Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”

Iskandar Muda mengawinkan perdagangan dan militer yang tiada duanya dalam sejarah Aceh, dan bahkan mungkin Nusantara.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Pada tingkatan pertama wilayah yang mempunyai kegiatan utama perekonomiannya lada, sang raja menerapkan kontrol ketat, dimana hanya pedagang-pedagang asing, yang mendapat izin yang boleh beroperasi.

Selanjutnya seluruh lada hanya boleh di ekspor lewat pelabuhan Bandar Aceh.

Mengingat lada sebagai komoditas unggulan perdagangan global-utamanya Eropa, kebijakan kontrol ketat jelas menjadi alat pemasukan uang yang sangat besar bagi Iskandar Muda.

Kebijakan itu berlaku untuk seluruh wilayah pantai barat, pantai timur, dan Kedah di semenanjung Malaysia.

Di Malaysia sendiri kekuasaan Aceh lebih bersifat protektorat, terutama yang menyangkut dengan kerajaan-kerajaan Kedah, Pahang, Perak, dan Johor.

Pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan, terutama dalam hal perdagangan lada, dapat berakibat fatal seperti yang terjadi di Kedah. 

Apa yang terjadi di Kedah adalah pemusnahan kebun lada rakyat oleh kerajaan Aceh akibat ketidakpatuhan penguasa Kedah.

Perkebunan lada rakyat Kedah ditebang dan dibakar atas perintah Iskandar Muda.

Ia bahkan pernah mengancam akan membakar lada di wilayah kerajaan Banten, yang dianggap menganggu stabilitas rantai pasok lada Nusantara  yang praktis berada dalam monopoli kerajaan Aceh (Shellabear 1898 dalam Lombard 1998). 

Mengutip dari berbagai sumber, Lombard (1998) tidak menepis kemungkinan kebijakan pelayaran Hongi VOC yang menebang dan membakar cengkeh rakyat di kepulauan Tarnate pada abad ke 17, tidak lain diilhami salah satunya dari strategi menopoli lada Iskandar Muda yang “disempurnakan”.

Pelayaran Hongi atau Hongitochten yang dimulai pada 1625 adalah pelayaran yang dilakukan oleh VOC menggunakan senjata lengkap untuk mengawasi jalannya monopoli perdagangan rempah.

Perahu atau kapal dagang yang bukan milik VOC di kawasan perairan Ternate dibakar, dan awaknya dibunuh.

Rakyat yang menjual cengkeh atau pala ke pihak non VOC disiksa, dan tanamannya dihancurkan.

Belanda bahkan mengatur pergantian raja dengan memilih Sultan Tarnate, Mandarsyah yang kemudian dipaksa menandatangani kebijakan pelayaran Hongi.

Iskandar Muda membangun institusi penguasa wilayah, yang digelar dengan panglima-utamanya di pantai barat.

Para penguasa wilayah itu digunakan untuk menjamin terlaksananya aturan, utamanya yang menyangkut dengan pemasukan uang kepada kerajaan Aceh.

Pemasukan itu baik kewajiban pedagang, pajak pembelian, dan berbagai biaya lainnya yang menyangkut perdagangan (Reid &Ito 2011).

Sebagai contoh, Tiku dan Pariaman adalah dua wilayah yang berada di bawah panglima masing-masing yang mengontrol pantai barat sampai ke Padang.

Mereka diwajibkan melapor setiap tahun.

Untuk menihilkan potensi penyalahgunaan kekuasaan, para panglima itu diganti setiap tiga tahun.

Kontrol yang serupa juga tetap berlaku untuk pantai timur Aceh dengan cara menunjuk para panglima, sekalipun setelah kematian Iskandar Muda, kelembagaan panglima itu hilang.

Di kawasan-kawasan yang kepentingan ekonomi kerajaan Aceh kurang relevan, terutama kawasan nonlada atau sumber daya penting lainnya, penunjukan panglima tidak dilakukan.

Pilar kedua monopoli perdagangan dilakukan tidak seketat seperti yang terjadi dengan perdagangan lada.

Dua kerajaan vassal- protektorat Aceh di semenanjung Melayu -Pahang dan Perak, disamping penunjukan panglima, Iskandar Muda memerintahkan ekspor timah terhadap pihak yang diinginkannya.

Untuk memastikan kebijakan itu terjadi, kerajaan Aceh menempatkan satuan angkatan laut Aceh di kedua wilayah maritim kerajaan Pahang dan Perak.

Pilar ketiga monopoli perdagangan yang lebih bersifat umum dilakukan dengan menjadikan pelabuhan Bandar Aceh sebagai pelabuhan utama dikawasan.

Memang benar hampir semua kawasan yang berada dibawah kekuasaan ataupun di wiayah pengaruh Aceh mempunyai pelabuhan tersendiri.

Di sebalik itu dengan monopoli ekspor lada hanya terjadi melalui pelabuhan Bandar Aceh, sulit bagi pedagang lain untuk datang ke sejumlah kawasan-kawasan itu.

Disamping itu kedatangan para pedagang Islam dari Timur Tengah dan India, berikut dari kawasan Nusantara, juga menjadi variabel tersendiri yang menguntungkan untuk Aceh.

Mereka tidak mau datang ke Melaka yang berada di bawah kekuasan Portugis.

Disamping itu Iskandar Muda juga menerapkan pajak yang lebih murah terhadap barang-barang impor yang dibawa oleh pedagang muslim ke pelabuhan Bandar Aceh.

Kedatangan berbagai pedagang muslim itu, berikut dengan kebijakan monopoli ekspor lada via pelabuhan Bandar Aceh menjadi salah kunci yang membuat pelabuhan ini termaju di kawasan.

Tidak cukup dengan kebijakan langsung terhadap perdagangan, kekuatan maritim Aceh sekaligus menjadi kembaran perdagangan yang menjadi indikator keamanan kawasan.

Disamping itu Aceh juga memberikan kemudahan untuk pedagang dari berbagai berbangsa dalam bentuk kawasan khusus yang kemungkinan besar diizinkan menjalani gaya hidup mereka masing-masing.

Pemberian kawasan khusus yang dimaksud adalah setiap bangsa yang berasal dari negara yang sama, dan mungkin juga kepercayaan yang sama diberikan sebuah kawasan tertentu.

Ini artinya, kehidupan mereka sehari-hari berada dalam sebuah enclave- kawasan kantong yang mempunyai diskontinuitas dengan budaya Aceh, dan sampai tingkat tertentu hukum.

Baca juga: Penulis Muda Diminta Perbanyak Tulisan Sejarah Aceh

Baca juga: Pemerintah Perjuangkan Jalur Rempah Aceh Jadi Warisan Dunia

Dari Anggur, Candu, Hingga Ie Jok Masam

Apa yang terjadi di kawasan itu adalah sekeping kehidupan dari berbagai bangsa yang datang dan singgah dan berdagang di Aceh.

Ini adalah sebuah kebijakan liberal yang menjadi pasangan dari konsekuensi kota perdagangan dan negara kota.

Disamping itu, dengan modal angin monsoon Samudra Hindia yang bertukar arah timur-barat selama enam bulan, maka masa tinggal pedagang akan membutuhkan yang relatif lama menunggu perobahan angin terjadi.

Ini artinya membiarkan pedagang asing terlalu lama “berlibur” dari kebiasaannya sehari-hari dalam waktu yang relatif lama akan menjadi faktor disinsentif kepada mereka untuk datang dan berdagang di Aceh.

Salah satu bukti kebijakan “liberalisasi” itu adalah ditemukannya sejumlah item dan daftar barang impor yang masuk ke pelabuhan Aceh merupakan barang-barang nonislami.

Barang-barang impor itu adalah anggur, minuman perangsang, dan candu-opium (Adat Aceh dalam Voorhouve dan Drewes 1958, Iskandar 1958, dalam Lombard 1998).

Sebenarnya tanpa impor anggur  pun yang notabene mengandung alkohol, di Aceh tetap saja ada komunitas peminum anggur aceh -ie jok masam, yang kandugan alkoholnya tidak kalah bahkan kadang lebih tinggi dari sejumlah minuman alkohol dari berbagai negara.

Catatan pengunjung Aceh, seperti Marco Polo-Italia, Frederick de Houtman-Belanda, dan James Lancaster-Inggris, menyebutan tentang hal itu, mulai dari Pasai hingga ke Banda Aceh.

Komunitas “ie jok-masam” itu sampai hari inipun masih dapat ditemui di sejumlah tempat di Aceh.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved