Breaking News

Kupi Beungoh

Sumpah Hipokrates, Gladiator, dan Kepergian Sunyi Dr. Imai

Itu adalah pesan rekan baik saya, seorang dokter yang setiap pulang sore dari rumah sakit melayani pasien, menyebut dirinya keluar dari colloseum.

Editor: Zaenal
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Bayangkan seorang tenaga medis, seperti dr Mai ketika berangkat berpamitan dengan isteri dan anak-anaknya untuk menyelamatkan nyawa pasien dan berhadapan dengan musuh yang sangat dekat, tidak terlihat, sangat licik, dan sangat mematikan.

Istri dan Anak tak Hadiri Pemakaman dr Imai Indra, Karena Positif Covid-19 dan Dirawat di RSUZA

Meski Sedang Covid-19, Ratusan Orang Menyalatkan Jenazah dr Imai Indra

Berbeda dengan gladiator yang mempunyai misi hanya menyelamatkan dirinya, dr. Mai mempunyai misi utama menyelamatkan orang lain, dan sekaligus juga menyelamatkan dirinya.

Ada tiga emosi yang bergelimang seketika, manakala kaki dr. Mai melangkah ke dalam “colloseum” rumah sakit.

Ada satu yang mesti dikalahkan, ada dua yang mesti dimenangkan.

Sang virus harus kalah, pasien harus selamat, dan dia sendiri harus selamat.

Andai pun dia hidup, emosi itu akan berlanjut dari hari kehari-minggu ke minggu bulan, dan mungkin tahun, dengan kemirisan, kekecewaan, frustrasi, bahkan tak jarang jerit putus asa akibat keterbatasan yang dimiliki.

Sekali dua ada kebahagian dan senyuman optimis ketika ada tantangan besar yang dapat dilewati.

Tetapi seringkali perasaan itu tak lama karena pandemi mempunyai berbagai wajah dan karena kebaruannya, seringkali ada sesuatu yang tak terduga terjadi.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan, dr. Mai dan kawan-kawanya adalah manusia biasa dengan segala kelemahan dan kekurangannya.

Seorang  teman dr. Mai menceritakan kondisi keparahan serangan penyakit yang belum pernah dia lihat seumur hidup.

Segala macam spesialisasi telah berkumpul untuk mengobati dr. Mai, sejawat mereka yang telah menjadi pasien Covid-19.

Dan beberapa hari kemudian mereka berduka, mereka telah kehilangan dr. Mai yang mereka sebut contoh pekerja kesehatan yang “totalitas” berjuang untuk menyelamatkan pasiennya.

Ada cerita lain, dokter  yang mendapatkan dirinya ditulari Covid-19 , dan ia menjadi yakin dia sendiri yang membawa virus itu ke rumah dan membuat pasangan dan anaknya sakit.

Sekalipun  mereka akhirnya sembuh, tetapi dia merasakan bagimana rumah sakit telah tak mampu melindungi dirinya dan keluarganya.

Kekecewaan itu kemudian menjadi panjang karena ia merasa bukan hanya rumah sakit yang telah gagal melindunginya, tetapi ada sebuah bangunan besar,  birokrasi dan sistem  pemerintahan yang telah gagal melindungi pekerja  kesehatan dan keluarga mereka.

Lihatlah sejumlah kejadian tragis di Aceh beberapa waktu lalu, di mana sejumlah rumah sakit di Bener Meriah, Tamiang, dan Abdya, serta Yulidin Away di Aceh Selatan mengalami keadaan yang sungguh memprihatinkan.

RSUZA juga telah pernah mengalami sejumlah penularan terhadap para dokter, perawat, dan mahasiswa pendidikan spesialis sekalipun.

Semua kejadian itu sesungguhnya adalah “last call”  untuk keselamatan para “pahlawan” kita.

Tetapi pernahkan kita mendengar ada sebuah “call balasan” dari para pemimpin, bupati, Gubernur, DPRA, bahwa kita sedang memasuki sebuah fase yang sangat berbahaya.

Pernahkah ada sebuah pembicaraan khusus yang melibatkan semua pemangku kepentingan, “duek pakat” untuk memproklamasikan secara bersama bahwa Aceh sudah mulai masuk ke dalam sebuah “pertarungan” panjang yang menentukan.

Cobalah cari dijejak “digital” media apakah peringatan seluruh kejadian di sejumlah rumah sakit dijadikan sebuah “rujukan besar kebijakan” yang bernas.

Apakah ada ucapan, perintah, dan demonstrasi komitmen yang menunjukkan empati dan simpati kepada pengawal, petempur, dan para “kamikaze” yang menjaga benteng terakhir pertahanan rakyat Aceh dari gempuran pandemi terbesar abad ke XXI ini?

Ada  cukup banyak cerita  dokter dan tenaga medis lain yang bertekad menjadikan Covid-19 sebagai  pemicu utama “dedikasi” mereka untuk lebih bergiat dalam profesinya melayani pasien.

Tetapi semangat itu kemudian menjadi lain.

Ketika mereka sadar, ada APD mereka yang tidak lengkap, tidak berkualitas, dan bahkan ada beberapa di antara mereka yang terpaksa membeli sendiri APD.

Akibatnya semua semangat, dedikasi, dan niat keikhlasan itu menjadi kelabu. 

Seringkali  karena keterbatasan alat dan fasilitas mereka tidak bisa berbuat, padahal mereka tahu dan bisa.

Mereka menjadi terkurung dalam sebuah penantian panjang tanpa kejelasan.

Kapan dan bagaimana akan berakhir, dan itu sangat perih dan melelahkan.

Mereka menjadi sangat terpukul ketika melihat ada pasien yang kembali “menghadapNya” sendirian, tanpa ditunggui oleh yang mencintainya.

Ketika ia masih hidup, dr Mai melihat perjuangan untuk kelangsungan hidup pasiennya yang kadang berhasil, tidak jarang pula yang gagal.

Ia melihat “kematian sunyi” untuk waktu yang belum pasti kapan berakhir.

Bukan tidak mungkin ia pernah menghadapi dilemma moral ketika alat yang dipunyai  rumah sakit hanya terbatas, sedangkan pasien yang membutuhkan lebih banyak, dan keputusan harus dibuat untuk siapa?

Dan itu adalah beban mental dr. Mai dan kawan-kawanya. 

Itu adalah racun jiwa yang akan menjadi residu dan membunuh “perlahan” para dokter, dan perawat yang selamat seumur  hidup mereka.

Bayangkan kadang ada pasien yang menyadari akan  menghadap Sang Khalik dan menitip pesan kepada para dokter dan perawat untuk menyampaikan pesan kepada yang disayangi tentang cinta, ikhlas, takdir, dan sabar atas cobaan Allah.

Pekerja kesehatan, sekuat apapun mereka, menjalani kehidupan kesehariannya  dengan semangat, gairah, namun seringkali berakhir dengan kecewa, frustrasi, kelelahan fisik, dan psikis.

Sebuah penelitian yang dimuat dalam  jurnal JAMA (2020) menyebutkan survei terhadap 1.257 pekerja kesehatan Cina pada Februari 2020 menemukan beban mental yang mereka hadapi yang terbesar adalah depresi 54 persen, kecemasan 44,6 persen, dan insomnia 34 persen.

Ribuan dokter, perawat dan pekerja kesehatan telah menjadi korban dari keganasan pandemi Covid-19 di seluruh di dunia.

Di Indonesia lebih 100 dokter dan cukup banyak perawat yang mengalami nasib serupa.

Di Aceh, dr. Mai adalah korban pertama dan mudah-mudahan Allah SWT akan menjadikannya yang terakhir.

Jauh sebelum ia pergi, ia telah melakukan sumpah Socrates dan perintah Allah untuk pekerjaan suci yang akan menjadikan dirinya syahid.

Sebelum ia berjuang untuk hidupnya yang terakhir, ia telah berjuang keras secara totalitas untuk kehidupan pasiennya.

Akhirnya sang takdir berkata lain, dr. Mai  harus berjuang keras untuk dirinya, dibantu oleh para sejawat yang sangat mencintainya.

Ia wafat, ia telah banyak menyaksikan “kematian sunyi”, dan kini ia sendiri menjalani “kepergian sunyi”. 

Isteri dan anaknya hanya beberapa puluh meter dari kamar terakhirnya.

Mereka juga sedang berjuang, berjuang untuk menjaga dan melanjutkan “zarrah” dr. Mai, sembari berdoa dan berharap agar mereka tidak menjalani “kematian sunyi”.

Puncak nestapa bagi yang hidup adalah ketika tanah akan menerima badan dr. Mai, ada beberapa pasang mata tercinta yang tak dapat melihat yang dicintai karena telah dikunci oleh pandemi.

Bagaimana rakyat Aceh akan mengenang dr.Mei sebagai syuhada, petempur kemanusiaan pertama yang “gugur” dalam perang besar melawan pandemi global Covid-19.

Disamping doa publik yang besar mengiringi kepergiannya menghadap sang Khalik, kita tidak punya pilihan lain.

Namanya harus ditabalkan pada ruang/klinik Pinere, menjadi ruang “dr. Imai Indra SpaAn.”

Rektor Tabalkan Nama dr Imai Indra untuk Gedung Lab Penyakit Infeksi Unsyiah

Nama itu menjadi tonggak penting untuk menghargai, menghormati, sekaligus menjadi pengingat kita semua tentang keikhlasan, pengorbanan, kecintaan, dan penghormatan terhadap anugerah kehidupan yang diberikan Allah SWT.

Nama itu juga menjadi catatan penting peradaban tentang fenomena baru “kematian sunyi” yang belum pernah ada dalam sejarah manusia dan kemanusiaan.

Dan nama itu juga sangat penting untuk mengingatkan kekuasaan selama lamanya untuk tidak pernah menjadikan pekerja kesehatan kita sebagai gladiator.(*)

*) PENULIS Ahmad Humam Hamid adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved