Jurnalisme Warga
ISBI Aceh “Kampus Pungo”
Maka, ketika kata ‘pungo’ disematkan pada dunia seni, ia menjelma menjadi manifestasi keberanian, kerja keras, dan kreativitas yang tak kenal lelah.
ICHSAN, M.Sn., Ketua Jurusan Seni Rupa dan Desain ISBI Aceh
KATA ‘pungo’ dalam bahasa Aceh memiliki daya gugah yang luar biasa. Ia bukan sekadar sinonim dari kata hidup atau bergerak, melainkan juga simbol energi kreatif yang menolak diam, menolak pasrah, dan menolak biasa-biasa saja.
Dalam tradisi Aceh, kata ini sering diucapkan dengan nada separuh marah, tetapi penuh kasih atau teguran, motivasi, sekaligus cambuk agar seseorang kembali hidup dalam semangat. Maka, ketika kata ‘pungo’ disematkan pada dunia seni, ia menjelma menjadi manifestasi keberanian, kerja keras, dan kreativitas yang tak kenal lelah.
Dalam buku Essi Hermaliza, kata ‘pungo’ sering muncul dalam konteks heroik. Ada pungoe-nya pejuang Aceh, yang menandai semangat tanpa pamrih di medan juang, dan ada pula pungo-nya seniman Aceh yang menyebutkan mereka “gila” dalam arti positif, gila berkarya, gila berkreasi, dan gila mencipta makna.
Pada halaman ke-14 buku tersebut, tercatat nama besar seperti Tgk. Adnan PMTOH, maestro monolog (trubadur) Aceh yang menyalakan api seni tutur di tanah rencong serta AR Moese, seniman dari Tanah Gayo yang melampaui batas geografis dan bahasa. Mereka adalah contoh nyata dari ‘pungo’ yang hidup dalam tubuh seniman Aceh, semangat yang menolak diam, bahkan di tengah keterbatasan.
Sepertinya, hari ini kata ‘pungo’ menemukan rumah barunya, ISBI Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir, kampus ini menunjukkan denyut kehidupan yang begitu kuat. Sebagai salah satu kampus seni termuda di Indonesia, berdiri di tengah bukit dan hutan Jantho, ISBI Aceh menjelma menjadi laboratorium budaya yang dinamis.
Dari ruang-ruang kelasnya yang sederhana lahir ide-ide berani, kegiatan yang meledak-ledak, dan karya yang mengguncang batas formalitas akademik. Itulah sebabnya saya berani menyebut, “ISBI Aceh itu kampus pungo!”
Spirit ‘pungo’ bukan sekadar soal kegiatan yang ramai, melainkan juga cara berpikir dan bertindak. Selama tiga tahun terakhir, kegiatan ISBI Aceh berlangsung nyaris tanpa jeda. Program sosialisasi dan promosi menjangkau seluruh kabupaten di Aceh. Festival kolaboratif yang terselenggara dengan dana terbatas pun berhasil “meledak”, di antaranya Kongres Peradaban Aceh. Siniar alias Podcast ISBI Aceh pun menembus batas formal kampus, menghadirkan narasumber lintas kota hingga Podcast on the Spot, sementara majalah kampus berhasil meraih penghargaan nasional.
Dari riset hingga penciptaan seni, semua bergerak dalam satu spirit, yakni tidak berhenti di zona nyaman.
Kini, semangat itu kembali diwujudkan melalui langkah besar Jurusan Seni Rupa ISBI Aceh yang akan merayakan International Day of Islamic Art pada 10–19 November mendatang. Kegiatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan bentuk nyata pungo-nya ISBI Aceh dalam menjawab panggilan global.
Ditetapkan oleh UNESCO sejak 2019 dan dirayakan setiap 18 November, Hari Seni Rupa Islam Internasional ini menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa seni Islam tidak sekadar masa lalu yang agung, tetapi masa kini yang hidup di tangan para seniman muda Aceh.
Melalui pameran, diskusi, dan lokakarya, ISBI Aceh ingin menegaskan bahwa keindahan Islam bukan hanya pada ornamentasi, melainkan juga dalam nilai kemanusiaan, keseimbangan, dan keikhlasan berkarya. Inilah ‘pungo’ dalam bentuk paling luhur, keberanian untuk menghubungkan lokalitas Aceh dengan narasi global seni Islam. Sebuah terobosan yang menunjukkan bahwa di balik keterpencilan geografis, ISBI Aceh punya nadi yang berdetak keras dalam jaringan kebudayaan dunia.
