Pojok Humam Hamid

Gaza di Persimpangan: Antara Puing, Politik, dan Harapan

Penilaian kerusakan gabungan PBB, Bank Dunia, dan Uni Eropa memperkirakan total kerusakan mencapai US$53,2 miliar

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 
Ringkasan Berita:Gaza yang dulu adalah tanah penuh kehidupan kini berganti dengan abu dan puing.
Infrastruktur vital lumpuh: udara, listrik, sanitasi, fasilitas medis. Kerugian ekonomi diperkirakan sebesar US$53,2 miliar.
Anak-anak tetap bersekolah di bangunan roboh. Warga berbagi air bersih dan saling membantu membersihkan puing. Ketabahan manusia Palestina menjadi sisi yang jarang terlihat di dunia.
Tiga kerangka rekonstruksi Gaza yang diusulkan oleh AS, Palestina, dan Mesir, masih dalam ketidakpastian.

 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Bayangkan sebuah tanah yang dulunya penuh kehidupan--kampung kecil yang ramai, jalan sempit yang dipenuhi tawa anak-anak, pohon zaitun yang rimbun, sekolah dan pasar yang menggema dengan aktivitas sehari-hari. 

Kini semua itu hanyalah kenangan yang tersisa di antara abu dan puing. 

Gaza hari ini bukan sekadar wilayah yang rusak; ia adalah luka terbuka yang tak dapat ditutup hanya dengan kata “rekonstruksi”. 

Dua tahun setelah gelombang kehancuran besar akibat serangan Israel, dunia mulai berbicara tentang membangun kembali Gaza.

Namun proses ini masih terombang-ambing di antara puing fisik dan puing politik.

Hampir 78 persen bangunan di seluruh Gaza telah rusak atau hancur, dan di ibu kotanya, Gaza City, angkanya lebih mengerikan: 83 persen struktur runtuh atau tak lagi dapat diperbaiki. 

Lebih dari 360 ribu bangunan mengalami kerusakan berat, termasuk 305 sekolah dan universitas yang hancur total. 

Rumah sakit, klinik, dan pusat layanan kesehatan nyaris tidak dapat beroperasi. 

Setiap bangunan yang roboh bukan sekadar hilangnya batu dan semen, tetapi hilangnya ribuan kenangan keluarga, tawa anak-anak, doa di masjid, dan kisah hidup yang terputus seketika.

Puing yang Menyesakkan

Volume reruntuhan pun menakutkan. 

Lebih dari 61 hingga 70 juta ton puing kini menutupi Gaza--bobot setara reruntuhan  ratusan Menara Eiffel di Paris. 

Setiap meter persegi tanah menahan beban sekitar 169 kilogram puing, beban fisik yang sama beratnya dengan beban emosional warganya. 

Infrastruktur vital telah porak-poranda: air bersih terhenti, listrik padam berhari-hari, sanitasi rusak, dan fasilitas medis nyaris tak berfungsi. 

Penilaian kerusakan gabungan PBB, Bank Dunia, dan Uni Eropa memperkirakan total kerusakan mencapai US$53,2 miliar, dengan kebutuhan sekitar US$20 miliar hanya untuk tiga tahun pertama.

Namun, angka-angka itu hanyalah permukaan dari krisis yang lebih dalam--karena rekonstruksi Gaza tak hanya harus membangun kembali bangunan, tetapi juga harus melalui negosiasi dan kompromi politik yang rumit. 

Upaya internasional mulai terbentuk setelah gencatan senjata yang dimediasi AS, Qatar, dan Mesir pada Oktober 2025. 

Namun gencatan senjata ini rapuh, dan implementasi rencana perdamaian 20 poin menghadapi hambatan dari berbagai arah.

Baca juga: Untuk Pertama Kalinya, Bendera Palestina Berkibar di Balai Kota Toronto, Kelompok Yahudi Keberatan

Tiga Kerangka Bersaing

Saat ini terdapat tiga kerangka rekonstruksi yang saling bersaing. 

Rencana pertama, didorong AS, mengusulkan pembentukan komite teknokrat independen yang tak terafiliasi dengan Hamas maupun PLO. 

