Kupi Beungoh
Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Keislaman, Keacehan, dan Keindonesiaan (VI)
Bagi kebanyakan orang Aceh, walaupun yang tidak sembahyang, tidak puasa, penjudi, dan bahkan peminum arak sekalipun, Islam adalah Aceh.
Ahmad Humam Hamid*)
RIWAYAT hidup Pirous adalah sebuah contoh unik tentang bagaimana seorang anak manusia lahir, remaja, muda, dan dewasa yang tumbuh dan berkembang dengan nilai-nilai keislaman, keacehan, dan keindonesiaan.
Ia lahir, mengalami masa kanak-kanak remaja di Meulaboh, mengalami masa muda awal di Medan, muda lanjut, dan dewasa di Bandung Jawa Barat, dan kemudian sekolah ke Amerika Serikat.
Ketika Pirous di Meulaboh, hampir semua nilai-utama kehidupan yang dialaminya adalah nilai-nilai keAcehan dan keIslaman yang sangat sukar untuk dipisahkan.
Bagi kebanyakan orang Aceh, walaupun yang tidak sembahyang, tidak puasa, penjudi, dan bahkan peminum arak sekalipun, Islam adalah Aceh, dan Aceh adalah Islam.
Hal itu tidak terlalu berat untuk Pirous, karena ia beruntung lahir dan tumbuh dalam keluarga dan komunitas yang sangat islami di Meulaboh pada masa itu.
Pirous kecil juga beruntung karena ia berada dalam sebuah komunitas yang mempunyai keragaman etnis, bangsa, dan konektivitas budaya dan wawasan yang terbuka dari masyarakatnya.
Ia merasakan disamping adanya toleransi terhadap keragaman, kebencian diam-diam dan kadang terbuka kepada Belanda tetap saja ada di tempat kelahirannya.
Kalaulah ada yang paling membekas dalam dirinya adalah bagimana ia merasakan dan melihat, betapa Aceh yang pernah membesarkannya mempunyai ketangguhan dan kelenturan budaya sekaligus yang kemudian membuat Aceh unik.
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Kasab Meulaboh, Ibunda, dan Ikon Etnis (III)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Silaban, Gerrit Bruins, Ibrahim Hasan & Estetika Baiturrahman (IV)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Ali Hasymi, Cinta Meulaboh, dan Universitas Teuku Umar (V)

Bangga dengan Meulaboh
Tidak dapat dibantah, Pirous lahir dari sebuah keluarga yang kental dengan penghayatan keagamaan, baik dari ayahnya maupun dari ibunya.
Dari ayahnya, kecuali seni, ia mendapatkan nilai- nilai keislaman “direct”, namun mempunyai pesan reformasi dan modernitas.
Dari ibunya Pirous mendapatkan nilai dan praktik Islam tradisional Aceh pada masa itu, dimana tasawuf menjadi salah satu ciri utamanya.
Seperti pengakuannya pada George (2010) tentang kota kelahirannya, Meulaboh, sebagai kota yang sangat damai, sangat bersih, dan sangat islami.
Di sekolahnya disamping pelajaran umum, Pirous juga mendapatkan pelajaran membaca Alquran dan menulis huruf Arab.
Pirous sangat bangga dengan apa saja yang dinikmatinya di Meulaboh pada masa itu.
Ketika menceritakan masa kecil dan masa remajanya, ia bahkan mengklaim Aceh sebagai kawasan agamis yang kosmopolit.
Baginya, sekalipun ada istilah agama Islam yang sudah menjadi tradisi, hal itu sama sekali bukanlah menjadi penghalang untuk menjadi Aceh yang moderen.
Ia menyebutkan banyak hal kepada George (2010) dengan satu dua kata kunci tentang kondisi Aceh pada masa itu seperti, “orang Aceh tidak sendirian di dunia yang luas karena punya pegangan kultural yang kaya.”
Yang hendak ia sampaikan sesungguhnya bahwa spektrum budaya Aceh ketika ia kecil dan remaja tidak sempit dan miskin.
Baca juga: VIDEO Batu Giok Meulaboh Lebih Banyak Dibeli Orang Luar Aceh daripada Konsumen Lokal

Pirous dengan runtut menceritakan tentang kekayaan kultural yang ia saksikan seperti saudagar Eropah dan Gujarat yang datang silih berganti, dan Cina pemilik toko.
Ada pula perkebunan ayahnya yang melibatkan buruh kebun dari Jawa.
Ia ingat tentang ustaz atau guru agama yang kebetulan orang Arab.
Ia kemudian sangat terkesan tentang percampuran bahasa Aceh dengan bahasa Melayu, Arab, Belanda, dan Gujarat.
Pirous sangat hapal dengan kekayaan budaya kain bordir, paduan warna yang bersingungan atau bertabrakan dengan benang emas, berikut dengan pola geometris maupuh organis.
Ia juga ingat bagaimana orang Aceh memakai kain pulikat , dan memakan aneka kari dari kampungnya kakek nenek Pirous di Gujarat, India.
Pirous juga sangat ingat tentang madrasah, masjid, dan bioskop, syair hikayat Perang Sabil ketika ia kecil dan remaja.
Ada sepatu, ada sandal, ada pula celana panjang.
Kadang, sekali dua ada musik jazz tahun 1930-an dari pemusik sekelas Count Basie, Duke Ellington, dan Benny Goodman di satu dua rumah orang kaya kota.
Ia ingat pada umur tujuh tahun setelah mengaji di sekolah, ia juga mengunjungi bioskop untuk nonton film-film Flash Gordon dan Gene Autry yang kemudian menggugahnya seumur hidup untuk menonton film-film asing.
Pirous juga menikmati bacaan terjemahan di perpustakaan sekolahnya dengan buku-buku “hebat’ dunia seperti The Count of Monte Christo, karangan Alexander Dumas, serial Winnetau, karangan Karl May yang juga menjadi bacaan masa kecil orang-orang seperti Albert Einstein, Hitler, dan dua pemenang nobel Hermaan Hesse dan Bertha von Suttner.
Baca juga: VIDEO Berhias Kaligrafi dan Aneka Seni Aceh Ini Dia Guntomara
Baca juga: VIDEO Dihiasi dengan Kaligrafi, Batu Nisan Putroe Balee Pidie Disebut Dijadikan Batu Asah

Tentara Pelajar yang Islam Sejak Lahir
Pirous menjadi tersentuh dengan imajinasi tentang Indonesia dan keindonesiaan ketika ia ikut bergabung dengan Tentara Pelajar Indonesia pada umur 18 tahun di Meulaboh dan bertugas menggunakan seninya dalam membuat selebaran, pamflet yang mengkampanyekan seruan kebangsaan.
Semangat romantisme Pirous sangat tersentuh dengan kelompok muda Islam modernis yang berurusan dengan seruan Daud Beureueh untuk rakyat Aceh agar bergabung dengan Republik Indonesia.
Keindonesiaam Pirous terus tumbuh dan berkembang ketika ia tinggal di Medan dengan abangnya Arifin yang juga seorang seniman pembuat komik yang juga berpengaruh terhadap pilihan hidup senirupa Pirous.
Ia bersekolah di SMA Priyatna, sebuah sekolah hebat dengan keragaman suku dan agama, di mana Ibrahim Hasan, mantan Gubernur Aceh juga pernah menjadi siswa di situ.
Keindonesiaan Pirous kian tumbuh dan berkembang di Bandung, Jawa Barat ketika ia bersekolah di ITB.
Pirous tidak pernah mengklaim dirinya sebagai orang Islam yang taat, tetapi selain melihat kelakuan ibadah mahzah dan keteguhan prinsip-prinsip hidup islami, seorangpun tidak tahu hubungan seorang makhluk dengan Allah SWT.
Dalam hidupnya pun ia berprinsip sangat sederhana.
Ia memegang hadis rasul yang juga dipaterikan pada salah satu kanvasnya, Khairunnaas anfa’uhum linnaas -sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya- Ia bahkan berujar pada orang-orang yang bertanya tentang hidup dan kehidupan padanya, seseorang sebenarnya tak punya hak hidup kalau ia tidak pernah melakukan tindakan yang berguna bagi orang lain.
Dalam setiap pembicaraan dengan banyak orang, Pirous sering menggunakan kalimat “saya ini Islam sejak lahir”, dan itu adalah bukti konkrit bagi Pirous sebagai penegasan identitas, bahwa Islam dan Aceh baginya telah melebur menjadi satu.
Ia juga “bukan’ orang Inndonesia sejak lahir, karena negerinya dijajah oleh Belanda, padahal sebelumnya rakyat Aceh mampu mengurus dirinya selama berabad-abad, bahkan beratus tahun sebelum Indonesia lahir.
Keislaman dan keacehan Pirous yang telah duluan tumbuh, kemudiaan disusul oleh Keindonesiaan yang dia peroleh dari bacaan, dan cerita.
Ia melihat Belanda yang dikalahkan oleh Jepang, yang pada beberapa tahun kemudian dikuti oleh proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno.
Itu semua membuat identitas Pirous bertambah dari hanya agama, dan suku, kepada identitas Indonesia, yang kesemuanya akan terlihat banyak dalam karya-karyanya.
Keteguhan Pirous tentang Indonesia dan keindonesiaan sangat nyata terlihat dalam banyak catatan pengamat tentang posisi biro design yang didirikannya bersama Adriaan Palar, G.Sidharta.
Mereka dengan terbuka menyatakan ingin mengembangkan keindonesiaan dalam kerja seni mereka dengan menggali berbagai tradisi dan nilai-nilai seni masa lalu bangsa Indonesia.
Mereka dengan berani mengambil arus yang berbalik dengan kelompok mazhab Bandung yang mendominasi pengajaran seni rupa ITB pada masa itu yang sangat dipengarahi aliran modernisme- formalisme barat.
Seperti seorang salah seorang anggota kelompon Decenta, Sunarto, bagi Decenta barat itu tidak akrab, mereka maunya timur.
Bahkan dalam mengarap nilai-nilai Keindonesiaan, kelompok Decenta menggunakan istilah Perancis yang terkenal Dialogue Avec La Pass.
Berdialog dengan masa lalu sebagai landasan estetik berkarya Decenta.
Bukti dari pencarian keindonesiaan Decenta kemudian tercermin dalam karya Pirous yang mengbungkan dialog Pirous dengan masa lalu Aceh dan keislaman.
Abdul Hadi WM, (2010) seniman dan profesor di Institut Keseniaan Jakarta bersaksi bahwa Pirous adalah pelopor genre lukisan kaligrafi yang sangat relegius sekaligus sufistik.
Genre itulah yang kemudian menumbuhkan gerakan Seni Rupa Islam Kontemporer dengan pendatang generasi baru seperti Hendra Buana, Abay D.Subarna, Said Akram, Yetmon Amier, dan Agoes Noegroho.
Akram sendiri adalah putra Pidie, yang mempunyai citra tersendiri dalam khazanah kaligrafi nasional, dan perlu tulisan yang lebih panjang lagi untuk menulis tentangnya.
Baca juga: Mengenal Said Akram, Maestro Kaligrafi Kontemporer Asal Aceh yang Karyanya Mendunia
Kalaulah ada tentang apa yang disebut dengan seni Indonesia, maka kaligrafi Islam adalah contoh nyata tentang bagaimana berbagai tulisian kaligrafi klasik yang ada pada makam raja-raja, ulama, bangsawan, dan orang kaya di Aceh pada masa lalu, dan mungkin juga di tempat lain ditampilkan kembali seniman seperti Pirous.
Ia menggunakan berbagi artefak budaya, mulai dari berbagai benda seni, lembaran Alq’uran klasik, tekstil, dan berbagai ukiran pada bangunan di Aceh.
Hadi (2010) bahkan menyatakan dengan tegas tidak hanya tentang karya-karya Pirous yang berakar dalam pencarian dan perkembangan pribadinya.
Tetapi juga mampu memantik kembali ingatan kolektif pubik, terutama pemerhati sejarah tentang sebuah tempat di Aceh, di mana seni rupa Islam pertama Nusantara berkembang dengan gemilang.
Tempat itu adalah Samudera Pasai.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.