Opini

Membaca Fenomena Bullying di Lembaga Pendidikan

LEDAKAN bom rakitan di SMAN 72 Jakarta beberapa waktu lalu mengejutkan banyak pihak. Peristiwa itu bukan sekadar kasus kriminal

Editor: mufti
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Syarifah Rahmatillah MH, Dosen Kriminologi-Viktimologi pada Fakultas Syariah dan Hukum dan Sekretaris Prodi S3 Fiqh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry 

Syarifah Rahmatillah MH, Dosen Kriminologi-Viktimologi pada Fakultas Syariah dan Hukum dan Sekretaris Prodi S3 Fiqh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry

LEDAKAN bom rakitan di SMAN 72 Jakarta beberapa waktu lalu mengejutkan banyak pihak. Peristiwa itu bukan sekadar kasus kriminal, melainkan refleksi dari luka sosial yang ada dalam di dunia pendidikan kita. Pada kasus di atas pelakunya adalah seorang siswa pendiam yang belakangan diketahui pernah menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman-temannya.Kasus serupa terjadi di Aceh Besar, ketika seorang santri diduga membakar asrama tempat ia tinggal karena diduga tak tahan menjadi sasaran perundungan dari temannya. Dua kejadian yang berbeda tempat ini menunjukkan realitas yang sama: dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja, masih menyisakan ruang gelap, di mana sebagian anak tumbuh dalam tekanan sosial tanpa perlindungan memadai.

Dalam kajian viktimologi, korban pada kedua peristiwa di atas tidak hanya dipahami sebagai pihak yang menderita, tetapi juga sebagai refleksi dari sistem sosial yang belum mampu memberikan perlindungan. Salah satu tokoh penting dalam viktimologi, Hans Von Hentig, memperkenalkan istilah The Blocked Victim, yaitu korban adalah individu yang tidak memiliki jalan keluar aman dari penderitaan yang dialaminya.

Anak atau remaja korban bullying berada dalam posisi yang tepat untuk menggambarkan teori ini. Mereka tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan, sementara diam berarti menerima perlakuan yang menyakitkan setiap hari. Dalam situasi terjepit seperti itu, korban kehilangan kendali atas dirinya. Pada titik tertentu, tekanan batin itu bisa meledak menjadi tindakan ekstrem, bukan karena niat jahat, tetapi karena rasa putus asa yang tidak tertolong.

Viktimologi mengingatkan kita bahwa korban bullying sering kali merespons kekerasan yang mereka alami dengan tindakan yang jauh lebih ekstrem daripada perlakuan yang mereka terima. Mereka berusaha “membalik posisi” agar tidak lagi menjadi yang lemah. Dalam banyak kasus, tindakan tersebut bukan semata ekspresi marah, melainkan seruan minta tolong yang barangkali belum didengar.

Luka tak terlihat

Bullying sering dianggap hal biasa di dunia pendidikan. Ia hadir dalam bentuk ejekan, isolasi sosial, hingga kekerasan fisik. Di pesantren, perundungan bisa muncul lewat hirarki senioritas antarsantri yang bersifat kaku. Di sekolah umum, ia dibungkus dalam bentuk candaan atau kompetisi sosial. Namun di balik permukaannya, bullying meninggalkan luka batin yang dalam. Banyak siswa memilih diam karena takut dianggap lemah, takut dihukum, atau tidak percaya bahwa pengaduan mereka akan ditindaklanjuti. Mereka belajar menyembunyikan rasa sakit dan membungkam perasaannya.

Kondisi inilah yang menjadikan sekolah umum, sekolah berasrama dan pesantren berisiko menjadi “ruang sunyi” bagi korban. Ketika lembaga pendidikan gagal membaca tanda-tanda penderitaan, maka korban kehilangan rasa aman. Di situlah akar persoalan muncul: ketika tempat belajar tidak lagi melindungi, anak akan mencari bentuk perlindungan sendiri dan kadang caranya salah.

Kasus-kasus ekstrem yang telah terjadi saat ini menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi krisis empati dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan perlu membangun pemahaman pentingnya aspek psikologis dalam proses belajar. Guru dan pengasuh selain berfokus pada disiplin dan prestasi akademik, juga harus responsif terhadap kesejahteraan emosional peserta didik dengan lebih baik lagi. Anak-anak tidak hanya butuh diajar, tetapi juga butuh didengar dan dipahami.

Sudah saatnya lembaga pendidikan melatih para pendidik dan pengelola asrama untuk mengenali tanda-tanda tekanan psikologis pada siswa atau santri. Anak yang mendadak pendiam, mudah marah, atau menarik diri bukan sekadar “malas” atau “pembangkang”—mereka mungkin sedang berjuang dengan trauma akibat kekerasan sosial di lingkungan belajar.

Kampanye “Sekolah Ramah Anak” atau “Pesantren Ramah Santri” akan sia-sia tanpa sistem perlindungan yang konkret. Lembaga pendidikan harus memiliki mekanisme pelaporan rahasia dan aman agar korban berani bersuara. Setiap laporan harus ditangani secara profesional oleh tim yang melibatkan guru BK, konselor, dan pimpinan lembaga. Lebih jauh, sekolah dan pesantren perlu menjadikan pencegahan bullying sebagai bagian dari kurikulum pembinaan karakter.

Melalui kegiatan diskusi, kajian nilai-nilai moral dan agama, hingga simulasi empati sosial, siswa dapat belajar memahami dampak nyata dari perundungan. Di era digital, tantangan makin berat dengan munculnya cyberbullying. Ejekan dan penghinaan kini melintasi ruang dan waktu. Korban tidak hanya dikejar di sekolah, tetapi juga di media sosial. Karenanya, literasi digital dan pendidikan karakter harus berjalan beriringan.

Pendekatan rehabilitatif

Selama ini, menanggapi kasus bullying seringkali dilakukan dengan pola penghukuman. Pelaku dikeluarkan, korban dipindahkan, dan kasus dianggap selesai. Padahal, pola seperti ini justru menanam trauma baru bagi kedua pihak. Viktimologi mengajarkan bahwa penanganan kekerasan harus berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar hukuman. Pendekatan restorative justice—atau keadilan restoratif—menjadi alternatif penting. Dalam pendekatan ini, korban diberikan ruang untuk menyuarakan perasaannya, sementara pelaku diarahkan untuk memahami akibat perbuatannya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Khususnya di Aceh, baik pada sekolah umum maupun pesantren sesungguhnya memiliki landasan kuat untuk mengembangkan model pembinaan berdasarkan nilai nilai keislaman dan keacehan untuk menjadi dasar pembinaan yang berkarakter. Termasuk dalam hal ini menanamkan nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan begitu, dunia pendidikan tidak hanya memulihkan luka korban, tetapi juga membina pelaku agar tidak mengulang kesalahan yang sama.

Pencegahan bullying tidak bisa dibebankan hanya kepada sekolah saja. Orang tua juga memegang peran penting sebagai pendamping emosional anak. Komunikasi terbuka harus dibangun agar anak berani berbicara ketika mengalami tekanan sosial. Masyarakat juga perlu berperan aktif. Lingkungan yang menoleransi kekerasan atau candaan yang merendahkan hanya akan memperkuat budaya perundungan. Sebaliknya, lingkungan yang peduli dan menghargai perbedaan dapat menjadi benteng pertama bagi anak-anak untuk tumbuh sehat secara emosional.

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan perlindungan anak di dunia pendidikan. Regulasi seperti Permendikbud Ristek No.46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan perlu ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Pemerintah Aceh melalui para pemegang kebijakan harus memastikan setiap lembaga pendidikan memiliki kebijakan internal tentang perlindungan anak, lengkap dengan mekanisme pelaporan dan pendampingan psikologis. Pengawasan rutin dan pelatihan anti-bullying bagi guru harus menjadi agenda tetap yang dibiayai negara.Perlindungan anak bukan urusan reaktif yang baru dijalankan setelah ada kasus. Ia harus menjadi sistem yang hidup di setiap lembaga pendidikan, di setiap ruang kelas, di setiap asrama.

Viktimologi mengajarkan kita untuk melihat peristiwa kekerasan bukan sekadar dari sisi pelaku, tetapi juga dari penderitaan korban dan konteks sosial yang melingkupinya. Tragedi di Jakarta dan Aceh bukanlah momentum untuk saling menyalahkan. Peristiwa ini merupakan panggilan moral bagi kita semua--orang tua, guru, pengasuh, pemerintah, dan masyarakat--untuk memperbaiki sistem pendidikan agar kembali menjadi ruang belajar yang menyembuhkan. Wallahualam bishawab.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved