Kupi Beungoh
Empat Mesin Produktivitas Aceh: Lahan, Tenaga Kerja, Modal, hingga Jiwa Wirausaha
Di tengah upaya Aceh menata arah pembangunan menuju 2045, keempat faktor ini seolah menjadi cermin.
Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar “mencetak lulusan,” tetapi melahirkan pekerja pembelajar yang mampu bergerak lintas sektor: dari pertanian ke agroindustri, dari pariwisata ke digital economy.
Bayangkan bila pelatihan vokasi di Aceh disinergikan dengan klaster industri lokal pelatihan budidaya lobster di Simeulue, pengolahan nilam di Gayo Luwes, Pidie dan Aceh Selatan, hingga teknisi smelter untuk mendorong peluang Pembangunan dan pengembangannya di Lhokseumawe, Lhong – Aceh Besar hingga ke Babahrot – Aceh Barat Daya. Setiap tenaga kerja yang terserap di situ tidak hanya menerima upah, tetapi menjadi bagian dari rantai nilai produktifitas Aceh.
Baca juga: Harga Emas Meledak! Sentuh Level Tertinggi Setelah Trump Akhiri Penutupan Pemerintah AS
3. Modal: Menghidupkan Uang yang Tertidur
Faktor ketiga modal atau capital sering kali disalahpahami. Banyak daerah menganggap modal hanya berarti uang tunai. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur ekonomi, modal juga mencakup capital goods: mesin, teknologi, infrastruktur, dan bahkan sistem manajemen yang efisien.
Masalah Aceh bukan pada kurangnya uang, tetapi kurangnya sirkulasi uang produktif. Dana otonomi khusus, dana abadi pendidikan, deposito Baitul Mal, atau dana idle di bank daerah bila semuanya hanya mengendap, ia seperti darah yang beku dalam tubuh ekonomi. Uang baru bermakna jika berputar, menciptakan transaksi, pekerjaan, dan nilai tambah.
Dalam teori monetaris Milton Friedman, kecepatan peredaran uang adalah “detak jantung ekonomi.” Ketika uang cepat berputar dari konsumen ke pedagang, dari pedagang ke petani dan nelayan, dari petani dan nelayan ke produsen maka aktivitas ekonomi menggeliat. Sebaliknya, bila uang hanya disimpan, maka ekonomi menjadi lesu dan stagnan.
Di sinilah pentingnya creative financing: skema Cash Waqf Linked Sukuk, Participating Interest Desa, atau diaspora crowdfunding bisa menghidupkan modal produktif tanpa bergantung pada APBA. Modal bukan instrumen finansial, tetapi alat peradaban ekonomi.
4. Jiwa Wirausaha: Motor yang Menggerakkan Semuanya
Faktor keempat entrepreneurship adalah roh dari ketiga faktor sebelumnya. Tanah, tenaga, dan modal hanya akan diam tanpa sentuhan wirausaha. Para ekonom menyebut wirausaha sebagai “the innovator” karena mereka mengubah sumber daya menjadi nilai ekonomi, risiko menjadi peluang, dan ide menjadi lapangan kerja.
Kekayaan terbesar Aceh bukan pada sumber dayanya, melainkan pada manusia yang berani mencoba hal baru. Seorang pemuda yang memulai bisnis kopi daring, seorang ibu rumah tangga yang membangun eco-homestay, atau diaspora Aceh yang menanam modal di bidang perikanan semuanya adalah manifestasi entrepreneurship spirit.
Namun, jiwa wirausaha tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari ekosistem yang memberi keberanian untuk gagal dan bangkit kembali. Pemerintah daerah, kampus, dan lembaga keuangan perlu memupuk kultur “inisiatif dan inovasi,” bukan sekadar menjalankan program bantuan. Sebab, rintisan lokal yang berhasil, terdapat kombinasi sempurna antara kreativitas dan ketekunan.
Baca juga: Harga Emas di Langsa Naik 2 Kali dalam Sehari, Kini Tembus Rp 7,55 Juta Per Mayam
Menyinergikan Empat Faktor: Jalan Menuju Aceh Produktif
Empat faktor produktivitas ini tanah, tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan bukan entitas yang berdiri sendiri. Mereka adalah empat sisi dari satu roda ekonomi. Bila satu sisi macet, roda tidak berputar. Maka, kemajuan Aceh harus dimulai dari menyambungkan keempatnya dalam satu ekosistem produktif yang menciptakan multiplier effect.
Pengembangan klaster lobster Simeulue bukan sekadar proyek perikanan. Ia bisa menjadi model integratif antara faktor produksi: laut sebagai lahan produktif, nelayan dan teknisi muda sebagai tenaga kerja, koperasi dan investor diaspora sebagai modal, dan pengusaha lokal sebagai motor penggerak. Bila skema seperti ini direplikasi di sektor lain kopi Gayo, nilam Pidie, durian Tangse, atau pariwisata Pulau Banyak sebagai pembangunan ekosistem produktif Aceh.
Ekonom klasik pernah berpesan, “nothing comes from nothing.” Hikmahnya adalah bahwa “tidak ada pertumbuhan tanpa produktivitas, dan tidak ada produktivitas tanpa keberanian untuk berubah”. Aceh sudah punya tanah, tenaga kerja, dan modal; yang dibutuhkan kini adalah jiwa entrepreneurship kolektif yang menjadikan semua itu hidup, bergerak, dan berbuah.
Penulis adalah Kakanwil Dirjen Perbendaharaan – Kementerian Keuangan Provinsi Aceh dan Staf Khusus Gubernur Aceh Bidang Percepatan Pembangunan dan Perekonomian Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Safuadi-ST-MSc-PhD-Kakanwil-Dirjen-Perbendaharaan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.