Breaking News

Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Strategi Kebudayaan Ibrahim Hasan (IX - Habis)

Lingkaran seni budaya yang terbentuk secara informal ketika Walad berkuasa kali ini tampak bekerja sangat solid.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. 

Ketika Ibrahim Hasan menjadi Gubernur Aceh pada tahun 1986, dengan berbagai kepiawaiannya ia berhasil meyakinkan pemerintah pusat untuk menggelontorkan dana yang luar biasa untuk membangun Aceh.

Provinsi ini pada saat itu, walaupun penduduknya tidak sampai 5 juta jiwa, namun dalam deretan penerima dana APBN, selalu berada di peringkat papan atas bersama-sama dengan provinsi yang mempunyai puluhan juta penduduk di Pulau Jawa.

Kali ini Ibrahim sangat ingin mewujudkan apa yang pernah ia pikirkan dan belum terlaksana ketika Walad dan Majid berkuasa.

Pengamatan secara mendalam, menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibrahim adalah sebuah upaya “revival” sebagai kelanjutan dari “resurrection” yang telah dilakukan oleh Hasyimi dan Walad puluhan tahun sebelumnya.

Kedua kata itu dalam terjemahan bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama, namun mempunyai substansi yang berbeda.

Resurrection adalah membangkitkan kembali apa yang telah mati, atau nyaris mati, sedangkan revival mempunyai makna menumbuhkan, memperkuat, dan mengokohkan sesuatu yang telah ada, namun masih sangat lemah, dan bahkan berpotensi untuk lenyap.

Sekalipun semangat dan Warisan Walad tidak dapat dilepaskan dari Ibrahim, namun ambisi Ibrahim dengan segala sumber daya yang dimilikinya membuat dia layak untuk disebut mempunyai lingkaran seni-budaya tersendiri yang layak disebut lingkaran Ibrahim Hasan.

Disebut unik, karena ia mengurus persoalan budaya Aceh hampir secara totalitas.

Ibrahim mengurus revitalisasi gampong secara sangat terstruktur dan kokoh, menggelorakan adat dalam bentuk yang sangat nyata, baik dalam keislaman, keindahan, dan formalisasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Praktis berbagai acara adat, mulai dari tenunan, pakaian adat resmi dan pakaian adat pergaulan, dan berbagai perangkat fisik dan yang terkait dengannya mendapat perhatian sangat besar dari Ibrahim.

Ia juga mempunyai isteri -Siti Mariam, yang sangat peduli dengan adat Aceh, dan bahkan dalam menciptakan berbagai busana Aceh, ia tak segan berdiskusi dengan berbagai perancang busana nasional.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Flash Gordon, Gampong Pande, Tanoh Abee, dan Makam Raja Pase (IV)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Ali Hasymi, Cinta Meulaboh, dan Universitas Teuku Umar (V)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Keislaman, Keacehan, dan Keindonesiaan (VI)

Warisan Ibrahim Hasan

Kalaulah hari ini kita menyaksikan berbagai perhelatan, mulai dari acara sunat rasul, perkawinan, dan berbagai kenduri “hidup”  dalam masyarakat, yang sarat dengan nuansa adat, itu dimulai dari gelombang besar yang ditekuni dan dan digerakkan oleh Ibrahim Hasan pada tahun sembilan puluhan.

Uang yang melimpah pada masa pemerintahannya tidak hanya digunakan untuk memerdekakan pantai Barat- Selatan dari belenggu konektivitas jalan raya yang sudah berjalan selama ber abad abad, tetapi juga mengalir untuk memperkuat kasab Meulaboh, tari Pho, Rapai Geleng, penggalan sastrawi heroik T. Cut Ali dan T.Raja Angkasah.

Di wilayah Tengah Ibrahim tidak hanya memastikan konektivitas fisik dataran tinggi Gayo dengan pantai Timur Utara, tetapi juga menghubungkan seluruh entitas kawasan Tengah, yang membuat seluruh entitas Gayo tersambungkan mulai dari Takengon sampai Blang Keujreun, bahkan sampai keentitas suku Alas di Kuta Cane.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved