Kupi Beungoh
Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital
Dulu, perpustakaan adalah jantung kehidupan kampus: tenang, berwibawa, dan penuh ide. Tapi di akhir era 2025 ini, jantung itu berdetak semakin pelan.
Tidak ada sesi literasi informasi, tidak ada panduan menyaring sumber, bahkan banyak mahasiswa tidak tahu bahwa perpustakaannya memiliki akses jurnal internasional resmi. Transformasi digital seharusnya membuat perpustakaan lebih hidup, tapi karena kurang dikelola dengan baik, justru terasa kaku dan membingungkan.
Baca juga: Suara Bocor Admin Medsos Wali Kota Surabaya, Rencana ‘Setting Konten’ Eri Cahyadi Terungkap di Live
Perpustakaan yang Tidak Lagi Bicara dengan Mahasiswa
Perpustakaan masih sering terjebak dalam citra formalnya: ruang harus tenang, duduk harus rapi, dan bicara harus pelan.
Padahal, mahasiswa sekarang menginginkan ruang belajar yang lebih dinamis dan terbuka. Mereka mencari tempat untuk berdiskusi, mengerjakan proyek, membuat konten, atau sekadar beristirahat dari tekanan akademik, hal-hal yang jarang bisa mereka lakukan di ruang baca yang kaku dan penuh larangan.
Banyak mahasiswa akhirnya datang ke perpustakaan hanya untuk “absen” di daftar kunjungan, bukan karena mereka betah di sana. Alasannya sederhana: tempat itu terasa tidak hidup.
Gaya belajar mahasiswa zaman sekarang sudah berubah: mereka belajar sambil mendengarkan musik, menonton video tutorial, atau berdiskusi lewat group chat. Sayangnya, perpustakaan masih berdiri dengan wajah lama, seolah tidak ingin menyesuaikan diri dengan ritme zaman.
Kalau kita jujur, tempat paling ramai di sekitar kampus sekarang bukan lagi perpustakaan, tapi warkop. Di sanalah mahasiswa berdiskusi, menulis laporan, bahkan mengerjakan skripsi.
Suasana yang santai, wifi cepat, dan harga kopi yang ramah di kantong membuat warkop seolah menjadi “perpustakaan sosial” baru.
Sementara itu, ruang baca kampus tetap sunyi dengan aturan ketat: dilarang makan, dilarang berisik, dan kadang dilarang membawa tas. Dunia di luar perpustakaan menawarkan fleksibilitas, sesuatu yang justru dicari oleh mahasiswa masa kini.
Namun, perpustakaan tidak harus meniru warkop. Yang perlu dilakukan hanyalah beradaptasi dengan kebutuhan generasi baru. Misalnya, menyediakan ruang kolaboratif yang ramah diskusi, zona santai, atau layanan digital yang mudah diakses tanpa login rumit.
Dengan begitu, perpustakaan bisa kembali menjadi ruang hidup yang relevan, bukan sekadar tempat yang dikunjungi karena kewajiban. Mahasiswa ingin merasa bahwa perpustakaan adalah bagian dari ritme kehidupan kampus mereka, bukan bangunan yang terasa “asing”.
Masalah Baru: Data dan Privasi
Meski teknologi membawa kemudahan, ia juga menimbulkan keresahan baru. Kini, sistem digital di perpustakaan bisa mencatat buku apa yang sering dibaca, berapa lama seseorang mengakses jurnal, bahkan jam berapa ia paling sering datang.
Data ini katanya dipakai untuk “meningkatkan layanan”, tapi mahasiswa mulai bertanya-tanya: sampai di mana privasi mereka dilindungi?
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sejumlah laporan dari lembaga pendidikan tinggi di Asia dan Amerika menunjukkan adanya risiko penyalahgunaan data pengguna di sistem manajemen perpustakaan berbasis cloud.
Mahasiswa yang peka terhadap isu digital mulai mempertanyakan: apakah perpustakaan masih menjadi ruang aman untuk mencari ilmu, atau justru ikut mengawasi penggunanya lewat data?
Isu seperti ini jarang dibahas di kelas, tapi mulai jadi bahan obrolan di kalangan mahasiswa literasi digital. Perpustakaan perlu membangun kepercayaan baru di era digital, bukan hanya menyediakan akses, tapi juga menjamin keamanan informasi.
Ketika Buku Kalah Cepat dari Internet
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|
| Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.