‘Pungo’ bukan berarti liar tanpa arah. Ia adalah kegilaan yang terarah, dorongan kreatif yang konstruktif. Sejumlah penelitian internasional bahkan menegaskan pentingnya ekstremitas berpikir dalam kreativitas manusia.
Scott Barry Kaufman & Shelley Carson dalam “Leveraging the Mad Genius Debate” (Frontiers in Human Neuroscience, 2014) menjelaskan bahwa individu yang berani berpikir nonlinier, imajinatif, dan melanggar batas konvensional justru berpotensi melahirkan inovasi besar. Mereka “gila” dalam arti positif karena berani keluar dari pakem umum demi menciptakan sesuatu yang baru.
Penelitian lain dalam Frontiers in Psychiatry (2022) berjudul An Updated Evaluation of the Dichotomous Link Between Creativity and Mental Health menunjukkan bahwa “kegilaan kreatif” dalam kadar tertentu justru memperkuat kesehatan mental dan produktivitas seseorang. Artinya, menjadi ‘pungo’ dalam arti berani berbeda bukanlah hal yang perlu ditakuti, tetapi dirayakan. Hal ini selaras dengan pandangan James C. Kaufman dan Vlad Glăveanu dalam Positive Creativity in a Negative World (2022), yang menegaskan bahwa dunia yang penuh tekanan justru menjadi tanah subur bagi munculnya kreativitas positif.
Dalam konteks ISBI Aceh, kondisi geografis yang terpencil justru menjadi sumber energi ‘pungo’. Keterbatasan bukanlah hambatan, melaiankan ruang untuk membuktikan bahwa kreativitas sejati lahir dari keterdesakan.
Yudiaryani dalam bukunya Kreativitas Seni dan Kebangsaan (ISI Yogyakarta, 2020) menulis bahwa keberanian tampil berbeda adalah bentuk tertinggi cinta terhadap bangsa. Pandangan ini sejalan dengan semangat ‘pungo’, kegilaan yang lahir dari cinta terhadap budaya sendiri, dari tekad untuk menjaga warisan sambil memperbaruinya.
Maka dari itu, ISBI Aceh tidak boleh kehilangan semangat ‘pungo’. Kampus ini baru berusia sebelas tahun, usia yang dalam dunia pendidikan tinggi masih belia, tetapi denyutnya sudah menggetarkan. Kampus lain mungkin masih sibuk menata struktur, sementara ISBI Aceh sudah melangkah dalam diplomasi budaya dan jejaring akademik internasional. Ini bukan karena fasilitasnya lengkap, melainkan karena manusianya hidup mulai dari dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang berani ‘pungo’, berani berpikir keras, bekerja lebih dari biasa, dan mencintai kampusnya sepenuh jiwa.
‘Pungo’ bukanlah status yang bisa diwariskan, melainkan semangat yang harus dirawat. ISBI Aceh membutuhkan sumber daya manusia yang tak sekadar hadir, tetapi berjiwa ‘pungo’, dosen yang menulis dan mencipta secara liar, tetapi terarah, mahasiswa yang haus tantangan, dan staf yang cekatan memfasilitasi karya. Dengan SDM seperti ini, ISBI Aceh tidak hanya institusi pendidikan seni, tetapi juga pusat inspirasi budaya Aceh modern.
Sejatinya, ‘pungo’ adalah cermin dari peradaban yang hidup. Ia tanda bahwa kita belum mati rasa, bahwa kita masih berani berpikir, berkarya, dan bermimpi lebih besar dari kenyataan.
Dunia seni tidak akan berkembang tanpa orang-orang yang “gila” dalam semangat, kerja, dan cinta terhadap kebudayaan.
Maka dari itu, biarlah semangat itu menjadi identitas baru. yakni ISBI Aceh, Kampus Pungo. Kampus yang tidak boleh takut bermimpi, tidak takut gagal, dan tidak takut berbeda. Kampus yang hidup karena manusianya hidup. Kampus yang percaya bahwa kegilaan yang terarah jauh lebih bermakna daripada kewarasan yang diam.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.