Kupi Beungoh

3 Kuda Poni Kematian Finansial: Judi Online, Pinjol & Penipuan Menghancurkan Kelas Menengah Digital

Dunia digital Indonesia kini seperti ladang ranjau tampak aman, tapi salah klik sedikit, bisa kehilangan separuh hidupmu.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Rafiqa Maulidya - Prodi ilmu perpustakaan, fakultas adap dan humaniora, uin Ar-Raniry banda Aceh 

Oleh: Rafiqa Maulidya

"Kalo kalah, tinggal top up. Kalo ditagih, bilang aja belum gajian. Kalo ketipu, pura-pura ikhlas. Begitulah siklus tragis kelas menengah digital hari ini."

Epidemi Digital dan Tragedi Personal

Setiap minggu, selalu ada kisah viral baru: mahasiswa kehilangan uang kuliah gara-gara judi online, ibu rumah tangga dikejar debt collector karena pinjol, atau bapak-bapak kehilangan tabungan hidupnya karena “investasi kripto super legit” yang ternyata cuma file Excel. Dunia digital Indonesia kini seperti ladang ranjau tampak aman, tapi salah klik sedikit, bisa kehilangan separuh hidupmu.

Fenomena ini bukan kebetulan. Judi online, pinjol ilegal, dan penipuan digital seperti tiga kuda poni maut yang berlari seirama, menebas siapa saja yang berdiri di tengah jalan. Satu jatuh ke lubang judi, lalu pinjam uang buat menutup kekalahan, lalu tertipu link “bantuan dana cepat cair.” Tamat riwayat.

Netizen sering bilang, “ya salah sendiri, siapa suruh tergoda.” Tapi kalau kita mau jujur, sistemnya memang dirancang supaya orang tergoda. Media sosial, iklan, dan algoritma bekerja sama menciptakan ekosistem penuh racun dopamine. Hasilnya bukan cuma rekening kosong, tapi juga mental yang remuk.

Ruang digital kita bukan lagi ruang informasi. Ia sudah jadi hutan gelap penuh jerat finansial, dan para pemburunya bersenjata psikologi, data, dan tipu daya.

Baca juga: Apa Itu BOBIBOS? BBM Buatan Indonesia dengan RON 98,1, Lebih Iri, Murah, dan Lebih Bersih

Judi Online: Ilusi Kekayaan Instan

Dulu orang berjudi harus ke warung remi atau kasino. Sekarang? Tinggal klik link Telegram, transfer 50 ribu, dan berharap slot berhenti di gambar naga emas. Gampang, cepat, dan mematikan.

Masalahnya bukan cuma “berjudi itu dosa,” tapi bagaimana algoritma membuatnya adiktif. Situs-situs judi online dirancang seperti video game: warna mencolok, animasi kemenangan, notifikasi “selamat kamu hampir menang!”  padahal “hampir” itu cuma ilusi yang bikin orang lupa diri.

Begitu kalah, otak manusia langsung berpikir: “sekali lagi aja, pasti balik modal.” Di sinilah jebakannya. Orang tidak lagi main untuk menang, tapi untuk menutupi rasa malu karena kalah. Maka muncullah fenomena _chasing losses_ terus main karena tak terima sudah kalah.

Ironisnya, sebagian besar pemain judi online adalah kelas menengah ke bawah yang bermimpi naik level ekonomi. Mereka bukan kriminal, hanya orang yang berharap. Tapi harapan yang dijual situs judi itu seperti janji mantan: manis di awal, menyakitkan di akhir.

Pemerintah memang rajin memblokir situsnya, tapi seperti main _Whac-A-Mole_: satu diblokir, sepuluh muncul lagi. Tanpa literasi digital dan edukasi keuangan yang kuat, blokir cuma seperti menambal kapal bocor pakai permen karet.

Baca juga: Nyaris Sebulan Solar Langka di Aceh Timur, Sopir Terpaksa Antrean Panjang hingga Penumpang Terlewat

Pinjol: Jeratan Keterdesakan dan Kebrutalan

“Pinjaman cepat cair, tanpa jaminan, tanpa ribet.”

Slogan ini terdengar seperti malaikat penolong di tanggal tua, tapi di baliknya berdiri iblis-iblis bersenjata spreadsheet dan nomor WhatsApp.

Pinjol ilegal memanfaatkan dua hal: keterdesakan dan ketidaktahuan. Orang butuh uang cepat, tak sempat memeriksa legalitas, lalu menekan tombol “setuju” tanpa baca syarat. Setelah itu, data pribadi disedot, kontak disalin, dan hidup berubah jadi neraka.

Cerita korban sudah terlalu sering kita dengar: ada yang diteror dengan foto diedit jadi tak senonoh, ada yang kontak keluarganya disebar, bahkan ada yang diancam di depan rumah. Semua hanya karena telat bayar Rp300 ribu.

Lebih tragis lagi, banyak yang pinjam uang bukan untuk konsumtif, tapi buat _modal judi online_. Lingkaran setan itu pun lengkap: judi melahirkan utang, utang menambah tekanan, tekanan mendorong kembali ke judi.

Kelas menengah digital, yang dulu dibanggakan sebagai motor ekonomi baru, kini jadi pasar empuk bagi predator finansial. Mereka tak cuma mencuri uang, tapi juga rasa aman dan martabat.

Penipuan Digital: Modus Canggih, Literasi Rendah

Dulu penipuan digital cuma soal “Mama minta pulsa.” Sekarang? Lebih kreatif dan lebih kejam.

Ada yang berkedok file undangan pernikahan (ternyata APK pencuri data), ada yang mengaku CS bank, bahkan ada yang bikin situs investasi palsu lengkap dengan testimoni artis hasil AI.

Yang bikin miris, korban bukan cuma orang tua gaptek. Banyak anak muda, bahkan mahasiswa dan pekerja, ikut tertipu. Mereka paham teknologi, tapi minim literasi keamanan digital.

Salah satu kawan saya pernah bilang, “aku ngerti cara bikin konten TikTok, tapi nggak ngerti cara bedain link phishing.” Nah, di situlah tragedinya.
Kita hidup di generasi yang bisa bikin video viral lima menit, tapi nggak tahu bahwa link “hadiah iPhone gratis” bisa mengosongkan rekening dalam tiga detik.

Mengapa orang mudah tertipu? Karena manusia, dari dulu sampai sekarang, masih punya satu kelemahan abadi: ingin cepat kaya tanpa usaha.
Dan dunia digital tahu betul cara menjual mimpi itu dengan visual keren, bahasa meyakinkan, dan testimoni palsu yang tampak nyata.

Penutup: Literasi Sebagai Tameng, Bukan Slogan

Mari akui: krisis ini bukan cuma soal kriminalitas digital, tapi soal kegagalan kolektif.

Kita terlalu sibuk bikin slogan “literasi digital,” tapi lupa menjelaskan apa artinya. Kita sibuk blokir situs, tapi tak pernah menyentuh akar: ketimpangan ekonomi dan rendahnya kontrol diri.

Pemerintah harus bergerak lebih cepat. Tak cukup dengan razia dan pemblokiran. Harus ada regulasi ketat dan hukuman tegas bagi pemilik platform yang meloloskan iklan judi dan pinjol ilegal.

Platform digital juga tak bisa terus bersembunyi di balik alasan “kami hanya penyedia tempat.” Kalau bisa mendeteksi kata kasar, masa mendeteksi iklan judi aja nggak bisa?

Dan kita, masyarakat, harus membangun _tameng literasi finansial dan siber_. Karena di dunia yang semakin canggih ini, kebodohan bukan cuma kelemahan tapi peluang bisnis bagi para predator digital.

Internet memang memberi kebebasan, tapi di tangan yang salah, ia berubah jadi mesin penghisap.
Kita bisa jadi kreator, wirausahawan, atau peneliti berkat internet. Tapi juga bisa jadi korban hanya karena satu klik yang salah.

Jadi kalau kamu hari ini masih percaya “slot gampang menang,” “pinjol cuma bantu sementara,” atau “investasi profit harian itu nyata,”
ingatlah: tiga kuda poni kematian finansial sedang menunggumu di ujung layar.

Berikut saya lampirkan teks opininya:

“Dulu orang jatuh miskin karena kalah perang atau gagal panen. Sekarang, orang jatuh miskin karena klik link undangan palsu. Dunia makin modern, tapi cara kita hancur tetap klasik: tergoda janji manis.”

 

Penulis: Rafiqa Maulidya - Prodi ilmu perpustakaan, fakultas adap dan humaniora, uin Ar-Raniry banda Aceh

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved