Breaking News

Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Strategi Kebudayaan Ibrahim Hasan (IX - Habis)

Lingkaran seni budaya yang terbentuk secara informal ketika Walad berkuasa kali ini tampak bekerja sangat solid.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. 

Ibrahim Hasan bersama Pirous telah behasil menanamkan identitas Aceh secara lebih dalam pada masjid kebanggan rakyat Aceh itu.

Kolase foto lukisan kaligrafi karya Abdul Djalil Pirous, seniman Indonesia asal Meulaboh Aceh Barat. Lukisan-lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, studio galery, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia.
Kolase foto lukisan kaligrafi karya Abdul Djalil Pirous, seniman Indonesia asal Meulaboh Aceh Barat. Lukisan-lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, studio galery, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Inspirasi dari Begawan Pantai Barat Selatan

Menjuluki Pirous sebagai salah seorang begawan budaya nasional mungkin saja kurang tepat bagi sebagian orang.

Di sebalik itu harus diakui pula, walaupun Pirous hanyalah sebuah “zarrah” kecil dari lautan belantara budaya nasional.

Ia berada paling depan, kalau tidak disebut sebagai imam kaligrafi kontemporer nasional. 

Tidak ada orang lain yang lebih menonjol dari Pirous dalam hal itu.

Suka tidak suka, Pirous pula yang membuat kelas menengah Islam terdidik Indonesia bangga dengan identitas seni Islam yang dipeloporinya.

Suka tidak suka, adalah Pirous dan angkatannya, dan angkatan berikutnya yang akan terus mengisi seni rupa kaligrafi sebagai bagian penting dari elemen budaya nasional Indonesia yang demografi mayoritasnya adalah penduduk bergama Islam terbesar di dunia.

Pantaskah orang Aceh bangga dengan Pirous?

Tentu saja harus bangga, karena ketika orang membaca tentang kaligrafi kontemporer Indonesia akan ada “dua” Aceh di situ.

Ada orang Aceh-Pirous, sebagai kaligrafer pemula kontemporær nasional , dan ada pula kaligrafi kuno Aceh yang dijadikan sebagi “titik mula” kaligrafi Pirous yang kemudian menjadi inspirasi berbagai perupa kaligrafi kotntemporer lainnya.

Cerita Pirous juga mengambarkan seorang anak Meulaboh tidak hanya berhasil mencapai cita-citanya menjai seniman kampiun, tetapi juga mempunyai seniman yang beridentitas, mampu memadukan yang kuno dengan yang baru, mampu mendamaikan antara napas dan simbol islami dengan modernitas dalam sebuah pergumulan keras dan menantang menjawab zeigstat-semangat zaman.

Pirous boleh saja tinggal di Bandung dan lengkap “menjadi” Indonesia dengan mempersiterikan anak Erna Ganarsih, adik kelasnya, yang juga pelukis bernama, bersama tiga anaknya Mida Meutia, Iwan Meulia, dan Raihan Muerila.

Tetapi di banyak kesempatan ia tidak ingin memulai dan mengakhiri dirinya dengan hanya Indonesia saja.

Pirous sangat hapal dengan idee nasionalisme, universalisme, dan kebhinekaan yang sering disebut oleh para pendiri bangsa.

Pirous tidak mau terjebak dalam nasionalisme yang sempit.

Universalisme dan kosmopolit adalah prasyarat Pirous untuk menjadi Indonesia yang baik.

Sebaliknya baginya, indoensia ini tak akan ada dan berlanjut tanpa kebhinekaan yang tumbuh, berkembang, dan berlanjut.

Pada satu dua kesempatan, bahkan ia mengatakan ia lebih dahulu menjadi orang Aceh, baru kemudian menjadi orang Indonesia. Alinea ini memberikan kesaksian jelas bagaimana seorang Pirous tidak lepas dari akarnya untuk kemudian menjadi nasionalis sekaligus globalis.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved