Breaking News

Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Strategi Kebudayaan Ibrahim Hasan (IX - Habis)

Lingkaran seni budaya yang terbentuk secara informal ketika Walad berkuasa kali ini tampak bekerja sangat solid.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

SEPENINGGALAN Muzakir Walad, Aceh yang kemudian dipimpin oleh Majid Ibrahim terus melanjutkan lingkaran seni budaya warisan Walad.

Meskipun umur pemerintahan Majid relatif pendek, ia berhasil mempersiapkan  perhelatan besar nasional islami, MTQ XII di Banda Aceh.

Lingkaran seni budaya yang terbentuk secara informal ketika Walad berkuasa kali ini tampak bekerja sangat solid.

Rancangan acara, rancangan sarana fisik dipersiapkan dengan seksama dan sangat hati-hati.

Intinya adalah bagaimana pagelaran itu ditampilkan yang merefeleksikan aura Islami, Aceh, Indonesia, dan universal.

Ketika sampai pada ide design, Pirous dan Ismail Sofyan dalam ingatan banyak kalangan dianggap sangat menonjol, namun ketika sampai kepada pemberian ikon nama, Ibrahim Hasan, Hasan Basri dan beberapa nama dalam lingkaran itu sangat berjasa.

“Desah Arafah”-nama yang diberikan kepada Blangpadang sebagai tempat penyelengaraan pembukaan dan penutupan acara, dan Anjong Mon Mata- gedung dan kompleks bangunan di belakang Meuligoe Gubernur Aceh.

Sayang sebelum acara pembukaan terjadi, puting beliung besar telah membuat bangunan auditorium “Desah Arafah” yang hampir siap dikerjakan roboh da ambruk berkeping.

Pirous mengakui, kawan-kawannya yang merancang Desah Arafah, terjebak dengan keindahan arsitektur yang sangat dalam, dan kurang memberi perhatian kepada struktur yang mampu bertahan terhadap gejala alam Aceh yang kadang sekali muncul angin besar seperti yang dialami ketika itu.

Terlepas dari berbagai kelemahan, warisan yang ditinggalkan MTQ XII sampai hari ini masih dapat terlihat di kompleks Anjong Mon Mata.

Secara keseluruhan Anjong Mon Mata berikut dengan kompleks bangunan yang mengitarinya merefleksikan bagaimana penampilan Aceh klasik tampil dalam arsitektur dan design modern.

Dengan pengamatan yang seksama kompleks bangunan itu mengisyaratkan ada keserasian klasik antara Aceh masa lalu yang terus bergulir dengan modernitas Aceh masa depan yang tak akan pernah berhenti.

Menariknya di kompleks itu pula ada sebuah batu kecil monumental yang memuat kaligrafi AD Pirous.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Flash Gordon, Gampong Pande, Tanoh Abee, dan Makam Raja Pase (IV)

Kepiawaian Melobi Pusat

Ketika Ibrahim Hasan menjadi Gubernur Aceh pada tahun 1986, dengan berbagai kepiawaiannya ia berhasil meyakinkan pemerintah pusat untuk menggelontorkan dana yang luar biasa untuk membangun Aceh.

Provinsi ini pada saat itu, walaupun penduduknya tidak sampai 5 juta jiwa, namun dalam deretan penerima dana APBN, selalu berada di peringkat papan atas bersama-sama dengan provinsi yang mempunyai puluhan juta penduduk di Pulau Jawa.

Kali ini Ibrahim sangat ingin mewujudkan apa yang pernah ia pikirkan dan belum terlaksana ketika Walad dan Majid berkuasa.

Pengamatan secara mendalam, menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibrahim adalah sebuah upaya “revival” sebagai kelanjutan dari “resurrection” yang telah dilakukan oleh Hasyimi dan Walad puluhan tahun sebelumnya.

Kedua kata itu dalam terjemahan bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama, namun mempunyai substansi yang berbeda.

Resurrection adalah membangkitkan kembali apa yang telah mati, atau nyaris mati, sedangkan revival mempunyai makna menumbuhkan, memperkuat, dan mengokohkan sesuatu yang telah ada, namun masih sangat lemah, dan bahkan berpotensi untuk lenyap.

Sekalipun semangat dan Warisan Walad tidak dapat dilepaskan dari Ibrahim, namun ambisi Ibrahim dengan segala sumber daya yang dimilikinya membuat dia layak untuk disebut mempunyai lingkaran seni-budaya tersendiri yang layak disebut lingkaran Ibrahim Hasan.

Disebut unik, karena ia mengurus persoalan budaya Aceh hampir secara totalitas.

Ibrahim mengurus revitalisasi gampong secara sangat terstruktur dan kokoh, menggelorakan adat dalam bentuk yang sangat nyata, baik dalam keislaman, keindahan, dan formalisasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Praktis berbagai acara adat, mulai dari tenunan, pakaian adat resmi dan pakaian adat pergaulan, dan berbagai perangkat fisik dan yang terkait dengannya mendapat perhatian sangat besar dari Ibrahim.

Ia juga mempunyai isteri -Siti Mariam, yang sangat peduli dengan adat Aceh, dan bahkan dalam menciptakan berbagai busana Aceh, ia tak segan berdiskusi dengan berbagai perancang busana nasional.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Flash Gordon, Gampong Pande, Tanoh Abee, dan Makam Raja Pase (IV)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Ali Hasymi, Cinta Meulaboh, dan Universitas Teuku Umar (V)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Keislaman, Keacehan, dan Keindonesiaan (VI)

Warisan Ibrahim Hasan

Kalaulah hari ini kita menyaksikan berbagai perhelatan, mulai dari acara sunat rasul, perkawinan, dan berbagai kenduri “hidup”  dalam masyarakat, yang sarat dengan nuansa adat, itu dimulai dari gelombang besar yang ditekuni dan dan digerakkan oleh Ibrahim Hasan pada tahun sembilan puluhan.

Uang yang melimpah pada masa pemerintahannya tidak hanya digunakan untuk memerdekakan pantai Barat- Selatan dari belenggu konektivitas jalan raya yang sudah berjalan selama ber abad abad, tetapi juga mengalir untuk memperkuat kasab Meulaboh, tari Pho, Rapai Geleng, penggalan sastrawi heroik T. Cut Ali dan T.Raja Angkasah.

Di wilayah Tengah Ibrahim tidak hanya memastikan konektivitas fisik dataran tinggi Gayo dengan pantai Timur Utara, tetapi juga menghubungkan seluruh entitas kawasan Tengah, yang membuat seluruh entitas Gayo tersambungkan mulai dari Takengon sampai Blang Keujreun, bahkan sampai keentitas suku Alas di Kuta Cane.

Di wilayah itu pula Ibrahim dan isterinya memberi perhatian khusus kepada tenunan kerawang Gayo, tari Guel, Didong, dan terutama Saman.

Dalam perjalanannya kita tidak tahu lagi lingkaran seni- budaya Ibrahim Hasan, karena telah merambah luas dan dalam, sampai kepada tokoh budayawan lokal yang sudah hampir tiada di seluruh Aceh.

Dalam setiap kunjungan ke daerah, ada saja situs tokoh kunci lokal yang ia tempa untuk memperkaya informasi dan budaya setempat.

Ia memberi perhatian pada identitas kota Banda Aceh melalui lampu-lampu jalan raya, tugu kota, bangunan kantor Gubernur, dan bahkan interior Meuligoe Gubernur.

Ada suasana renaisance-pencerahan yang terjadi di Aceh pada masa itu, karena memang pertumbuhan budaya material yang cepat, baik secara ekonomi maupun bebagai prasarna fisik terjadi relatif berkembang.

Orang Aceh menjadi bangga dan semakin percaya diri adat dan budaya yang dimilikinya.

Semakin tinggi status sosial orang Aceh, akan semakin kompleks penampilan adat dan budaya yang dilakoninya, dalam berbagai acara dan perhelatan.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Pemula dan Pendiri Kaligrafi Kontemporer Nasional (VII)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Lingkaran Budaya Muzakir Walad, dan “Resurrection” PKA (VIII)

H Bustanil Arifin, saat menjabat Menteri Koperasi/Ka Bulog, meresmikan prasasti monumen Radio Rimba Raya, di Desa Rimba (Rime) Raya Aceh Tengah (sekarang masuk Bener Meriah). Peresmian dilakukan pada Selasa, 27 Oktober 1987. Dalam gambar tampak Ibrahim Hasan dan Ny Ummi Salamah (kanan), istri Kolonel Hoesen Yoesoef.
H Bustanil Arifin, saat menjabat Menteri Koperasi/Ka Bulog, meresmikan prasasti monumen Radio Rimba Raya, di Desa Rimba (Rime) Raya Aceh Tengah (sekarang masuk Bener Meriah). Peresmian dilakukan pada Selasa, 27 Oktober 1987. Dalam gambar tampak Ibrahim Hasan dan Ny Ummi Salamah (kanan), istri Kolonel Hoesen Yoesoef. (Dok: Surat Kabar Pelita)

Hubungan Ibrahim Hasan dan AD Pirous

Tidak seorangpun tahu intensitas hubungan Ibrahim dengan AD Pirous, yang pasti ketika ada ide-ide besar Ibrahim tentang estitika Aceh, Pirous adalah tempat ia berdiskusi, meminta pendapat, dan memberikan “penugasan”.

Yang pasti Pirous tidak akan ikut campur dalam deskripsi dan kompleksitas acara dan upacara adat, kecuali mungkin ketika sampai kepada cita rasa perangkat fisik yang ingin ditonjolkan atau diperbaharui oleh Ibrahim Hasan.

Kalaulah ada sesuatu yang sangat monumental yang diketjakan Pirous, dan bahkan dapat dianggap sebagai “breakthrough”-terobosan estetika Mesjid Raya Baiturrahman yang telah dikunci oleh arsitek kolonial de Bruins dengan pendekatan arsitektur eklektik berbagai peradaban besar Islam dunia, minus Aceh pada masa itu, dapat diatasi oleh Pirous.

Penugasan yang diberikan kepada Pirous yang mencurahkan desain kreatifnya,dengan sangat hati-hati mampu dilaluinya dengan baik, dan unsur keAcehan mulai terlihat.

Kini kalau kita melihat Masjid Raya Baiturrahman, akan arsitektur ekletik Mughal India, Persia, Turki, Andalaus, de Bruins telah berhasil disusupi dengan paling kurang dua penggalan lokal etnik Aceh.

Kedua elemen pentung itu adalah sabuk tiang dengan hiasan ornamen klasik Aceh, dan pintu masuk tembaga Kerawang Aceh yang diadopsi Pirous dari mimbar mesjid tua Indra Purwa, di Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.

Lebih dari itu Pirous bahkan bahkan mampu mempersembahkan kubah Boh Meuriya berikut dengan boh rho diujung puncak kubah di menara tinggi daerah Modal di depan dan dalam kompleks Masjid Raya.

Ibrahim Hasan bersama Pirous telah behasil menanamkan identitas Aceh secara lebih dalam pada masjid kebanggan rakyat Aceh itu.

Kolase foto lukisan kaligrafi karya Abdul Djalil Pirous, seniman Indonesia asal Meulaboh Aceh Barat. Lukisan-lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, studio galery, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia.
Kolase foto lukisan kaligrafi karya Abdul Djalil Pirous, seniman Indonesia asal Meulaboh Aceh Barat. Lukisan-lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, studio galery, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Inspirasi dari Begawan Pantai Barat Selatan

Menjuluki Pirous sebagai salah seorang begawan budaya nasional mungkin saja kurang tepat bagi sebagian orang.

Di sebalik itu harus diakui pula, walaupun Pirous hanyalah sebuah “zarrah” kecil dari lautan belantara budaya nasional.

Ia berada paling depan, kalau tidak disebut sebagai imam kaligrafi kontemporer nasional. 

Tidak ada orang lain yang lebih menonjol dari Pirous dalam hal itu.

Suka tidak suka, Pirous pula yang membuat kelas menengah Islam terdidik Indonesia bangga dengan identitas seni Islam yang dipeloporinya.

Suka tidak suka, adalah Pirous dan angkatannya, dan angkatan berikutnya yang akan terus mengisi seni rupa kaligrafi sebagai bagian penting dari elemen budaya nasional Indonesia yang demografi mayoritasnya adalah penduduk bergama Islam terbesar di dunia.

Pantaskah orang Aceh bangga dengan Pirous?

Tentu saja harus bangga, karena ketika orang membaca tentang kaligrafi kontemporer Indonesia akan ada “dua” Aceh di situ.

Ada orang Aceh-Pirous, sebagai kaligrafer pemula kontemporær nasional , dan ada pula kaligrafi kuno Aceh yang dijadikan sebagi “titik mula” kaligrafi Pirous yang kemudian menjadi inspirasi berbagai perupa kaligrafi kotntemporer lainnya.

Cerita Pirous juga mengambarkan seorang anak Meulaboh tidak hanya berhasil mencapai cita-citanya menjai seniman kampiun, tetapi juga mempunyai seniman yang beridentitas, mampu memadukan yang kuno dengan yang baru, mampu mendamaikan antara napas dan simbol islami dengan modernitas dalam sebuah pergumulan keras dan menantang menjawab zeigstat-semangat zaman.

Pirous boleh saja tinggal di Bandung dan lengkap “menjadi” Indonesia dengan mempersiterikan anak Erna Ganarsih, adik kelasnya, yang juga pelukis bernama, bersama tiga anaknya Mida Meutia, Iwan Meulia, dan Raihan Muerila.

Tetapi di banyak kesempatan ia tidak ingin memulai dan mengakhiri dirinya dengan hanya Indonesia saja.

Pirous sangat hapal dengan idee nasionalisme, universalisme, dan kebhinekaan yang sering disebut oleh para pendiri bangsa.

Pirous tidak mau terjebak dalam nasionalisme yang sempit.

Universalisme dan kosmopolit adalah prasyarat Pirous untuk menjadi Indonesia yang baik.

Sebaliknya baginya, indoensia ini tak akan ada dan berlanjut tanpa kebhinekaan yang tumbuh, berkembang, dan berlanjut.

Pada satu dua kesempatan, bahkan ia mengatakan ia lebih dahulu menjadi orang Aceh, baru kemudian menjadi orang Indonesia. Alinea ini memberikan kesaksian jelas bagaimana seorang Pirous tidak lepas dari akarnya untuk kemudian menjadi nasionalis sekaligus globalis.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved