Pojok Humam Hamid

Khan, Aboutaleb, dan Mamdani: Fenomena Migran Muslim Menjadi Pejabat Publik di Eropa dan AS

Singkatnya, jangan pernah bayangkan orang Islam-apalagi migran minoritas, akan menjadi pejabat publik di Eropa atau AS. 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 

Di New York, Zohran Mamdani muncul sebagai suara segar dari generasi muda progresif. 

Lahir dari ibu Uganda dan ayah India, Mamdani dibesarkan dalam lingkungan migran yang kompleks. 

Ia mewakili distrik Astoria di Queens--salah satu kawasan paling beragam di Amerika Serikat, tempat komunitas Yunani, Bangladesh, Mesir, dan Meksiko hidup berdampingan. 

Zohran terpilih sebagai anggota majelis negara bagian New York, mengusung agenda kesejahteraan sosial, perumahan terjangkau, dan reformasi sistem peradilan. 

Ia terbuka sebagai Muslim, dan aktif menyuarakan isu-isu keadilan sosial lintas agama dan etnis.

Bukan Kisah Lurus dan Mudah

Perjalanan menuju puncak kekuasaan bagi para pemimpin Muslim migran seperti Sadiq Khan, Ahmed Aboutaleb, dan Zohran Mamdani bukanlah kisah yang lurus dan mudah. 

Mereka menapaki tangga karier dengan kaki yang sering kali berdarah oleh luka diskriminasi, prasangka, dan beban identitas yang terus-menerus diuji. 

Namun justru dari tekanan itulah mereka ditempa, bukan sebagai simbol komunitas minoritas semata, tetapi sebagai pemimpin publik sejati.

Ketiganya menempuh jalan yang berbeda: Khan dari jalur hukum dan politik partai besar; Aboutaleb dari birokrasi dan jurnalisme; Mamdani dari gerakan sosial akar rumput. 

Tapi satu hal yang sama mengikat mereka: ketekunan, integritas, dan keyakinan bahwa identitas mereka bukanlah beban, melainkan kekuatan. 

Mereka bukan hanya membuktikan bahwa minoritas bisa memimpin, tapi bahwa dalam masyarakat yang adil, kualitas manusia tak bisa dibatasi oleh asal-usulnya.

Apa yang Membuat Mereka Berhasil?

Pertama, mereka muncul dari kota-kota kosmopolitan. 

London, Rotterdam, dan New York bukan hanya kota besar, tapi simpul peradaban global. 

Di kota seperti ini, keberagaman adalah kenyataan sehari-hari, bukan slogan kampanye. 

Identitas Muslim tidak otomatis diasosiasikan dengan ancaman, tapi bisa dilihat sebagai kekuatan komunitas. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved