Breaking News

Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi

Ketika Cornelis pertama tiba di Aceh, ia dijemput ke pelabuhan oleh putera mahkota, Sultan Ali Riatsyah pada malam hari, dan dibawa ke Istana

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Al Mukammil tidak hanya tangguh dalam mendemostrasikan “hard power” dan “shock therapy”, tetapi ajuga sangat lihai dalam memainkan “soft power.”

Utusan negara-negara asing yang datang ke Aceh disambut dengan kelengkapan protokoler yang luar biasa.

Kehormatan itu bahkan pernah diberikan kepada Cornelis, sebelum percekcokan Cornelis dengan laskar Keumala Hayati.

Ketika Cornelis pertama tiba di Aceh, ia dijemput ke pelabuhan oleh putera mahkota, Sultan Ali Riatsyah pada malam hari, dan dibawa ke Istana.

Dalam upacara itu masing-masing mereka diangkut dengan gajah kenderaaan, yang dihiasi dengan berbagai perlengkapan seni yang mewah.

Kedatangan mereka disambut dengan musik instrumental yang sangat mengesankan para tamu (Mitrasing 2017),

Malam itu rupanya Al Mukammil mengadakan peringatan tahun baru Islam 1 Muharram.

Catatan Frederick de Houtman (1603, dalam Mintarsing (2017) menyebutkan, bersama dengan Cornelis, juga diundang sejumah utusan dari Timur Tengah.

Pesta malam itu dimeriahkan dengan berbagai makanan enak yang diletakkan dalam piring emas.

Mengutip Frederick, Mintarsing (2017) menguraikan pesta malam itu juga menghidangkan arak yang terbuat dari nira-kemungkinan besar “ie jok masam.”

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”

Puncak acara malam itu Cornelis disematkan rencong dipinggangnya oleh Al Mukammil.A

Al Mukammil tahu dengan baik dengan siapa dia berurusan, dan berapa bobot penghargaan yang layak diberikan.

Ia memperlihatkan itu kepada James Lancaster dan rombongan, utusan Ratu Inggris yang menemuinya pada tahun Mei 1602.

Mereka datang dengan tiga kapal, yakni "Dragon", "Hector" dan "Ascention". Sebelum bertemu Raja, Lancaster terlebih dahulu diterima oleh Shahbandar.

Admiral Lancaster djemput dengan enam ekor gajar, jauh lebih hebat dari hanya dua gajah ketika Cornelis de Houtman (Foster, 1940).

Penghormatan kepada Kerajaan Inggris sangat nyata ketika gajah pertama difungsikan hanya untuk mengangkut sebuah peti indah yang membawa surat Ratu Elizabeth I dan sejumlah barang hadiah Ratu kepada A Mukammil.

Surat itu semenjak dari Inggris telah dibungkus dengan beledu sutra berwarna emas.

Gajah kedua ditunggangi oleh Lancaster, sedangkan gajah-gajah lainnya mengangkut sebagian crew Inggris yang menyertai Lancaster.

Dalam rekaman buku “The voyages of Sir James Lancaster to Brazail and the East Indies 1591-1603” (1940), kehebatan penyambutan itu digambarkan sangat istimewa, tidak hanya karena keindahan dan kelengkapan prosesi yang menonjol.

Tetapi keteraturan yang mengambarkan keunikan tata krama sebuah negara Timur yang tidak kalah dari negara-negara Eropah.

Baca juga: Sempat Dideportasi tak Miliki Visa, Haji Uma Jamin Ortu Mahasiswi Palestina Jenguk Anaknya di Aceh

Catatan Lancaster juga menggambarkan apreasiasi pemerintahan Al Mukammil terhadap seni, yang dibuktikan dengan penampilan pertunjukan musik sepanjang jalan dengan bunyi terompet, drum-tambur, kecapi, dan flute- suling.

Melintasi tiga pintu gerbang akhirnya rombongan tiba di Istana Al Mukammil.

Berbeda dengan di Eropah, ketika sang tamu memasuki kediaman Al Mukammil, mereka harus membuka sepatu sebelum melangkah ke hamparan karpet dan permadani.

Lancaster dan sejumlah crew yang diterima Al Mukammil, diharuskan memakai pakaian Aceh yang telah disediakan termasuk headdress- kopiah, kemungkinan besar” tangkulok”,

Di depan Al Mukammil, Lancaster mengangkat tangan diatas kepala, kemudian membungkuk dan mencium tanah sebagai tanda hormat yang sangat tinggi kepada Al Mukammil.

Prosesi itu menunjukkan betapa Kerajaan Aceh sangat tahu cara menghormati tamu dari sebuah negara kuat Eropah abad ke 16.

Pada saat yang sama penghormatan itu juga dibalas oleh Lancaster dengan tata krama formal yang mengakui dan menjunjung tinggi kedaulatan Kerajaan Aceh-Darussalam.

Kunjungan utusan kerajaan Belanda dan Inggris tentu saja tercium kepada negara kuat lainnya di Eropah.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

Kiprah Aceh dalam perdagangan rempah dan sebagai “hub”- kawasan yang malayani pedagang Eropah, Timur Tengah, Turki, India, Pegu, Siam, Cina, dan Jawa dalam paruh abad akhir abad ke 16 mulai menggema di Eropah.

Mereka yang bersanding dan bertanding sesamanya untuk perdagangan dan penjajahan di berbagai belahan bumi, termasuk Nusantara mulai memasukkan Aceh dalam kalkulasi penting, terutama karena kekuatan maritimnya yang telah terbukti di mulut Selat Melaka.

Negara itu adalah Perancis, yang di dalan kosakata kerajaan Aceh pada masa lalu disebut dengan “peringei”- bahasa melayu peringgi.

Sebulan setelah kepulangan utusan Inggris, Perancis menyusul. Tepatnya pada 24 Juli 1602, pelayaran perdagangan Perancis dengan utusan Francois Martin tiba di Aceh.

Ia menulis catatan yang lumayan tentang Aceh. Ia tidak menulis banyak tentang Al Mukammil, kecuali pembicaraan sang Raja dengan Monsieur de la Bardelière, komandan armada dagang itu sekitar 3 jam tentang situasi terakhir Eropah.

Sultan mengirim hadiah peralatan makan perak dan kristal, memberi sejumlah dinar Aceh, dan membolehkan crew Perancis membeli komoditi apapun selama berada di Aceh.

Mereka senang tinggal di Aceh, membeli komoditi, termasuk segala kebutuhannya sehari-hari, Mereka juga mengkonsumsi “ie jok masam”- yang mereka beli.

Baca juga: Viral Murid SD Diusir dari Barisan Pawai karena Baju Seragamnya Kusam, Begini Nasibnya Sekarang

Menurut catatan itu, “ie nuraka aceh” itu sama nikmat dan kuat rasanya seperti minuman keras brendi di Eropah.

Demonstrasi soft power, dengan protokoler saja tidak cukup bagi Al Mukammil. Ia ingin memberi tahu, ia menaruh perhatian tentang apa yang sedang terjadi di Eropah.

Menggunakan istilah kontemporer, ia ingin menunjukkan dirinya seorang “leader” yang juga seorang reader

Pengetahuan Al Mukammil tentang situasi Eropah cukup luas, kemungkinan besar ia dapatkan dari informasi para pedagang berbagai bangsa yang lalu lalang di Aceh.

James Lancester sangat terkejut ketika dalam pertemuannya dengan Al Mukammil, sang raja mengangkat isu kemenangan Inggris berperang melawan Spanyol-Portugal.

Al Mukammil juga mencari tahu perbandingan kekuatan Inggris dengan Belanda.

Jhon Davis, kapten kapal James Lancaster yang juga pernah melayani Cornelis de Houtman juga menyatakan kekagumannya tentang keluasan pengetahuan, berikut rasa ingin tahu yang lebih banyak Al Mukammil tentang Eropa ( Davis dalam Markham 1880, dalam Hadi 2011)

Apa implikasi dari diplomasi negara-negara Eropah terhadap Aceh yang dilakukan oleh Mukammil pada awal abad ke 17 itu ?

Pertama, Al Mukammil menulis surat balasan kepada Ratu Inggris yang menyambut baik keinginan Inggris untuk menjalin perahabatan dengan Aceh.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya

Al Mukammil tahu bahwa Inggris mempunyai sejarah baik dengan kerajaan Islam Ottoman di Turki yang secara bersama membuat perusahaan patungan pada tahun 1579.

Ia juga menyampaikan kepada Ratu Inggris, Portugis- yang ia tahu adalah musuh Inggris, sebagai musuh utama Aceh.

Bagi Aceh, tulis Al Mukammil, Portugis adalah bangsa yang akan terus diperangi selamanya, sampai mereka mati, dimanapun, kapanpun (JSBRAS, 1898 dalam Mintarsing 2017)


Kedua ia mengirim surat balasan kepada Prince Maurice, Belanda, menyambut uçuran tangan untuk persahabatan dan keberlanjutan perdagangan.

Lebih dari itu ia mengirim surat pengakuan terhadap eksistensi Kerajaan Belanda yang sedang berperang melawan penjajahan Spanyol.

Ia bahkan mengirim duta besar Abdul Hamid pada tahun 1602, yang tak sempat bertemu Maurice karena sedang berperang melawan Spanyol .

Abdul Hamid meninggal karena sakit, kemudian dimakamkan disamping gereja Saint Peter di kota MIddleburg, di propinsi Zeeeland, Belanda.

Baca juga: Mabes Polri: CCTV Sesaat Kejadian Berhasil Ditemukan, Istri Ferdy Sambo Tersangka

Untuk menghormati sejarah itu, pada 25 Oktober 1978, mendiang Pangeran Bernhard -suami Ratu Belanda, Juliana meresmikan monumen.

Peresmian itu yang dihadiri utusan Dubes RI untuk Belanda , dan diabadikan sebagai tanda persahabatan Belanda Indonesia.

270 tahun kemudian, Ketika Gubernur Jendral Hindia-Belanda Loudhon mengumumkan ultimatum perang Aceh, seorang kritikus Belanda yang sangat vokal mencela tindakan itu.

Seperti ditulis oleh Paul van’t Veer, dalam bukunya, De Atjeh-Oorlog (1969), adalah Douwes Dekker-dikenal dengan nama samaran Multatuli, menulis surat kepada Raja Belanda yang juga dikutip oleh berbagai media Belanda.

Dalam Brief aan den Koning- surat kepada Raja (Paul van’t Veer, 1969) , Multatuli menulis, alasan Gubernur Loudhon memerangi dan ingin merampas kedaulatan Aceh adalah sama sekali tidak berdasar.

Ia menuduh Loudhon lebih banyak menggunakan fakta-fakta fabrikasi yang tak jelas.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun

Multatuli menuduh ada provokator-kemungkinan besar Max Havelar yang menjadi penguasa Bogor dan Banten yang ingin merusak hubungan Belanda dengan Aceh.

Lebih lanjut Multatuli juga menyebutkan Belanda tidak kesatria dan tidak jujur.

Yang paling memalukan menurut Multatuli, Belanda tidak tahu berterima kasih kepada sebuah negara, Kerajaan Aceh, yang mengakui berdirinya kerajaan Belanda pada tahun 1602.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved