak di bagian dada kirinya.

Jenazahnya sempat dimakamkan di Gampong Reudep, lalu dipindahkan ke Pasi Meugat, dikuburkan di samping makam ibunya. Karena khawatir jasad atau kerangkanya masih diincar Belanda, beberapa bulan kemudian dipindahkan lagi ke Gunung Glee Meulinteung, sebelum akhirnya dimakamkan secara permanen di lokasi sekarang di Gunung Glee Rayeuk Tameh, Gampong Mugo Rayeuk.

Pemindahan berkali-kali ini merupakan strategi kamuflase untuk mengelabui Belanda agar tidak mengetahui keberadaan makam sang pahlawan Aceh yang sangat mereka benci itu.

Saat ini, kompleks makam telah dilengkapi berbagai fasilitas seperti musala, toilet, dapur umum, hingga gazebo untuk bersantai. Kegiatan adat seperti  ‘meuleupah hajat’ atau injak tanah pertama untuk bayi sering dilakukan di tempat ini.

Salah satu warga menyebutkan bahwa PT Mifa Bersaudara rutin menggelar kegiatan tahunan ‘Cleaning Heritage’ untuk membersihkan area makam, menunjukkan sinergi antara sektor swasta dan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.

Bukan hanya tempat bersejarah, makam Teuku Umar kini menjadi ikon wisata budaya dan edukasi di Aceh Barat. Salah satu yang paling banyak dikunjungi warga adalah situs makam Teuku Umar ini.

Pengalaman berziarah ke makam ini menyadarkan kami bahwa mengenang pahlawan bukan hanya sekadar hafal nama, tanggal lahir, dan tanggal gugurnya. Ini adalah perjalanan batin, ruang refleksi, dan upaya konkret untuk menghormati nilai perjuangan yang sesungguhnya. Jalan yang telah dibuka oleh para pendahulu kini telah kita tempuh, tidak lagi dengan senjata, tetapi dengan penghormatan dan perenungan.

Teuku Umar bukan hanya nama pada prasasti. Beliau adalah simbol kelihaian, keberanian, dan cinta sejati kepada tanah air. Semangatnya tetap hidup, menyusup melalui lorong-lorong waktu dan menyala dalam hati mereka yang datang ke Mugo Rayeuk dengan niat untuk mengenal sejarah, meneladaninya, dan menjadikannya lentera untuk masa depan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved