Kupi Beungoh

Mengupas Problematika Pengakuan Hutan Adat di Aceh

Bahkan, antusiame Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendapatkan pengakuan formal pemerintah terhadap hutan adat semakin menguat. 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Teuku Muttaqin Mansur, Sekretaris Pusat Riset Hukum Islam dan Adat, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 

Oleh Teuku Muttaqin Mansur

(Sekretaris Pusat Riset Hukum Islam dan Adat, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)

DALAM beberapa tahun terakhir, isu pengakuan, perlindungan dan pengelolaan Hutan Adat semakin mengemuka di Indonesia, termasuk di Aceh

Bahkan, antusiame Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendapatkan pengakuan formal pemerintah terhadap hutan adat semakin menguat. 

Ini tidak terlepas dari keberhasilan pengakuan 22.549 ha Hutan Adat Mukim di Aceh pada tahun 2023.

Di balik peluang besar tersebut, terselip problematika serius yang terus menghantui implementasinya. 

Tarik-menarik kepentingan antara negara, pemodal besar, dan MHA sering menimbulkan konflik yang tajam. 

Situasinya menjadi semakin rumit manakala penyelesaian konflik yang diharapkan adalah win-win justru cenderung merugikan MHA. 

Sementara di sisi lain, laju deforestasi terus semakin terbuka lebar.

Baca juga: Bupati Mirwan Dukung Penuh Percepatan Pengakuan Hutan Adat di Aceh Selatan

Hutan Adat sebagai Ruang Hidup

Pada hakikatnya, hutan adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari wilayah masyarakat hukum adat (MHA)--bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara historis, sosial, dan kultural. 

Di dalamnya tersimpan nilai-nilai, identitas, dan keberlanjutan hidup suatu komunitas yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. 

Namun, perjalanan panjang menuju pengakuan formal atas hutan adat bukanlah jalan yang mudah.

Selama bertahun-tahun, MHA berhadapan dengan hambatan hukum dan kebijakan yang tidak berpihak. 

Rezim Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada awalnya menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Konsep ini secara tidak langsung menghapus hak asal-usul MHA atas ruang hidup mereka, menjadikan hutan yang telah mereka kelola secara turun-temurun seolah milik negara semata. 

Dan negara dapat memberikan hak pengelolaan kepada siapapun termasuk korporat. 

Padahal, bagi masyarakat adat, hutan bukanlah sekadar sumber daya alam, melainkan ruang kehidupan yang di dalamnya melekat nilai spiritual, kearifan, sosial, dan ekologis.

Perubahan besar baru terjadi ketika masyarakat adat menggugat ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian melahirkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. 

Putusan bersejarah ini menegaskan bahwa “hutan adat bukan lagi hutan negara.” 

Dari sinilah titik balik dimulai. 

Keputusan MK menjadi tonggak penting yang membuka kembali ruang hukum bagi MHA untuk memperoleh hak-hak tradisional dan pengelolaan atas hutan yang selama ini mereka jaga dan rawat tanpa pamrih.

Namun, pengakuan hukum bukan semata urusan administrasi atau legal formal. 

Ia adalah wujud dari keadilan ekologis, sosial saja, tetapi termasuk pangan dan peningkatan taraf hidup mereka. 

Hutan bagi masyarakat adat adalah sumber kehidupan, tempat mereka menggantungkan pangan, air, obat-obatan, ekonomi bahkan sistem nilai, kearifan dan tatanan sosialnya. 

Hutan adat tidak bisa dipandang sebagai lahan kosong yang bisa dengan mudah dialihkan kepada negara atau investor. 

Ia adalah rumah ekologis dan spiritual yang memastikan keberlanjutan hidup generasi kini dan mendatang.

Fakta di lapangan membuktikan, pengelolaan hutan berbasis adat justru cenderung lebih lestari dibandingkan kawasan yang dikelola oleh korporasi atau berada di bawah konsesi lainnya. 

Di Aceh misalnya, MHA Mukim telah membuktikan bahwa praktik pengelolaan hutan adat mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. 

Sistem larangan adat, perlindungan sempadan daerah aliran sungai, rotasi lahan, pengelolaan air, dan praktik larangan penebangan pohon serta menjaga pohon-pohon inti menjadi bukti nyata peran MHA dalam pelestarian lingkungan, termasuk menghasilkan karbon yang dinikmati manusia. 

Sebaliknya, banyak kawasan hutan di bawah izin konsesi justru mengalami kerusakan parah--hutan ‘perawan’ berubah menjadi lahan gundul, dan laju deforestasi meningkat tajam.

Baca juga: Wabup Pidie Sebut Hutan Adat Diatur melalui Hareukat, Alzaizi: Warga harus Jaga Kelestariannya

Tarik-Menarik Kepentingan

Salah satu persoalan mendasar dalam pengelolaan hutan adat, termasuk di Aceh, adalah tarik-menarik kepentingan antara pemodal besar, pemerintah, dan masyarakat adat. 

Hutan yang selama berabad-abad menjadi ruang hidup masyarakat adat kini berubah menjadi objek eksploitasi ekonomi--konsesi kayu, perkebunan sawit, tambang, dan proyek infrastruktur. 

Banyak izin diterbitkan tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat adat yang telah menjaga kawasan tersebut secara turun-temurun. 

Sehingga tidak jarang muncul tumpang tindih lahan, bahkan menimbulkan konflik.

Dalam logika tertentu, hutan dipandang sekadar komoditas yang bisa dieksploitasi dan dikeruk sesukanya. 

Sebaliknya, bagi MHA mukim dan gampong di Aceh, hutan adalah sumber kehidupan dan identitas kolektif--tempat bernaung, mencari pangan, menjaga air, dan memelihara keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Dua pandangan ini sering kali bertabrakan, menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan membuat masyarakat adat tersingkir dari ruang hidupnya sendiri. 

Dengan dalih MHA tidak memiliki alas hak yang kuat.

Lebih menyedihkan lagi, masyarakat adat kerap dianggap “pengganggu” pembangunan hanya karena tidak memiliki sertifikat/pengakuan formal dari negara. 

Padahal, sistem adat mukim telah lama mengatur tata kelola hutan dengan prinsip keadilan, musyawarah, dan keberlanjutan. 

Dalam kenyataannya, hukum/aparatus negara terkesan lebih berpihak pada pemodal ketimbang pada masyarakat adat yang telah menjaga hutan secara lestari dan berkelanjutan. 

Bahkan, dibeberapa tempat MHA mukim telah memproteksi dengan Qanun Perlindungan Hutan Adat berbasis komunitas.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap hutan adat mukim di Aceh bukan hanya soal legalitas, tetapi tentang keadilan ekologis dan hak hidup masyarakat adat.

Mengembalikan pengakuan dan pengelolaan hutan adat kepada MHA baik mukim maupun gampong berarti mengembalikan keseimbangan antara manusia dan alam--sebuah keseimbangan yang telah lama terpelihara dalam kearifan lokal Aceh

Problem berikutnya adalah rebutan kewenangan antara lembaga negara, terutama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)- Kementerian Kehutanan sekarang dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). 

Kemenhut cenderung menempatkan hutan di bawah otoritas kehutanan, sedangkan ATR/BPN berwenang dalam urusan pertanahan dan tata ruang diluar kawasan hutan. 

Meskipun di lapangan terkadang wilayah di luar kawasan hutan pada kenyataannya masih berhutan.

Ketidakharmonisan ini menciptakan kebijakan yang tumpang tindih. 

Masyarakat adat menjadi korban dari tarik-menarik kewenangan yang lebih bersifat administratif dibandingkan substansi keadilan.

Pengakuan Hutan Adat yang seharusnya memberi kepastian justru menjadi proses yang panjang, mahal, dan melelahkan bagi masyarakat adat.

Bahkan, beberapa kasus yang kami temui, ada MHA yang mulai 'putus asa' mengusulkan formalitas pengakuan hutan adat.

Regulasi yang Lemah dan Parsial

Secara hukum, Indonesia telah memiliki dasar yang jelas untuk mengakui Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hutan Adat, melalui PP Nomor 23 Tahun 2021, Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021, dan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014. 

Namun, pelaksanaannya berjalan lambat dan birokratis. 

Pengakuan hutan adat mensyaratkan pengakuan terlebih dahulu terhadap MHA, tetapi proses ini sering terhambat oleh kepentingan sesaat dan rendahnya keberpihakan pemerintah daerah kepada MHA.

Di Aceh, qanun atau surat keputusan bupati/wali kota terhadap pengakuan MHA masih sangat terbatas--baru dimiliki oleh beberapa kabupaten seperti Pidie, Bireuen, Aceh Jaya, Subulussalam, Benar Meriah dan Aceh Besar--sementara qanun tingkat provinsi hingga saat ini belum tersedia. 

Padahal, regulasi ini menjadi kunci bagi pengakuan hutan adat mukim dan gampong. 

Ketidakharmonisan aturan antara sektor kehutanan dan agraria juga memperburuk keadaan, menyebabkan wilayah adat yang telah dikelola turun-temurun menjadi ambigu. 

Malah, ada hutan adat yang telah diakui pada tahun 2023 batas wilayah dalam Surat Keputusan (SK) belum diformalkan. 

Menurut SK tersebut menjadi kewenangan salah satu Dirjen di Kemenhut.

Situasi ini mencerminkan paradigma negara yang masih 'setengah hati' melihat masyarakat adat sebagai objek pengaturan, bukan subjek pengelola. 

Padahal, pengakuan hutan adat semestinya menjadi langkah menuju pemberdayaan dan keadilan ekologis, serta wujud dari pengakuan negara melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan Putusan MK 35/2012. 

Pergeseran cara pandang dari “menguasai” ke “mengakui” menjadi kunci agar hutan adat mukim atau gampong di Aceh benar-benar diakui sebagai ruang hidup yang lestari dan bermartabat bagi masyarakat hukum adatnya.

Deforestasi yang Terus Meningkat

Di tengah lambannya pengakuan hutan adat, laju deforestasi di Aceh justru terus terjadi. 

Ribuan hektare hutan hilang akibat pembalakan liar, ekspansi perkebunan, dan pertambangan dari tahun ke tahun--dan ironisnya, sebagian besar kerusakan itu diduga terjadi di wilayah hutan adat yang belum diakui secara formal. 

Hutan yang dulu menjadi penyangga kehidupan masyarakat, dan keseimbangan antara manusia, alam, serta satwa kini berubah menjadi lahan terbuka bagi eksploitasi ekonomi pihak-pihak tertentu.

Bagi masyarakat adat mukim di Aceh, dampaknya terasa nyata: sumber air mengering, banjir bandang kian sering, tanah longsor, dan keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan hidup perlahan hilang secara nyata. 

Padahal, hutan adat selama ini bukan hanya benteng ekologi, tetapi juga bagian dari sistem sosial, kultural, kearifan lokal, ekonomi, pangan dan spiritual masyarakat hukum adat mukim dan gampong. 

Ketika hutan dirusak, yang hilang bukan sekadar pepohonan, melainkan ruang hidup dan keseimbangan kehidupan itu sendiri.

Membangun Solusi yang Inklusif

Melihat berbagai persoalan yang melingkupi pengakuan hutan adat, langkah-langkah konkret perlu segera ditempuh agar upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat adat tidak berhenti pada tataran wacana. 

Pertama, pemerintah perlu mempercepat proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hutan Adat melalui mekanisme yang sederhana, transparan, dan tidak memberatkan masyarakat. 

Pengakuan seharusnya menjadi bentuk keadilan, bukan beban administratif yang justru menghambat hak masyarakat adat atas ruang hidupnya.

Kedua, perlu dilakukan harmonisasi kewenangan antara Kemenhut dan ATR/BPN, agar tarik-menarik antara sektor kehutanan dan agraria tidak lagi memperlambat proses pengakuan. 

Tumpang tindih kebijakan selama ini telah membuat masyarakat adat berada di posisi yang lemah, padahal mereka adalah pihak yang paling berperan menjaga kelestarian hutan.

Ketiga, regulasi di tingkat daerah harus diperkuat dengan mendorong lahirnya qanun atau perda pengakuan MHA, khususnya di Aceh

Tanpa payung hukum yang jelas, pengakuan hutan adat mukim dan gampong hanya akan berhenti pada dokumen kebijakan tanpa implementasi nyata di lapangan.

Keempat, penguatan kapasitas masyarakat adat menjadi hal yang tak kalah penting agar mereka mampu mengelola hutan secara lestari dan bernilai ekonomi sekaligus memiliki posisi tawar terhadap pemodal besar. 

Pengakuan yang tidak diikuti dengan pemberdayaan hanya akan melahirkan ketimpangan baru. 

Dalam konteks ini, kita bukan anti terhadap pemodal besar dalam berusaha, tetapi justru mendorong adanya sinergi yang saling menguntungkan. 

Keuntungan satu pihak tidak boleh membuat pihak lain menjadi 'buntung'. 

Masyarakat adat, negara, dan dunia usaha semestinya dapat berjalan seiring untuk mencapai keseimbangan antara kemakmuran ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, integrasi antara hukum negara dan hukum adat menjadi kunci menuju keadilan substantif. 

Pengakuan harus disertai kepercayaan, dan kepercayaan harus diikuti dengan pemberdayaan. Sehingga 'tidak ada dusta diantara kita'. 

Dengan cara inilah hutan adat mukim termasuk gampong di Aceh dapat benar-benar menjadi ruang hidup yang lestari, berkeadilan, dan bermartabat bagi masyarakatnya, sekaligus menjadi model kolaborasi harmonis antara adat, negara, dan dunia usaha.

Seperti kata narit maja Aceh 'Uleu beumatee ranteng bek patah', maknanya harmonisasi antara MHA, negara dan dunia usaha sama-sama harmonis, bersinergi dan saling menguntungkan dengan jalan win-win, sama-sama menang, tidak ada yang kalah atau dirugikan. Wallahu'alam.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi dari setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel Kupi Beungoh lainnya di SINI.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved