Breaking News

Kupi Beungoh

Tahun Baru, Semester Baru: Memperteguh kembali Makna Pengetahuan

Tahun 2022 telah usai, kini kita telah berada dan siap untuk menyongsong tahun 2023 dengan segala cerita ke depannya

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Herizal H. Lidan adalah Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UPI Bandung | Dosen FKIP Universitas Malikussaleh 

Oleh: Herizal H. Lidan*)

Tahun 2022 telah usai, kini kita telah berada dan siap untuk menyongsong tahun 2023 dengan segala cerita ke depannya.

Awal tahun baru masehi ini juga ditandai dengan dimulainya pembelajaran semester genap tahun ajaran 2022/2023.

Permulaan semester menunjukkan telah dimulai kembali kegiatan belajar-mengajar sehingga memang sudah sepatutnya bahwa aktivitas tersebut menandai telah terjadinya proses transfer pengetahuan kembali dalam kelas.

Tentu saja tujuan akhirnya tidak lain adalah untuk menumbuhkembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.

Kemudian menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab untuk mencerdaskan generasi bangsa, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Namun yang jadi perhatian adalah bagaimana pengetahuan yang diperkenalkan, apakah benar itu sebagai suatu pengetahuan?

Jangan-jangan hanya sebuah doxa atau bahkan hoax? Di awal tahun ini, mari kita coba merefleksi kembali perihal tersebut.

Baca juga: Remaja Penyerang Polisi New York Dengan Pisau Pada Malam Tahun Baru 2023 Dituduh Sebagai Teroris

Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa informasi dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu hoax, doxa, atau episteme.

Jenis informasi pertama adalah hoax, diartikan sebagai informasi yang tidak benar atau dapat dikatakan sebagai informasi yang salah.

Sementara jenis informasi yang kedua adalah doxa. Doxa adalah informasi yang belum tentu kebenarannya, dengan kata lain sifatnya hanyalah sebatas true belief. Informasi berupa doxa ini bisa jadi bernilai benar atau salah.

Berikutnya, jenis informasi ketiga adalah episteme yang kemudian dikenal dengan istilah pengetahuan. Pengetahuan secara filosofis dimaknai sebagai “Justified True Belief”.

Dari makna tersebut dapat dilihat bahwa yang dinamakan pengetahuan adalah suatu informasi yang benar, diyakini kebenarannya, serta dapat dijustifikasi.

Dari definisi tersebut, poin penting dari pengetahuan terletak pada justifikasi. Justifikasi merupakan proses pembuktian untuk menunjukkan kebenaran dari suatu informasi.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Medan Area, Pembentukan TNI, dan Daerah Modal

Jika tidak mampu ditunjukkan kebenarannya, maka informasi tersebut hanyalah sebagai sebuah doxa saja. Setelah melihat penjelasan di atas, jenis informasi mana yang lebih dominan diajarkan selama ini?

Salah satu jalan untuk memperoleh atau menghasilkan pengetahuan adalah melalui belajar. Dalam konteks pendidikan, proses untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui proses pembelajaran dalam kelas.

Implikasi dari hal itu serta kaitan dengan makna pengetahuan, agar seorang siswa dapat memperoleh pengetahuan, maka proses pembelajaran yang berlangsung dalam kelas tidak hanya sebatas proses transfer informasi yang diyakini kebenarannya saja namun perlu ditonjolkan proses justifikasi untuk menunjukkan bahwa keyakinan itu memang benar.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran matematika pada materi dasar yang paling sederhana, yaitu pembagian pecahan, seringnya aturan yang diperkenalkan adalah “untuk membagi dua buah pecahan, tanda bagi menjadi kali serta pecahan yang kedua dibalik”.

Aturan tersebut akan menjadi seperti sebuah doktrin yang harus dipercaya tanpa ada proses justifikasi mengapa aturannya seperti itu.

Akibatnya, yang diperoleh siswa hanyalah sebuah true belief. Meskipun begitu, siswa akan tetap percaya sepenuhnya walau tanpa pengecekan apakah aturan tersebut memang benar atau jangan-jangan salah.

Proses seperti yang telah dijelaskan dalam ilustrasi di atas tidak begitu baik.

Baca juga: Anies, “Filsafat Bukuem”, dan Feeling Politik Surya Paloh

Kembali disampaikan bahwa hal penting yang akan menjadi ciri khas suatu pengetahuan adalah pada justifikasi kebenarannya.

Proses pembelajaran yang di dalamnya diintegrasikan proses pembuktian suatu kebenaran baik dilakukan oleh pendidik melalui pembelajaran langsung maupun melalui aktivitas-aktivitas yang melibatkan peserta didik tentu akan lebih bermanfaat.

Pengajaran suatu konsep yang diwarnai dengan justifikasi setidaknya akan membentuk pengetahuan yang utuh baik dari segi pengajar maupun peserta didiknya.

Sekecil apapun proses justifikasi untuk menunjukkan kebenaran suatu konsep tentu akan lebih baik daripada tidak sama sekali.

Proses pembuktian atau justifikasi suatu kebenaran yang dilakukan secara berulang-ulang dalam pembelajaran akan membentuk karakter baik tersendiri bagi siswa yang bermanfaat dalam kehidupannya sebagai seorang warga negara.

Nilai yang terkandung dalam proses tersebut adalah penting untuk siswa agar tidak mudah percaya terhadap suatu informasi.

Apalagi pada kondisi saat ini dengan berbagai informasi yang bermunculan di media sosial yang sangat gampang untuk dibagikan ke mana-mana dengan nilai kebenaran dari informasi tersebut belum tentu benar dan tidak sedikit juga yang salah (hoax).

Baca juga: Mengenal Moderasi Beragama

Proses pembelajaran yang selalu mengedepankan proses justifikasi hendaknya akan sedikit menjadi benteng pertahanan bagi siswa agar tidak mudah menbagikan berita-berita yang tidak diketahui kebenarannya yang dapat menimbulkan keresahan atau bahkan kebencian.

Perihal ini juga bertujuan untuk mendidik siswa agar menjadi seorang yang berakhlak mulia serta bertanggung jawab seperti yang amanat undang-uandang pendidikan nasional.

Meskipun demikian, kita tidak menutup mata juga bahwa tidak semua ilmu pengetahuan dapat dijustifikasi kebenarannya dengan mudah, terlebih kaitannya dengan keimanan dimana kita perlu untuk percaya sepenuhnya.

Dalam hal-hal khusus seperti itu, tentu saja seseorang dapat menjadi credulist, yaitu seseorang yang percaya begitu saja pada sesuatu atau dapat meyakini suatu hal bahkan tanpa ada justifikasinya.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VII) Al Mukammil: Hard Power dan Shock Therapy

Namun, dalam ilmu-ilmu lain, terlebih ilmu eksak, hendaknya perlu menjadi seorang reductionist, yaitu orang yang selalu mengedepankan justifikasi kebenaran terhadap sesuatu yang didengar atau dipelajarinya.

Oleh karena itu, mengingat pentingnya proses justifikasi terhadap suatu informasi, di suasana awal tahun baru ini sekaligus awal semester genap ini, agar kualitas pembelajaran lebih baik lagi dari yang selama ini sudah baik, hendaknya perlu diperteguh kembali makna pengetahuan yang sebenarnya, yaitu justified true belief. (herizalheri23@gmail.com)

*)PENULIS adalah Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UPI Bandung | Dosen FKIP Universitas Malikussaleh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca  Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved