Kupi Beungoh
Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (II)
Dalam konteks sejarah apapun, warisan dan identitas adalah dua kata keramat yang sangat sulit untuk dilepaskan.
Membandingkan Perancis dengan Aceh, apalagi dengan kehebatan Napoleon disamping tidak sepadan, juga samasekali bukan pada tempatnya.
Itu tidak berarti bahwa bahwa Aceh tidak punya identitas, hatta sesederhana apapun.
Kontoversi pembangunan kompleks IPAL di Gampong Pande adalah panggilan mendadak kolektif kita tentang betapa miskinnya artefak yang dimiliki oleh Aceh yang konon dalam banyak bacaan disebut sebagai salah satu kerajaan islam terbesar di Nusantara pada masanya.
Dengan melihat kepada derap pembangunan yang sedang terjadi dan kesadaran sejarah elite yang relatif berada pada titik nol, kasus gampong Pande adalah last call-panggilan terakhir bahwa Aceh tak memiliki bukti fisik sejarah apapun tentang kejayaan masa lampaunya.
Apapun yang ditulis mulai dari Tomi Pierez, Laksamana Baleou, Ibnu Batutah, Marco Polo, Lombard, Husein Jayadiningrat, berpuluh disertasi di kampus terkemuka di dunia, dan bahkan ribuan artikel ilmiah, sama sekali berasal dari hanya catatan.
Tidak ada bukti situs yang konkret, baik karena hilang karena bencana alam, terabaikan, tergilas oleh kepentingan ekonomi rakyat, maupun gemuruhnya deru pembangunan.
Dan kini, ada sebuah situs yang sudah pasti menyimpan sejumlah jawaban tentang masa lalu Aceh, dengan alasan pembangunan, akan dihilangkan secara sadar dan terencana atas nama pembangunan kota.
Alasan lainnya tentu saja sangat rasional, kesejahteraan rakyat, dan itu benar adanya.
Padahal disamping gampong Pande masih cukup banyak situs sejarah lain yang juga sangat penting untuk diselamatkan, dan sudah cukup banyak pula yang telah hilang tak diketahui, atau belum teridentifikasi.
Ada penyakit besar yang menimpa sebagian besar masyarakat kita, terutama para pengambil keputusan.
Penyakit itu adalah penyakit alzheimer sejarah, tepatnya dimentia sejarah.
Ini adalah sebuah penyakit yang tampaknya sehat di permukaan, tetapi jauh di dalam sana sedang terjadi sebuah proses mengobrak-abrik identitas, penghilangan jati diri.
Mereka tidak sadar, akibat perbuatan mereka akan melahirkan sejarah baru, yakni sejarah penghilangan narasi sejarah Aceh itu sendiri.
Mereka juga tidak sadar akan peran mereka saat ini yang akan melahirkan sebuah artefak baru yakni artefak pengkhianatan sejarah dimana mereka akan menjadi tokoh sentralnya yang akan ditulis oleh generasi yang akan datang.
Hal ini penting untuk dingatkan, karena ada pertanyaan setiap generasi kepada dirinya dan generasi sebelumnya, who we are ? , siapa kita ini yang sesungguhnya, dan apa sukma kita?
Jawaban itu tidak cukup dengan hikayat, cerita rakyat, bahkan tulisan ilmiah siapapun. Artefak budaya adalah salah satu jawabannya.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA >>>>> DI SINI
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.