KUPI BEUNGOH
Perlindungan Anak vs Pendidikan Moral: Saat Regulasi Menyimpang dari Amanat Konstitusi
Ayat ini menunjukkan bahwa tanggung jawab mendidik anak bukan sekadar urusan dunia, tetapi pertanggungjawaban akhirat.
Oleh: Muksalmina, S.H.I., M.H*)
Konstitusi Indonesia secara tegas menempatkan anak bukan hanya sebagai subjek perlindungan hukum, tetapi juga sebagai subjek pembinaan moral bangsa.
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Namun, amanat konstitusi tidak berhenti pada perlindungan fisik semata. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Artinya, perlindungan anak dan pendidikan moral bukanlah dua kutub yang berlawanan, tetapi merupakan dua fondasi utama dalam mencetak manusia Indonesia yang berkarakter, bermartabat, dan berkeadaban.
Regulasi yang Melenceng dari Amanat Konstitusi
Ironisnya, praktik hukum saat ini menunjukkan adanya kecenderungan penyimpangan dari semangat konstitusi.
Berbagai regulasi perlindungan anak, yang sejatinya dirancang untuk menjaga keselamatan anak, justru sering ditafsirkan secara parsial dan kaku hingga mengebiri otoritas guru dan melemahkan identitas lembaga pendidikan.
Fenomena ini terlihat dari meningkatnya kriminalisasi terhadap guru, teungku dayah, dan pembina moral yang menerapkan disiplin edukatif sebagai bagian dari proses pembentukan karakter.
Akibatnya, guru hidup dalam dilema hukum:
Mendidik berisiko dipidana, sementara membiarkan berarti melanggar amanat agama dan undang-undang serta menciptakan generasi tanpa akhlak.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, sistem pendidikan nasional akan kehilangan ruhnya.
Pendidikan tidak lagi menjadi sarana membangun akhlak, tetapi hanya berubah menjadi proses transfer informasi tanpa arah moral.
Orang Tua Wajib Menghormati Guru
Dalam perspektif Islam, mendidik anak adalah kewajiban fardhu 'ain bagi orang tua. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”
Ayat ini menunjukkan bahwa tanggung jawab mendidik anak bukan sekadar urusan dunia, tetapi pertanggungjawaban akhirat.
Ketika orang tua mempercayakan anak kepada guru, sekolah, atau dayah, maka sesungguhnya telah terjadi akad pendidikan suatu ijab-qabul moral antara orang tua dan pendidik.
Baca juga: Ngohwan Sebut Pengeroyok Warga Aceh di Masjid Sibolga Seperti Yahudi Israel, Harus Dihukum Berat
Dalam akad ini, orang tua menyerahkan sebagian otoritas pembentukan akhlak kepada guru, sehingga lahirlah kewajiban moral dan hukum bagi orang tua untuk:
Menghormati kewibawaan guru sebagai perpanjangan tangan negara dan pewaris tugas kenabian.
Tidak merendahkan atau mencela guru, terutama di hadapan anak, karena akan merusak otoritas ilmu dan moral.
Mendukung metode pendidikan dan disiplin yang sejalan dengan nilai agama, norma adat, serta tata tertib lembaga pendidikan.
Dalam tradisi ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Jama’ah, dan Al-Zarnuji, ditegaskan bahwa keberkahan ilmu tidak akan masuk ke hati murid jika ia atau orang tuanya—tidak menghormati guru.
Sementara dalam perspektif hukum negara, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa guru adalah pelaksana amanat konstitusional yang wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa, termasuk orang tua.
Guru dalam Pusaran Kriminalisasi Pendidikan
Realitas menunjukkan makin banyak guru, ustaz, dan teungku dayah yang dilaporkan ke aparat penegak hukum hanya karena menerapkan disiplin atau memberikan teguran keras.
Padahal, dalam perspektif pendidikan Islam dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tindakan tersebut merupakan bagian dari upaya pembentukan karakter (character building).
Akibat kriminalisasi ini:
Guru kehilangan wibawa moral di hadapan murid.
Pesantren dan sekolah kehilangan otoritas sebagai benteng akhlak bangsa.
Anak tumbuh menjadi generasi yang merasa kebal hukum, tetapi kehilangan rasa hormat, disiplin, dan tanggung jawab.
Jika guru terus diposisikan sebagai tersangka potensial, maka negara sedang menggali kubur peradaban moral bangsanya sendiri.
Pendidikan tanpa kewibawaan guru adalah pintu menuju kehancuran generasi.
Lex Specialis: Menegakkan Keadilan dalam Konflik Regulasi
Asas lex specialis derogat legi generali menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus harus diutamakan daripada hukum yang bersifat umum.
Dalam konteks pendidikan, UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) merupakan hukum khusus karena mengatur secara spesifik hak, kewajiban, dan wewenang pendidik dalam proses pembentukan akhlak.
Sementara UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) bersifat umum.
Maka, setiap tindakan guru dalam rangka pendidikan moral harus dianalisis terlebih dahulu menggunakan UU Sisdiknas, bukan langsung dijerat dengan UU Perlindungan Anak.
Baca juga: Kisah Ibu Muda Tinggal dengan 6 Anak di Basement Toko, Bergantung Hidup dari Mengamen
Mengabaikan asas ini bukan hanya salah penerapan hukum (error in law), tetapi juga bentuk pelanggaran konstitusional dan pengingkaran terhadap fungsi pendidikan nasional.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 31/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa pendidikan karakter adalah mandat konstitusi.
Dengan demikian, kriminalisasi terhadap guru sama artinya dengan kriminalisasi terhadap amanat konstitusi dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana termaktub dalam Pancasila.
Urgensi Imunitas Edukatif dan Otonomi Moral Lembaga Pendidikan
Untuk mengembalikan marwah pendidikan, negara wajib memberikan educational immunity, yaitu perlindungan hukum khusus bagi guru yang mendidik berdasarkan nilai agama, adat, dan kesepakatan orang tua.
Imunitas ini tidak untuk melegalkan kekerasan, tetapi sebagai mekanisme untuk membedakan antara:
Disiplin edukatif yang bersifat membangun, dan Kekerasan destruktif yang merusak kejiwaan anak.
Selain itu, asas territorial educational autonomy perlu ditegakkan, yakni pengakuan bahwa lembaga pendidikan memiliki hak otonom dalam menerapkan norma kedisiplinan berdasarkan karakteristik agama, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Penutup: Kembalikan Marwah Pendidikan, Selamatkan Moral Bangsa
Melindungi anak dari kekerasan adalah amanat konstitusi, tetapi melindungi marwah guru dari kriminalisasi pendidikan adalah syarat mutlak untuk menyelamatkan peradaban bangsa.
Dayah dan sekolah bukanlah ruang kekerasan, melainkan benteng terakhir penjaga iman, akhlak, dan peradaban manusia.
Tanpa guru yang dihormati, pendidikan kehilangan ruhnya; tanpa pendidikan moral, konstitusi kehilangan maknanya.
Baca juga: 10 Kali Perkosa Anak di Bawah Umur, Pria Setengah Abad asal Abdya Divonis 15 Tahun Penjara
Maka, mengembalikan marwah guru bukan sekadar agenda kebijakan nasional tetapi merupakan jalan menuju terwujudnya Indonesia Emas 2045 yang berdaulat secara ilmu, bermartabat dalam moral, dan diridai Allah SWT di akhirat kelak.
Sudah saatnya negara berdiri bersama guru, bukan mengadilinya. Saatnya regulasi kembali kepada amanat konstitusi dan nilai Ilahi, demi kejayaan bangsa di dunia dan keselamatan di akhirat.
*) PENULIS adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
| Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital |
|
|---|
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.