Pojok Humam Hamid
Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII
nama Samudera Pasai di pesisir utara Aceh muncul secara eksplisit dalam karya monumental Rihlah Ibnu Batutah
Dalam konteks geografi maritim abad pertengahan, Samudra Pasai bukan sekadar pelabuhan dagang, tetapi juga pusat dakwah dan peradaban.
Jalur pelayaran dari Gujarat, Benggala, Aceh, hingga ke Quanzhou dan Hangzhou telah membentuk jaringan ekonomi dan spiritual yang dinamis.
Dalam jaringan ini, Samudra menjadi semacam stasiun ruhani: tempat penguatan kembali identitas keislaman sebelum memasuki dunia Timur yang asing dan penuh tantangan.
Gibb mencatat bahwa dari Samudra, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai selatan Tiongkok, di mana ia menyaksikan komunitas Muslim kecil namun terisolasi.
Maka dari itu, Samudra menjadi simbol kontinuitas, keberlanjutan, dan kekokohan Islam sebelum dunia Muslim mulai tercerai oleh jarak dan perbedaan budaya.
Menariknya, deskripsi Ibnu Batutah tentang Samudra Pasai juga memberi kita petunjuk penting tentang perkembangan mazhab Syafi‘i di Asia Tenggara.
Penyebutan mazhab Syafi‘i di Samudra menunjukkan bahwa sejak abad ke-14, doktrin ini telah mengakar dalam institusi politik dan keagamaan di kawasan ini.
Gibb memandang bahwa stabilitas mazhab ini menjadi salah satu faktor penting mengapa Islam dapat bertahan dan berkembang di Asia Tenggara secara damai dan koheren.
Ia juga menunjukkan bahwa kehadiran ulama, madrasah, dan masjid di Samudra mencerminkan pengaruh intelektual dan jaringan transregional yang aktif, mungkin melalui kontak dengan Gujarat, Hadramaut, atau Mesir.
Kebanggaan Sejarah
Samudera Pasai, dalam catatan Gibb, adalah bukti konkret bahwa Islam di Asia Tenggara bukanlah hasil pengaruh Arab secara tunggal, melainkan hasil dari hubungan timbal balik antara pedagang, ulama, dan penguasa di sepanjang pesisir Samudera Hindia.
Ia menyebutnya sebagai bentuk “transmisi organik” yang berlangsung melalui interaksi sosial dan spiritual, bukan kolonisasi militer atau ekspansi kekaisaran.
Dalam hal ini, Samudra Pasai menandai munculnya Islam sebagai kekuatan lokal yang mengambil bentuk kultural sendiri, namun tetap dalam koridor keislaman universal.
Bagi Aceh dan Indonesia hari ini, kehadiran nama Samudra dalam Rihlah Ibnu Batutah bukan hanya kenangan, tetapi sumber makna identitas dan kebanggaan sejarah.
Ia membuktikan bahwa sejak abad ke-14, Aceh telah menjadi bagian dari dunia Islam yang besar, aktif, dan terhormat.
Ia menunjukkan bahwa wilayah yang kini kita sebut pinggiran ternyata telah lama menjadi pusat dalam peta maritim, spiritual, dan politik global.
ibnu batutah menceritakan bahwa islam masuk ke ind
ibnu batutah adalah
ibnu batutah samudera pasai
ibnu batutah berkunjung ke aceh
rihlah ibnu batutah
judul buku ibnu batutah
buku ibnu batutah tentang aceh
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Serambinews
Meaningful
| Prabowo dan Transisi Yang Belum Selesai: Inversi Model Mahathir-Najib Atau Sebaliknya? |
|
|---|
| Khan, Aboutaleb, dan Mamdani: Fenomena Migran Muslim Menjadi Pejabat Publik di Eropa dan AS |
|
|---|
| MSAKA21 - Kerajaan Samudera Pasai: Hikayat Raja Raja Pasai dan Catatan Tome Pires – Bagian XVI |
|
|---|
| Gaza dan Yahudi Amerika: Dua Generasi, Dua Hati yang Berbeda |
|
|---|
| Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis – Bagian Kedua |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.