Opini
Menjaga Inflasi: Fondasi Stabilitas Sosial Politik dan Perlindungan Aset Rakyat
Dalam perspektif teori ekonomi, pernyataan ini menemukan pijakannya yang kokoh. Inflasi
Oleh : Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
PERNYATAAN Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai inflasi sebagai kunci stabilitas politik era Orde Baru bukan sekadar kilas balik sejarah. Ia membongkar sebuah aksioma ekonomi-politik yang mendalam dan tetap relevan hingga hari ini: pengendalian inflasi, khususnya harga pangan pokok, adalah fondasi tak tergantikan bagi stabilitas sosial, kelanggengan kepemimpinan, dan yang tak kalah penting, perlindungan nilai aset masyarakat.
Dalam perspektif teori ekonomi, pernyataan ini menemukan pijakannya yang kokoh. Inflasi bukan hanya deretan angka statistik; ia adalah mesin halus yang menggerakkan atau menghancurkan kepercayaan publik, daya beli riil, dan akumulasi kekayaan sebuah bangsa.
Inflasi sebagai Penjaga Stabilitas Sosial-Politik
Secara teori, hubungan antara inflasi dan stabilitas sosial dapat ditelusuri melalui konsep ekonomi politik (political economy) dan teori pilihan publik (public choice). Menurut perspektif ini, pemerintah yang rasional akan berusaha memaksimalkan dukungan publik untuk mempertahankan kekuasaannya. Salah satu instrumen paling efektif untuk itu adalah dengan memastikan kesejahteraan ekonomi dasar terjangkau oleh mayoritas populasi.
Pernyataan Purbaya tentang harga beras sebagai "rahasia" kekuasaan Soeharto selama 32 tahun adalah implementasi sempurna dari teori ini. Dalam ilmu ekonomi, harga beras di Indonesia memiliki elastisitas permintaan yang sangat inelastis.
Artinya, kenaikan harganya akan sedikit mempengaruhi volume konsumsi karena beras adalah kebutuhan primer. Namun, kenaikan itu akan sangat mempengaruhi alokasi pendapatan (income effect) rumah tangga. Ketika harga beras naik signifikan, rumah tangga miskin dan menengah harus mengalihkan porsi pendapatan yang lebih besar hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, mengorbankan kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan tabungan.
Inilah yang memicu gejolak sosial. Ketika "perut" tidak terpenuhi, isu tersebut dengan cepat bermetamorfosis menjadi isu politik tertinggi. Stabilitas harga beras di era Orde Baru, yang dijalankan melalui intervensi Badan Urusan Logistik (Bulog) dan program intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau), berhasil menciptakan stabilitas harga ekspektasi (anchored inflation expectations).
Masyarakat percaya bahwa harga tidak akan melonjak tak terkendali, sehingga mengurangi potensi kepanikan dan penimbunan yang justru memicu inflasi lebih lanjut. Stabilitas ini menciptakan suasana tenang yang memungkinkan rezim berkuasa tanpa tekanan sosial masif dari bawah, setidaknya hingga krisis finansial Asia 1998 menghancurkan fondasi tersebut.
Prinsip ekonomi dalam inflasi tetap berlaku di era demokrasi modern. Seorang kepala daerah yang mampu menjaga harga kebutuhan pokok tetap stabil di pasar tradisional, akan mendapatkan "bonus" elektabilitas yang nyata. Dalam kerangka teori ekonomi, hal ini karena ia telah berhasil memaksimalkan utilitas (kepuasan) dasar konstituennya dengan biaya hidup yang terkendali.
Retorika politik, program pembangunan megah, atau janji-janji ideologis seringkali kalah pamor dibandingkan dengan kepastian bahwa rakyat dapat membeli beras, minyak goreng, dan telur dengan harga wajar. Inflasi yang rendah adalah "public good" yang langsung dirasakan dampaknya oleh setiap lapisan masyarakat.
Inflasi sebagai Perisai Aset Rakyat: Melindungi Kekayaan dari Pengikisan Tak Kasat Mata
Di luar stabilitas politik, menyiratkan bahwa dimensi lain yang lebih mikro namun fundamental, yaitu inflasi adalah musuh diam-diam bagi akumulasi kekayaan. Dari sudut pandang ekonomi moneter, inflasi yang tinggi dan tidak terkendali bertindak sebagai pajak tersembunyi (inflation tax) yang menggerogoti nilai riil uang dan aset finansial masyarakat.
Bayangkan seorang buruh yang menyisihkan Rp 500.000 per bulan untuk ditabung. Dengan inflasi tahunan sebesar 10 persen, uang senilai Rp 500.000 tersebut pada tahun depan hanya memiliki daya beli setara dengan Rp 450.000 hari ini. Tanpa disadari, ia telah kehilangan daya beli sebesar Rp 50.000 tanpa uangnya berkurang secara nominal. Inilah pengikisan aset yang dimaksud.
Secara teori, hubungannya dapat dijelaskan melalui Persamaan Fisher yang dimodifikasi: i ≈ r + πe, di mana i adalah suku bunga nominal, r adalah suku bunga riil, dan πe adalah ekspektasi inflasi. Untuk menjaga nilai riil tabungan (r yang positif), suku bunga nominal (i) harus setidaknya menutupi laju inflasi (πe).
Ketika inflasi tinggi, bank sentral seperti BI dipaksa menaikkan suku bunga acuan (inflasi 7 % , suku bunga acuan 8 % ). Akibatnya, suku bunga pinjaman melambung tinggi (bisa mencapai 12-14 % ), yang justru mematikan investasi.
Namun, ketika inflasi rendah dan stabil di angka 2.5 % , seperti yang diidamkan, BI dapat menurunkan suku bunga acuannya menjadi 3.5 % . Ini menciptakan ruang bagi suku bunga pinjaman bank yang lebih rendah, mungkin di angka 7 % . Di sinilah mekanisme perlindungan aset dan stimulus pertumbuhan bekerja:
Perlindungan Nilai Riil Tabungan: Dengan inflasi 2.5?n suku bunga deposito sekitar 5 % , masyarakat menikmati suku bunga riil positif sebesar 2.5 % . Tabungan mereka tidak lagi tergerus inflasi, malah bertambah nilainya secara riil. Ini mendorong budaya menabung dan akumulasi modal dalam negeri.
Akselerasi Pertumbuhan dan Penciptaan Nilai: Suku bunga pinjaman yang rendah (7 % ) membuat biaya modal bagi dunia usaha menjadi murah. Perusahaan dapat berinvestasi dalam ekspansi, teknologi baru, dan penciptaan lapangan kerja. Investasi yang produktif ini pada akhirnya menciptakan aset-aset riil baru (pabrik, infrastruktur, SDM yang terlatih) yang meningkatkan kekayaan nasional.
Stabilitas Nilai Aset Finansial dan Properti: Pasar modal dan properti sangat sensitif terhadap suku bunga. Suku bunga rendah membuat instrumen seperti saham dan obligasi lebih menarik, dan membuat KPR lebih terjangkau. Ini mendorong apresiasi nilai aset-aset tersebut, yang pada akhirnya meningkatkan kekayaan rumah tangga.
Perbandingan dengan Malaysia, di mana suku bunga pinjaman hanya 5 % , adalah tamparan. Dengan bunga pinjaman yang lebih tinggi, produk Indonesia menjadi kurang kompetitif, investasi terhambat, dan pada akhirnya kemampuan bangsa untuk menciptakan serta mempertahankan nilai asetnya kalah dibandingkan tetangga.
Inflasi adalah Mandat Strategis Nasional
Pesan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa harus dimaknai sebagai seruan untuk kembali pada fundamental. Pengendalian inflasi, khususnya harga pangan pokok, adalah kebijakan yang memiliki dampak ganda (double dividend) yang powerful.
Pertama, inflasi adalah penjaga stabilitas sosial-politik. Dengan menjamin harga terjangkau, pemerintah pada hakikatnya menjaga "kontrak sosial" terpenting dengan rakyatnya: kontrak pemenuhan kebutuhan perut. Stabilitas ini adalah prasyarat mutlak bagi pembangunan jangka panjang dan keberlanjutan kepemimpinan apa pun.
Kedua, ia adalah perisai bagi aset dan kekayaan nasional. Inflasi yang rendah dan stabil melindungi daya beli uang rakyat, mendorong tabungan, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi produktif yang pada akhirnya memperkaya bangsa.
Oleh karena itu, menjaga inflasi tidak boleh dilihat sebagai tugas teknis Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia semata. Ini adalah mandat strategis nasional yang memerlukan koordinasi seluruh lini pemerintahan, dari tingkat pusat hingga daerah. Kebijakan perdagangan, logistik, pertanian, dan energi harus diselaraskan dengan satu tujuan utama: menstabilkan harga.
Dalam pertarungan di panggung global, bangsa yang mampu mengendalikan inflasinya adalah bangsa yang ekonominya tangguh, politiknya stabil, dan kekayaan rakyatnya terlindungi dari pengikisan yang diam-diam namun mematikan. Pada akhirnya, meja makan rakyat adalah barometer pertama dan terakhir bagi kesuksesan sebuah pemerintahan.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.