Kupi Beungoh

Sumpah Pemuda, Sumpah Pejabat, dan Ritual Administrasi

Sumpah pejabat seolah kehilangan makna spiritualnya. Ia tidak lagi menjadi ikatan nurani, tetapi sekadar prosedur administratif

Penulis: Bukhari Ali | Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Bukhari M Ali, Jurnalis senior Serambi Indonesia 

Oleh: Bukhari M Ali *)

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang satu peristiwa yang menjadi fondasi lahirnya semangat kebangsaan, yaitu Sumpah Pemuda.

Tahun 1928 menjadi saksi ketika para pemuda dari berbagai daerah, bahasa, dan latar belakang duduk bersama, menanggalkan ego kesukuan, lalu berikrar dengan penuh kesadaran: 

“Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia.”

Ikrar itu bukan sekadar kalimat yang indah didengar, melainkan pernyataan tekad untuk menyatukan hati dan langkah dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Di tengah bayang-bayang penjajahan dan ketidakpastian, para pemuda kala itu memilih jalan yang sulit, jalan pengorbanan.
Mereka tidak mencari jabatan, tidak mengharap pujian, apalagi kekayaan. Yang mereka kejar hanyalah satu: kemerdekaan dan persatuan bangsa.

Sumpah Pemuda lahir dari semangat yang murni, dari hati yang digerakkan oleh rasa cinta kepada tanah air. Para pemuda itu sadar bahwa perpecahan hanya akan memperpanjang penderitaan bangsa. 

Maka, mereka mengubur segala perbedaan, menembus sekat-sekat primordial, dan berdiri di atas satu tanah air: Indonesia.

Baca juga: 5 Fakta Mahasiswi Kedokteran di Medan Jadi Pelakor, Istri Sah Kirim Papan Bunga, Suami Kena Mental

Bagi mereka, sumpah adalah bentuk kesetiaan dan keberanian. Sumpah bukan janji kosong, melainkan ikrar yang siap dibayar mahal dengan keringat, darah, bahkan nyawa. 

Ketika ada yang ditangkap dan dipenjara karena memperjuangkan cita-cita itu, mereka tidak menyesal. Sebab penjara, bagi mereka, bukan hukuman, melainkan tanda cinta kepada negeri.

Kini, hampir seabad kemudian, sumpah masih sering diucapkan, bukan di ruang kongres pemuda, melainkan di gedung pemerintahan. Para pejabat negeri bersumpah di hadapan rakyat dan Tuhan, tangan di atas kitab suci, dengan janji akan setia dan adil dalam menjalankan tugas. 

Namun, sayangnya, banyak sumpah yang hanya berhenti di bibir, tak pernah menembus hati.

Betapa sering kita mendengar berita tentang oknum pejabat yang ditangkap karena korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran etika. 

Mereka pun akhirnya dipenjara, bukan karena membela ideologi seperti para pemuda dulu, tetapi karena mengkhianati amanah rakyat.

Ironi terbesar bangsa ini adalah ketika sumpah yang dulu menyalakan api perjuangan, kini berubah menjadi ritual formalitas belaka. 

Sumpah pejabat seolah kehilangan makna spiritualnya. Ia tidak lagi menjadi ikatan nurani, tetapi sekadar prosedur administratif sebelum menikmati kursi kekuasaan.

Kalimat “demi bangsa dan negara” sering meluncur deras saat pelantikan, namun di baliknya, terlalu sering terselip kepentingan pribadi. 

Sumpah jabatan yang seharusnya menumbuhkan rasa tanggung jawab, justru dijadikan tameng untuk menambah pundi-pundi pribadi dan memperpanjang masa kuasa. 

Kata “pengabdian” berubah makna menjadi “kesempatan.” Kata “pelayanan” bergeser menjadi “keuntungan.”

Jika Sumpah Pemuda adalah ikrar yang menegakkan persatuan, maka sumpah pejabat hari ini terlalu sering melahirkan perpecahan dan kekecewaan. 

Sungguh, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi seperti itu (dewasa ini) terasa jauh panggang dari api. Idealisme yang dulu membakar semangat, kini hanya tersisa abu yang dingin di tumpukan retorika.

Baca juga: Disbudpar Aceh Gelar Pameran Temporer “Dari Reruntuhan Tumbuh Harapan” di Museum Tsunami

Sesungguhnya, Sumpah Pemuda bukanlah sekadar teks yang dibacakan setiap 28 Oktober, melainkan cermin moral yang harus menuntun bangsa ini dari masa ke masa.

Untuk itu, perlu mengembalikan makna sumpah sebagai janji suci yang dijaga dengan integritas.
Setiap pejabat, setiap pemimpin, setiap warga, semestinya bercermin pada semangat para pemuda 1928: berani bersatu, berani jujur, dan berani berkorban.

Bangsa ini tidak membutuhkan lebih banyak pejabat yang pandai berbicara, tetapi pemimpin yang menepati sumpahnya. Tidak butuh janji yang megah, tetapi tindakan nyata yang mencerminkan cinta kepada negeri.

Sumpah Pemuda telah membangun fondasi Indonesia yang merdeka.

Kini, tugas kita adalah menjaga kemerdekaan itu dengan kejujuran dan tanggung jawab.

Sebab, sejarah tidak akan mengenang berapa banyak sumpah yang diucapkan,
melainkan seberapa banyak sumpah yang ditepati.

Jika para pemuda 1928 bersatu untuk melawan penjajah, maka generasi hari ini harus bersatu untuk melawan pengkhianatan terhadap amanah dan integritas.

Sebab bangsa ini tidak akan runtuh karena kekuatan musuh dari luar. Sebaliknya, negeri ini bisa punah karena kealpaan hati mereka yang telah bersumpah, namun tak pernah menepatinya. 

Dengan bahasa lain, sumpah tak lebih dari sebuah ritual administrasi saja. Nah?

*) PENULIS adalah Jurnalis Senior Serambi Indonesia

Baca juga: Tragis! Wanita Indonesia Dibunuh Suami dalam Kamar Hotel di Singapura

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved