Kupi Beungoh
Catatan Perjalanan Ramadhan - Ramadhan di Negeri Osman, Attaturk, dan Edorgan
Ketika sedang makan, saya mulai melihat dua tiga macam “khamar”, mulai dihidangkan, dan seolah minum air putih, banyak menumpang yang tak melewatinya.
Dhuhur time atau Asar time until prayer atau waktu sembahyang lainnya terus menerus selama penerbangan.
Sementara itu di layar juga tampil ka’bah yang disertai dengan kordinat, mengambarkan berapa jauhnya ka’bah-dalam kilometer, beserta posisinya dari pesawat.
Kami telah terbang lebih dari 4 jam, dan pesawat yang tadinya terbang jauh sepanjang pesisir pantai Timur Amerika Utara telah meninggalkan Saint John dekat Provinsi Haifax, Kanada.
Pesawat berbelok kekanan tajam menuju ke tengah Samudra Atlantik Utara untuk menuju ke daratan Eropa.
Kami telah terbang sekitar 6 jam dan waktu berbuka tiba, sang pramugara tampil datang membawa hidangan berbuka dengan sopan.
Makanan berbuka sangat sederhana, ada juice, salad, susu, nasi dan daging ayam masakan turki, dan juga makanan penutup yang manis.
Rasanya lumayan enak.
Isteri saya terus menerus membaca Alquran dalam perjalanan, kecuali ketika tertidur.
Sementara saya cukup membaca tiga atau empat halaman, kemudian berhenti, setelah itu kembali membaca buku elektronik sampai tertidur.
Saya hanya tidur tiga jam, kemudian terbangun dan berjalan ke bagian belakang pesawat minta kopi pada pramugara, dan kembali ke tempat.
Layar screen peta tiga dimensi Panasonic mulai menunjukkan titik kecil Dakkar di sabelah kanan bawah dan di atasnya, kiri ada Portugal, dan kanan ada Marokko.
Pesawat sudah mendekati Pantai Eropa, gumam saya dalam hati.
Di layar bawah kanan nampak Dakkar, ibu kota Senegal di Afrika Barat, sementara Marokko jauh di atas, berdekatan dengan Portugal yang letaknya berdampingan dengan Spanyol.
Baca juga: Sejarah Aceh dan Turki - Ketika Ratusan Tentara Turki Usmani Menikahi Perempuan Aceh
Baca juga: Erdogan Marah Besar, Joe Biden Sebut Kekaisaran Ottoman Genosida Armenia
Selat Gibraltar, Sejarah Kegemilangan Islam di Andalusia
Kini saya beruntung, alhamdulillah, saya dapat melihat dari atas, sebuah selat yang sangat sarat dengan sejarah Islam klasik yang dulu saya dapat di buku sejarah MIN.
Selat itu adalah selat Gibraltar,-bahasa Arab Jabal A Tariq- selat dimana panglima Perang Umayah, Thariq bin Ziyad membakar semua kapal perangnya setelah mendarat di wilayah Eropa.
Pilihan pasukannya hanya dua, menang atau mati.
Ziad, yang dalam kepustakaan Spanyol digelar Tariq el Tuerto akhirnya menjadi pembuka jalan masa emas Islam yang menguasai Andalusia selama 781 tahun.
Sayang, karena banyak alasan, akhirnya semua kejayaan Andalusia hilang karena kalah ditaklukkan oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinand pada tahun 1492.
Alhamdulillah, layar D3 Panasonic Turkish Air itu telah membuat sukma saya terbang ke awal abad ke 8 menghayati penyeberangan arus selat Giblartar oleh Tariq bin Ziyad.
Layar D3 itu juga telah membuat saya dapat melihat dari udara semenanjung Iberia yang bernama Andalusia dengan bebagai catatan sejarah kegemilangan dan kemajuan Islam pada masa itu, justeru ketika seluruh Eropa berada dalam zaman kegelapan. Alhamdulillah.
Bau makanan pagi itu kembali menusuk hidung, dan itu akan menjadi makan sahur kami sebelum mendarat.
Ada buah, salad, roti, kentang panggang, dan telur orak arik yang sangat lembut.
Tak ketinggalan terong campur tomat ala Turki yang cukup enak.
Ketika makan sahur siap disantap, saya melihat di layar screen kami sedang terbang di atas kota Nantes, Perancis.
Tegukan kopi terakhir saya langsung tersambung dengan infomasi subuh prayer time di layar screen.
Jarak waktu berbuka kami dengan sahur sudah mencapai 4 jam 13 menit, lebih 7 menit dari jarak waktu Icelandia.
Oh, begitu rupanya muslim Icelandia berbuka dan bersahur setiap hari ramadhan tahun ini.
Kami shalat, kemudian mengaji sebentar.
Selagi isteri saya terus mengaji, saya tetap melanjutkan kebiasaan 4 atau lima halaman saja.
Kembali mata saya tertuju kepada peta Eropa yang ada di layar screen di depan.
Ada Inggiris dan Irlandia di sebelah kiri, ada Perancis di tengah, ada Spanyol dan Portugal di kanan bawah.
Sementara di depannya ada keping Italia, Swiss, Jerman, lalu Romania, Bulgaria, dan Yunani.
Pikiran saya menerawang kembali tentang masa lalu, terutama masa emas Ottoman, dan kini tidak sampai 40 menit lagi pesawat kami akan mendarat.
Saya teringat bacaan tentang Turki yang dibangun oleh Osman I yang merupakan anak dari Ertrugrul dan cucu dari Kepala suku Kayi Sulaymansyah di Anatolia Tengah.
Ketika nama Ottoman disebutkan dari merekalah cerita kolosal kebesaran sejarah Turki bermula.
Merekalah yang melawan Byzantium Roma dan Mongol dengan gelombang menang kalah, dan akhirnya menang, dan menjadi bagian terakhir dari konsep khalifah dalam peradaban Islam.
Ingatan Turki, sebagai salah satu negara Islam termaju di dunia saat ini terlebih dahulu saya dapat dari bacaan yang dibawa pulang oleh almarhum ayah saya, ketika saya masih berumur 9 tahun.
Dan kini, bahkan Turki adalah negara yang sangat diperhitungkan di kawasan Timur Tengah.
Saya juga teringat bahwa negara ini adalah satu satunya negara Islam anggota pakta petahanan Atlantik Utara bersama AS dan hampir seluruh negara maju dan demokratis di Eropa.
Baca juga: Film Kurulus Osman Tayang di NET TV, Drama Turki Penuh Konflik Berlatar Berdirinya Dinasti Utsmani
Baca juga: Moustapha Akad, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien: Tentang Wajah Asli Yang Sering Terabaikan (II)
Terbayang juga dengan kecerdasan dan keberanian Edorgan.
Ada waktu Turki menembak pesawat tempur Rusia yang masuk ke wilayah Turki, yang membuat Putin menggerutu, namun tak sangat marah.
Saya juga teringat tentang Edorgan yang walaupun Turki menjadi anggota NATO, namun juga tak mau menjadi “budak”AS.
Bahkan kini berada pada posisi strategis dan bahkan sudah beberapa kali Turki menjadi tuan rumah perundingan perdamaian antara dua negara Eropa yang berperang, Ukraina dan Rusia.
Terlepas dari Turki sebagai negara sekuler, asosiasi antara Islam dengan Turki sama sekali tak dapat dipisahkan.
Masa emas imperium Turki selama lima abad lebih tidak bisa dipisahkan dengan nama-nama Osman I, Murad I, Mehmed II, Beyazid II, Selim III, dan Sulaiman Agung.
Setelah kalah dalam Perang Dunia I dan terhina, akhirnya muncul Kemal Attaturk yang dengan resmi menghapus sistem Kekhalifahan yang membuat Attaturk sangat kontoversial di kalangan ummat Islam.
Ia membuat keputusan yang sangat radikal.
Memisahkan agama dengan negara, menjadikan Turki sebagai negara sekuler, seperti layaknya negara-negara Eropa.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa Turki harus menjadi barat, dan terjadilah westernisasi Turki besar-besaran.
Walaupun hari ini Turki di bawah pemerintahan partai AKP , partai yang berbasis agama, di bawah kepemimpinan Edorgan, Turki hari ini masih tetap saja Turki yang bukan negara Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Walaupun partai itu telah 13 tahun berkuasa, Edorgan yang dicap sebagai politisi Islam konservatif, masih tetap sangat menghormati dan menyebutkan nama Attaturk dalam setiap acara yang berhubungan dengan kejayaan Turki.
Baca juga: Resimen Kavaleri Ertugrul di Sogut Awali Proyek Kota Oba di Ibu Kota Pertama Kesultanan Utsmaniyah
Dialog Imajiner Erdogan, Sultan Ottoman, dan Ataturk
Pesawat hampir mendarat kurang dari 15 menit lagi.
Pilot telah memerintahkan awak kabin Turkish Air yang kami tumpangi untuk duduk ditempatnya.
Mata saya menerawang ke luar melihat keindahan Istanbul di waktu subuh.
Di benak saya ada sebuah lorong imaginer dimana Edorgan duduk berdiskusi dengan para Sultan besar Ottoman, dan di situ ada Ataturk.
Diskusinya lumayan dalam, dan akhirnya mungkin juga sampai kepada Turkish Air yang menjadi maskapai nomor satu dunia dalam hal jumlah negara yang dilayani-121 negara.
Dalam hal airport Erdogan juga melaporkan Airport Istanbul juga terbesar dan terhebat di dunia, hanya kalah sedikit dari airport nomor satu, Changi di Singapore.
Erdogan juga menyebut di forum imaginer itu tentang prestasi Airport Istanbul yang menjadi airport tersibuk dan terpadat di Eropa selama tahun-tahun terakhir.
Ia menyebut jumlah pelintas hampir mencapai 24 juta orang pertahun.
Mehmed II tunjuk tangan, ia bertanya kepada Edorgan. “Apa yang telah kamu buat dengan daratan kota Raja Konstantin Agung yang telah kurebut 6 abad yang lalu, yang kemudian bernama Istanbul’?
Awalnya Edorgan bercerita agak sedikit banyak dan luas, namun dasar cerdik ia segera mengambil dua catatan teknologi rekayasa.
Ia mulai menjelaskan tentang 3 jembatan suspensi besar yang menghubungkan Turki Eropa dan Asia.
Satu di antaranya kata Edorgan “diabadikan nama yang mulia” sembari melihat kepada Mehmed II.
Nama jembatan itu adalah Fatih Sultan Mehmet Köprüsü- Sultan Mehmed sang Penakluk yang dibangun pada tahun 1988 oleh Jenderal Kenan Evren.
Jembatan itu adalah terpanjang ke lima di dunia pada masa itu 1.510 meter, dan lebar 38 meter, tergantung lebih dari 150 meter dari permukaan laut Bosphorus untuk memungkinkan kapal dagang lewat menuju Laut Mideterania.
Ia bahkan menjelaskan ada dua jembatan lagi yang sekelas dengan itu yang namanya dikaitakan dengan Osman dan Selim yang panjangnya juga mendekati 1,5 kilometer.
Setelah menjelaskan itu, ego Edorgan keluar.
Ia tunjuk tangan lagi untuk menjelaskan kehebatannya.
Ia menerangkan prestasinya mengalahkan tudak hanya “barat”, tetapi semua yang hebat di muka bumi.
Ia telah membangun jembatan “1915 Canakkale Bridge” dengan panjang lebih dari 2 kilometer dengan biaya mendekati 3 miliar dolar AS.
Walaupun jembatan itu bukan di Istanbul, namun fungsinya adalah menyambungkan Eropa dengan Asia.
Jembatan yang baru diresmikan bulan Maret yang lalu adalah jembatan yang mengalahkan semua jembatan terhebat di Eropa dan bahkan terpanjang di dunia.
Mengalahkan jembatan Akashi Kaiikyo Bridge yang mengubungkan kota Kobe dan Pulau Awaji di Jepang.
Semua Sultan Ottoman tersenyum sumringah, karena impian mereka untuk tidak lebih rendah dari Eropa telah terpenuhi sebagian.
Ataturk yang duduk di sudut belum puas.
Ia menyelutuk, “itu kan kemajuan bendawi.”
Ia melanjukan, ”Otak siapa yang merancang jembatan itu, siapa yang membuatnya, dan dari mana pangkal uangnya”?
Edorgan menjelaskan kemampuan orang Turki yang bertindak sebagai kontraktor di bawah nama Limak Holding bekerjasama dengan perusahaan Korea DL Holding.
Ia menjelaskan ada kerja sama “otak” antara insinyur Turki, Korea, dan Jerman dalam rancang bangun jembatan itu.
Ataturk menyelutuk, kenapa Korea, kan mereka bukan barat?
Edorgan cepat menanggapi Attaturk.
Ya mereka bukan Eropa, mereka orang Asia Timur, tetapi otak, kerja, dan uang mereka kadang lebih hebat dari Eropa.
Bahkan, mereka telah berpikir dalam “kerangka barat”, namun mereka tetap tak lepas dari akar timur.
Sultan Sulaiman segera angkat tangan.
Diskusi imajiner itu berlangsung alot, sampai akhirnya Osman I berbicara.
Sebagai pendiri dinasti ia berbicara betapa sulitnya merobah bangsa Turki dari manusia “nomaden” -pengembara , ibarat kaum badui di Arab, yang keras menjadi manusia kota.
Dan itu tak mudah, ia, ayah, dan kakeknya berperang dengan dua bangsa yang paling kuat di muka bumi pada akhir abad ke 13.
Mereka adalah bangsa Mongol dan Romawi Byazantium.
Ia hanya berkata, semangat Islamlah dan tekad kaumnya yang memungkinkan Imperium Ottoman dapat tampil.
Ia kemudian bertanya ringan, sembari melihat sisa-sisa botol anggur merah dan berbagai jenis “khamar” yang sedang dikumpulkan oleh awak kabin Turkish Air.
“Kenapa ini Edorgan, dan kenapa kaum kamu, orang kita banyak yang minum ini, dan bahkan tidak puasa, padahal puasanya tidak berjalan di gurun atau di bawah matahari sambil berkuda seperti kami dahulu?”. Edorgan bingung, tergagap, dan ia melihat kepada Attaturk.
Diskusi imajiner itu berlanjut.
Para sultan besar itu yang dahulu gagah berperang dan memerintah kini bersuara lembut, saling mendengar.
Ataturk duduk sendiri penuh percaya diri.
Para Sultan sesekali melihatnya, sekali dua ada yang tersenyum, dan ada pula yang mendelik.
Ataturk tidak bicara lagi, karena ia berfikir ia telah memberikan apa yang dia anggap benar, yakni melanjutkan “tanzimat” yang digagas oleh Sultan Abdul Majid I dan Sultan Abdul Aziz ketika awab kemunduran sedang menyelimuti Turki pada masa itu.
Ataturk hanya melanjutkan “modernisasi” Turki, impian para penerus Ottoman yang ingin Turki tidak kalah dari Barat.
Sayangnya ia terlalu berani memisahkan agama dengan negara secara terang terangan dan bahkan secara ekstrim.
Ia memilih kelamin sekuler sebagai ideologi Turki.
Uniknya hampir semua negara mayoritas Islam di dunia tidak berani menyebut prinsip sekuler dalam bernegara, tetapi tidak juga menyebut negara agama, sehingga menjadi negara sekuler yang “malu-malu”.
Judulnya macam-macam, namun “islam seremonialnya” sangat menonjol, tetapi kehidupan negara dam masyarakatnya itu katanya tidak beda dengan Turki yang sekuler.
Saya ingin melihat kebenarannya.
Pesawat kini semakin rendah dan hampir menyentuh bumi.
Mulut isteri saya komat kamit, tangannya terbuka ke atas, matanya terpejam, ia berdoa kepada Khalik dengan sangat khidmat untuk perlindungan kepada kami seluruh penumpang pesawat.
Tiba-tiba roda pesawat Boing 787-9 Dreamliner itu berbunyi lembut menyentuh tanah, kemudian gemuruh membahana sepanjang runway airport Istanbul.
Terdengar kalimat, “welcome to Istanbul”, sebut pilot Turkish Air TK 158.
Pesawat bergerak mendekati garbarata.
Kami pun bersiap turun, menjelajahi negara warisan para Sultan Ottoman.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI