Kupi Beungoh
Sumpah Pemuda, Sumpah Pejabat, dan Ritual Administrasi
Sumpah pejabat seolah kehilangan makna spiritualnya. Ia tidak lagi menjadi ikatan nurani, tetapi sekadar prosedur administratif
Penulis: Bukhari Ali | Editor: Amirullah
Sumpah pejabat seolah kehilangan makna spiritualnya. Ia tidak lagi menjadi ikatan nurani, tetapi sekadar prosedur administratif sebelum menikmati kursi kekuasaan.
Kalimat “demi bangsa dan negara” sering meluncur deras saat pelantikan, namun di baliknya, terlalu sering terselip kepentingan pribadi.
Sumpah jabatan yang seharusnya menumbuhkan rasa tanggung jawab, justru dijadikan tameng untuk menambah pundi-pundi pribadi dan memperpanjang masa kuasa.
Kata “pengabdian” berubah makna menjadi “kesempatan.” Kata “pelayanan” bergeser menjadi “keuntungan.”
Jika Sumpah Pemuda adalah ikrar yang menegakkan persatuan, maka sumpah pejabat hari ini terlalu sering melahirkan perpecahan dan kekecewaan.
Sungguh, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi seperti itu (dewasa ini) terasa jauh panggang dari api. Idealisme yang dulu membakar semangat, kini hanya tersisa abu yang dingin di tumpukan retorika.
Baca juga: Disbudpar Aceh Gelar Pameran Temporer “Dari Reruntuhan Tumbuh Harapan” di Museum Tsunami
Sesungguhnya, Sumpah Pemuda bukanlah sekadar teks yang dibacakan setiap 28 Oktober, melainkan cermin moral yang harus menuntun bangsa ini dari masa ke masa.
Untuk itu, perlu mengembalikan makna sumpah sebagai janji suci yang dijaga dengan integritas.
Setiap pejabat, setiap pemimpin, setiap warga, semestinya bercermin pada semangat para pemuda 1928: berani bersatu, berani jujur, dan berani berkorban.
Bangsa ini tidak membutuhkan lebih banyak pejabat yang pandai berbicara, tetapi pemimpin yang menepati sumpahnya. Tidak butuh janji yang megah, tetapi tindakan nyata yang mencerminkan cinta kepada negeri.
Sumpah Pemuda telah membangun fondasi Indonesia yang merdeka.
Kini, tugas kita adalah menjaga kemerdekaan itu dengan kejujuran dan tanggung jawab.
Sebab, sejarah tidak akan mengenang berapa banyak sumpah yang diucapkan,
melainkan seberapa banyak sumpah yang ditepati.
Jika para pemuda 1928 bersatu untuk melawan penjajah, maka generasi hari ini harus bersatu untuk melawan pengkhianatan terhadap amanah dan integritas.
Sebab bangsa ini tidak akan runtuh karena kekuatan musuh dari luar. Sebaliknya, negeri ini bisa punah karena kealpaan hati mereka yang telah bersumpah, namun tak pernah menepatinya.
Dengan bahasa lain, sumpah tak lebih dari sebuah ritual administrasi saja. Nah?
*) PENULIS adalah Jurnalis Senior Serambi Indonesia
Baca juga: Tragis! Wanita Indonesia Dibunuh Suami dalam Kamar Hotel di Singapura

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.