Komite ini akan mengelola layanan publik dan rekonstruksi selama masa transisi sampai Otoritas Palestina menjalani reformasi dan mengambil alih. 

Hamas menerima prinsip ini, tetapi tidak sepenuhnya setuju pada ketentuan demilitarisasi. 

Israel, di sisi lain, menolak gagasan pengembalian penuh Gaza kepada Otoritas Palestina.

Kerangka kedua muncul dari pemerintah Palestina yang mengajukan rencana lima tahun senilai US$67 miliar untuk memulihkan pemerintahan Palestina di Gaza sebagai bagian dari visi negara Palestina merdeka. 

Namun Israel menolak rencana ini, menciptakan kebuntuan politik yang menghambat akses pendanaan dan pengakuan internasional.

Kerangka ketiga adalah rencana Mesir senilai US$53 miliar, yang mendapatkan dukungan Liga Arab. 

Rencana ini mengusulkan masa interim enam bulan dengan komite teknokrat di bawah pengawasan Otoritas Palestina, sebagai jalan tengah di antara model AS dan pemulihan penuh Otoritas Palestina. 

Namun ketiga kerangka itu justru menandai ketidakpastian besar.

Ketidakpastian, Krisis Pendanaan, dan Persimpangan Harapan

Siapa yang akan mengatur Gaza selama rekonstruksi? 

Bagaimana memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada warga?

Di tengah ketegangan ini, warga Gaza kembali ke kampung halaman mereka hanya untuk mendapati kediaman yang nyaris ambruk. 

Sekitar 220 bangunan tempat tinggal terancam runtuh karena tidak ada alat berat yang diizinkan masuk akibat pembatasan Israel. 

Setiap langkah di jalan-jalan yang dulunya ramai kini diliputi rasa takut; bangunan bisa roboh kapan saja, dan bantuan material tersendat di perbatasan. 

Israel menuntut kontrol penuh atas material rekonstruksi dengan alasan keamanan, sementara AS menghendaki jaminan dana tidak jatuh ke tangan Hamas. 

Negara-negara Teluk masih berhati-hati: Qatar menjadi donor paling aktif, UAE menunggu stabilitas politik, sementara Arab Saudi membantu sektor tertentu namun belum memberikan komitmen besar.

Pendanaan menjadi krisis utama. 

Kebutuhan US$53–70 miliar jauh melampaui janji donor yang tersedia. 

Negara-negara Teluk enggan memberikan komitmen tanpa jaminan bahwa Gaza tak akan hancur lagi dalam siklus konflik berikutnya. 

Pertemuan Sharm El-Sheikh pada Februari 2025 gagal membentuk konsensus karena absennya Israel dan Hamas--dua pihak yang paling menentukan kondisi di lapangan.

Mesir mengambil peran sebagai pusat logistik dan koordinator utama, dengan infrastruktur pelabuhan dan jalur transportasi yang siap digunakan. 

Namun perannya dibatasi oleh keputusan politik dan pembatasan material dari Israel. 

Sementara itu, perusahaan internasional--dari Mesir, Turki, Qatar, hingga UAE--siap mengambil proyek rekonstruksi besar, tetapi menunda keterlibatan tanpa jaminan keamanan, akses, atau kepastian hukum.

Namun di balik semua komplikasi politik itu, kehidupan terus berjalan di Gaza. 

Anak-anak kembali ke sekolah-sekolah yang setengah roboh, warga berbagi air bersih dari sumber yang terbatas, komunitas saling membantu membersihkan puing. 

Ini adalah sisi Gaza yang jarang terlihat dunia, ketabahan manusia Palestina yang melampaui bangunan yang runtuh.

Gaza hari ini adalah sebuah persimpangan: antara kehancuran besar yang seolah tak berujung dan harapan kecil yang tetap menyala. 

Rekonstruksi bukan hanya tentang membangun kembali gedung dan rumah.

Rekonstruksi adalah tentang memulihkan martabat manusia, mengembalikan tawa anak-anak, dan menyalakan kembali cahaya harapan. 

Tetapi semua itu hanya mungkin jika dunia berani bertindak bersama--dengan komitmen yang nyata, bukan sekadar janji--agar Gaza dapat berdiri kembali, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara kemanusiaan.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi dari artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved