Pojok Humam Hamid

Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII

nama Samudera Pasai di pesisir utara Aceh muncul secara eksplisit dalam karya monumental Rihlah Ibnu Batutah

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, 

Dalam pelayaran inilah ia singgah di negeri yang ia sebut sebagai Samudra. 

Ia mencatat bahwa Samudra adalah negeri Muslim yang diperintah oleh seorang sultan yang adil dan saleh. 

Masyarakatnya menganut mazhab Syafi‘i, dan terdapat banyak ulama serta masjid. 

Dalam narasinya, Ibnu Batutah bahkan menyebut bahwa sang sultan adalah seorang yang gemar menghadiri majelis ilmu, mendengar fatwa para fakih, dan sangat dermawan terhadap para ulama.

Catatan ini sangat penting, karena menjadi sumber primer non-lokal tertua yang menyebut eksistensi kerajaan Islam di Nusantara secara eksplisit. 

Ketika nisan Sultan Malik al-Saleh, pendiri Samudra Pasai, bertarikh 1297, maka kunjungan Ibnu Batutah yang terjadi sekitar tahun 1345–1346 menegaskan bahwa kerajaan ini telah tumbuh mapan setidaknya dalam setengah abad. 

Maka dari itu, bagi H.A.R. Gibb, penyebutan Samudra dalam Rihlah bukan kebetulan belaka. 

Ia mencerminkan posisi penting Samudera Pasai sebagai titik temu antara dunia Islam India dan dunia Timur Tiongkok, sekaligus sebagai stasiun ruhani bagi para musafir Muslim yang melanjutkan perjalanan ke wilayah non-Muslim.

Sebagai sejarawan dan orientalis Inggris yang lama berkecimpung dalam studi peradaban Islam, Gibb menaruh perhatian pada bagaimana Ibnu Batutah menyusun narasinya dalam Rihla. 

Bagi Gibb, Samudra menempati posisi unik. 

Baca juga: Kuliah Umum FISIP Unimal Gali Jejak Samudera Pasai Untuk Inspirasi Tata Kelola Indonesia Modern

Pusat Dakwah dan Peradaban

Samudera Pasai tidak digambarkan secara rinci seperti Delhi, Mesir, atau Damaskus, tetapi justru disebut singkat namun dengan nada penuh penghargaan dan keakraban. 

Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Batutah merasa cukup akrab dan nyaman dengan suasana religius dan sosial Samudra, sehingga tidak perlu memaparkan lebih lanjut. 

Di tempat-tempat lain yang asing atau berbeda praktik keagamaannya, Ibnu Batutah cenderung memberi uraian panjang dan penilaian kritis. 

Namun di Samudra, ia melihat refleksi dunia Islam yang ia kenal dan ia hargai. 

Gibb menyebut ini sebagai “tanda kedalaman integrasi Samudra dalam semesta Islam.”

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved