KUPI BEUNGOH

Menegakkan Marwah Kekhususan Aceh dalam Bayang-bayang PP Nomor 39 Tahun 2025

Cermin paling jelas dari ketimpangan antara idealisme otonomi dan realitas administrasi dapat dilihat pada sektor pertambangan rakyat.

Editor: Yocerizal
IST/SERAMBINEWS.COM
Delky Nofrizal Qutni, Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan. dan Wakil Ketua DPW APRI Aceh. 

Tanpa dokumen pendukung yang kuat, mulai dari peta geologi, survei potensi, analisis sosial-ekonomi, hingga kesesuaian tata ruang dan rencana pengelolaan WPR, maka wacana tersebut akan berhenti pada seremoni, bukan solusi.

Diakui Undang-undang, Ditinggalkan dalam Praktik

Salah satu ironi besar dalam tata kelola pertambangan Aceh adalah hilangnya keberanian untuk menegakkan kewenangan yang sesungguhnya telah dijamin oleh hukum nasional. 

Berdasarkan Pasal 156 hingga 160 UUPA, Pemerintah Aceh diberikan hak mengelola sumber daya alam di wilayahnya, termasuk pertambangan mineral dan batubara. 

Ketentuan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Didelegasikan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Di mana secara eksplisit disebutkan bahwa izin usaha pertambangan dengan luas wilayah di bawah 5.000 hektare merupakan kewenangan pemerintah provinsi, termasuk Aceh.

Artinya, untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang pada praktiknya hanya memiliki luas rata-rata per blok sekitar 100 hektare, Aceh secara hukum memiliki kewenangan penuh untuk menetapkannya tanpa harus menunggu persetujuan pemerintah pusat.

Baca juga: Timnas Indonesia Gagal ke Piala Dunia 2026 Usai Dikalahkan Irak, Ramai Tagar Patrick Kluivert Out

Baca juga: HIV/AIDS Meningkat Signifikan, Didominasi Seks Sesama Lelaki

Namun, dalam praktik birokrasi, kewenangan itu tidak pernah dijalankan secara utuh. Pemerintah Aceh masih ragu mengambil langkah mandiri, seolah takut bertentangan dengan regulasi pusat. 

Padahal, dalam sistem hukum nasional, UUPA memiliki kedudukan lex specialis yang mengatur kekhususan Aceh, sehingga peraturan pemerintah termasuk PP 39 Tahun 2025, seharusnya dibaca dalam bingkai kekhususan tersebut, bukan sebaliknya.

Jika pemerintah Aceh memegang teguh prinsip itu, maka penetapan WPR sejatinya dapat dilakukan melalui mekanisme internal daerah dengan tetap melakukan integrasi data ke sistem nasional sebagaimana diamanatkan PP 39 tahun 2025. 

Dengan cara ini, Aceh bisa menegakkan otonomi tanpa melanggar norma hukum pusat.

Kewenangan ini bukan sekadar ruang administratif, melainkan bentuk pengakuan terhadap sejarah dan identitas Aceh sebagai daerah yang memiliki kemampuan mengatur diri sendiri. 

Maka, ketika pemerintah Aceh masih menunggu instruksi dari kementerian untuk hal-hal yang sudah menjadi kewenangannya, yang hilang bukan hanya waktu, tetapi juga marwah kekhususan itu sendiri.

Kekhususan yang tidak dijalankan akan bertransformasi menjadi simbol kosong, sebuah simulakra yang kehilangan makna substantif. 

Dan dalam konteks pertambangan rakyat, ketakutan administratif seperti itu hanya memperpanjang penderitaan masyarakat penambang yang hidup dalam ketidakpastian hukum.

Simulakra Otonomi dan Tantangan Kedaulatan Sumber Daya

Dalam filsafat Jean Baudrillard, simulakra adalah kondisi ketika tanda dan realitas saling menggantikan hingga yang tersisa hanya citra tanpa substansi. 

Baca juga: Mengungkap Realitas LGBTQ di Banda Aceh, Pernikahan yang Terkoyak Homoseksual

Baca juga: Jika Ingin Memeriksa Saya, Periksa Dulu Bapak-bapak Ini

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved