Kupi Beungoh

Dr. Hanifah Nurdin: Akademisi Perempuan Muda di Aceh yang Menginspirasi Lewat Kajian Media & Konten

Sebagai akademisi muda di Aceh, Hanifah menjadi salah satu sosok perempuan yang menginspirasi lewat kiprah dan karya ilmiahnya.

Editor: Amirullah
Serambinews.com
Syifaurrahmah Azhari dan Lathifatunnisa Arman 

Kebiasaan bangun dini hari untuk belajar di mulai pukul 03.00 wib hingga menjelang subuh membawanya pada banyak capaian. Tahun 2019, ia resmi menjadi dosen, lalu pada tahun 2021 diamanahkan sebagai Sekretaris Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) hingga masa jabatan 2026.

Di tengah kesibukan mengajar dan menjalankan amanah, ia kembali menantang dirinya dengan menempuh pendidikan S3 pada tahun 2022 dan selesai di tahun 2025. Saat mengerjakan disertasi, beliau juga mengerjakan borang akreditasi prodi yang sama-sama menyita waktu. “Sesuatu yang dimulai harus diselesaikan sampai akhir,” ucapnya mantap.

Dedikasi dan disiplin Hanifah dalam dunia pendidikan mencerminkan keteladanan akademisi muda Aceh: tekun, berprinsip, dan konsisten terhadap komitmen.

Perhatian pada Dunia Media

Ketertarikan Hanifah terhadap media sosial berangkat dari pengalaman langsung saat bekerja di dunia jurnalistik. Ia menyadari bagaimana media mampu memengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat. “Dulu kita bergantung pada televisi dan radio, sekarang masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube,” ujarnya.

Menurutnya, media baru atau new media tidak akan mati, melainkan terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, lemahnya regulasi dan minimnya kontrol nilai membuat konten digital sering kali melenceng dari norma. “YouTube, misalnya, tidak memiliki lembaga penyiaran resmi. Hanya UU ITE yang menjadi batasnya,” tambahnya.

Pandangannya ini menunjukkan kepekaan akademik terhadap perubahan sosial. Ia tidak sekadar menilai, tetapi juga mengingatkan pentingnya peran nilai budaya dan agama dalam penggunaan media digital yang sehat dan bermartabat.

Disertasi dan Fenomena Sosial

Dalam disertasi berjudul “Anomali Komodifikasi Konten Lelaki Feminin Selebritis Instagram Aceh dalam Perspektif Budaya dan Agama,” Hanifah menyoroti bagaimana konten digital dapat menjadi komoditas yang memengaruhi persepsi publik. Gagasannya berawal dari rasa keheranan ketika melihat banyak video hiburan yang menampilkan laki-laki bergaya feminin dan justru dianggap lucu.

“Awalnya teman mengirim video itu sebagai lelucon, tapi saya justru melihat sisi pesannya, kontennya. Mengapa konten seperti itu dianggap wajar?” ujarnya. Menurut Hanifah, fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya konsumsi digital mempengaruhi cara masyarakat memaknai identitas dan peran gender.

Penelitian tersebut tidak bermaksud menghakimi, melainkan menganalisis perubahan sosial dari sudut pandang ilmiah. Hanifah mencoba mengembalikan fungsi media sebagai ruang komunikasi yang edukatif, bukan sekadar hiburan tanpa nilai.

Resonansi di Tengah Masyarakat

Hasil penelitian Hanifah mendapat respons luas dari publik. Berdasarkan surveinya, sekitar 70 persen masyarakat setuju bahwa fenomena konten tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari nilai budaya lokal. Banyak masyarakat yang merasa pandangannya sejalan dengan keresahan mereka terhadap media sosial yang semakin bebas.

Hal ini menjadi bukti bahwa penelitian akademik bisa menyentuh realitas sosial. Hanifah berhasil menghadirkan riset yang relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menjadikan disertasi bukan hanya syarat akademis, tetapi juga kontribusi nyata terhadap literasi media dan kesadaran moral publik.

Menjaga Identitas dan Nilai

Hanifah berpendapat bahwa masyarakat Aceh perlu kembali memperkuat identitasnya yang berakar pada nilai Islam dan budaya lokal. “Konten yang positif memang tidak cepat viral, tapi akan bertahan lebih lama dan memberi manfaat,” katanya. “Kalau ingin terkenal, maka terkenallah dengan elegan” ucapnya.

Menurut kami, pernyataan ini sangat relevan. Di tengah banjir informasi dan tren instan, masyarakat perlu menumbuhkan budaya bermedia yang cerdas dan beretika. Hanifah juga mengajak generasi muda untuk membuat konten yang menggambarkan kearifan lokal, kuliner tradisional, dan hal-hal positif lainnya. “Kalau yang viral justru yang salah, bagaimana citra Aceh sebagai Serambi Mekkah akan terlihat?” ujarnya retoris.

Pesan Kami untuk Generasi Muda

Fenomena generasi muda yang lebih mengejar popularitas ketimbang nilai kini menjadi tantangan tersendiri di era digital. Banyak orang memperoleh keuntungan tanpa pekerjaan formal, cukup dengan membuat konten yang viral.

Siklusnya sederhana: konten yang viral membawa popularitas, popularitas menghasilkan keuntungan, dan keuntungan membuat seseorang terus mengulang hal yang sama dan itu sering kali terjadis tanpa memikirkan pesan di baliknya.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved