Kupi Beungoh
Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital
Dulu, perpustakaan adalah jantung kehidupan kampus: tenang, berwibawa, dan penuh ide. Tapi di akhir era 2025 ini, jantung itu berdetak semakin pelan.
Ada satu realita yang tak bisa dihindari: buku fisik kini kalah cepat dari internet. Jika dulu mahasiswa berjam-jam mencari referensi di rak, kini cukup mengetik kata kunci di Google Scholar.
Tapi bukan berarti perpustakaan harus menyerah. Justru di sinilah kesempatan baru muncul. Perpustakaan bisa jadi “kurator pengetahuan”, bukan sekadar penyimpan buku.
Pustakawan bisa berperan seperti guide yang menuntun mahasiswa memilih sumber kredibel, mengajarkan cara memilah informasi, atau membantu riset digital. Sayangnya, peran seperti ini belum banyak dijalankan.
Menurut Association of College and Research Libraries (ACRL, 2023) , sirkulasi koleksi fisik di perpustakaan akademik Amerika Serikat mengalami penurunan tajam dibanding 2019, sementara koleksi digital meningkat pesat. Artinya, pola akses memang bergeser, tapi kebutuhan akan panduan tetap tinggi.
Penelitian di Universitas Islam Indonesia (2024) bahkan menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap koleksi elektronik dan pemanfaatan teknologi informasi berhubungan signifikan dengan kualitas layanan perpustakaan digital.
Jadi, mahasiswa bukan menolak perpustakaan, mereka hanya mencari perpustakaan yang bisa “ngobrol” dengan cara mereka. Karena sejatinya, kebutuhan akan informasi tetap tinggi, hanya bentuk dan mediumnya yang berubah.
Menjemput Kembali Denyut Kehidupan Perpustakaan
Perpustakaan seharusnya bukan hanya gedung sunyi di tengah kampus, tapi tempat di mana ide bertemu dan tumbuh. Untuk itu, tiga hal perlu diubah. Pertama, desain ruang harus lebih manusiawi, ada zona tenang untuk membaca dan zona terbuka untuk berdiskusi dan berekspresi.
Kedua, koleksi digital harus mudah diakses dan selalu diperbarui. Ketiga, pustakawan perlu proaktif berinteraksi dengan mahasiswa, bukan hanya menunggu di balik meja.
Perpustakaan modern juga bisa berkolaborasi dengan komunitas mahasiswa melalui kegiatan seperti panggung literasi, pameran buku digital, atau diskusi santai tentang isu terkini. Saat perpustakaan mulai terbuka seperti ini, suasana akan berubah.
Mahasiswa datang bukan karena kewajiban, tapi karena ingin. Tidak ada yang salah dengan buku fisik, aroma kertas dan suara lembut lembaran buku yang dibalik tetap punya pesonanya sendiri. Tapi yang lebih penting sekarang adalah menghidupkan kembali relasi antara mahasiswa dan perpustakaan .
Relasi yang bukan didasari aturan, tapi rasa memiliki.
Saatnya Perpustakaan Beradaptasi
Jika perpustakaan kehilangan suaranya hari ini, bukan berarti ia tak bisa bicara lagi. Ia hanya butuh cara baru untuk menyampaikan pesannya.
Di tengah hiruk pikuk dunia digital dan bisingnya notifikasi, perpustakaan masih bisa menjadi tempat paling tenang untuk menemukan makna. Asalkan kita, mahasiswa dan pustakawan, mau sama-sama menjaga agar suaranya tidak benar-benar padam.
Menjelang akhir 2025, sudah saatnya kita meninjau ulang wajah perpustakaan kampus. Dunia dan cara belajar mahasiswa telah berubah. Jika ingin tetap relevan, perpustakaan harus ikut berubah tanpa kehilangan jati diri.
Perpustakaan tetap harus menjadi tempat mencari ilmu yang terpercaya, tapi juga tempat yang hangat, terbuka, dan nyaman bagi generasi baru. Karena sesungguhnya, perpustakaan bukan sedang kehilangan pengunjung, tapi sedang ditunggu untuk bertransformasi .
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|
| Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.