Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh I: Jhon Rumbiak dan Pasang Surut “Ethno Nationalism”

Menulis korupsi, KPK, perdamaian Aceh, Jhon Rumbiak,ethno nationalism- nasionalisme etnis, kelihatannya seperti menghubungkan sesuatu yang tak relevan

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Menuliskan korupsi, KPK, perdamaian Aceh, Jhon Rumbiak, dan ethno nationalism- nasionalisme etnis, kelihatannya seperti menghubungkan sesuatu yang tak relevan untuk disambungkan.

Namun kalau kata itu diletakkan sebagai kaca pembesar untuk melihat Aceh hari ini, akan tampak sekali keterkaitannya. Ceritanya begini.

Di suatu subuh awal Oktober 2002, saya mendapat panggilan tilpon dikamar hotel saya menginap di Washington DC.

Telpon pagi itu menyebutkan namanya John, mengucapkan assalamualaikum dengan lafal yang sangat tak fasih, dan menanyakan apakah saya sudah sembahyang subuh dengan nada gurau. Humam tahu ini siapa?

Setelah merenung sebentar mengingat-ngingat suara itu, ketika saya mau menyebutnya dia lebih duluan menyebut “Rumbiak”-Dubes OPM di Washington, dengan nada kelakar.

Baca juga: Aceh dan KPK

Saya juga sebenarnya mau menyebut nama itu, karena saya teringat dengan suara bernada Papua medok,seperti banyak kawan Papua saya lainnya.

Ya , ia adalah John Rumbiak, aktivis HAM, pendukung resolusi konflik anti kekerasan, yang berasal dari Papua. Ia lahir di Biak pada tahun 1962 dan menyelesaikan S1 bahasa Inggris di Universitas Cenderawasih.

Kami sering bertemu di berbagai pertemuan nasional tentang HAM dan resolusi konflik di Jakarta selama beberapa tahun sebelumnya.

Sebagai sesama aktivis HAM dan advokasi perdamaian, saya dan Jhon juga sering bertemu diberbagai pertemuan internasional di Eropah, dan AS, pada tahun-tahun pasca kejatuhan rezim Orde Baru.

Karena Jhon kritis, ia kemudian dicari oleh aparat keamanan, akhirnya ia meminta suaka ke kedutaan Belanda, dan akhirnya ia kemudian pindah dan menetap di AS.

Baca juga: KPK Jangan Permalukan Aceh

Jhon kemudian menjadi pembela perjuangan penegakan hak-hak asasi orang Papua di dunia internasional. Ia juga giat mengkampanyekan perusakan lingkungan penambangan emas Freeport, perusahaan besar tambang AS.

Konon kabarnya, ia adalah orang yang sangat dibenci oleh Freeport,karena membuka berbagai kebobrokan perusahaan itu kepada publik AS.

Aktivitas itu kemudian mengantarkan Jhon menjadi pembela kepentingan Papua di dunia internasional, sehingga ia dijuluki sebagai Ramos Horta Papua.

Ia berhasil meyakinkan anggota kongres AS asal Samoa, Eni Faleomavaega, yang kemudian mengantarkannya untuk melóby kelompok black caucus,- anggota kongres AS keturunan Afrika, lintas partai.

Jhon kemudian berhasil membangun sebuah jaringan ampuh untuk perjuangan Papua merdeka di AS.

Nama jaringan itu adalah lobby Papua-AS yang kemudian menghasilkan sejumlah resolusi yang membuat pemerintah RI, harus bekerja keras dan lebih hati-hati.

Di pembicaraan telpon pagi itu kami sepakat untuk sore hari bertemu dan minum kopi di sebuah Coffee Shop di kecil kawasan DuPont Circle. Washinton DC.

Baca juga: Disebut Bela Irwandi Yusuf usai Kritik KPK, Humam Hamid Singgung soal Peunayah Pascadamai

Saya lebih duluan sampai dan John terlambat dua menit dari waktu yang kami sepakati. Dari jauh ia berjalan gontai, mirip orang AS keterunan Afrika yang cukup banyak berseliweran di kawasan itu.

Pertemuan itu diawali dengan saling pelukan, kawan lama yang tak bertemu. Begitu duduk ia langsung menanyakan saya, “ngapain kau kemari” ? Mau tahu judulnya?

Saya menjawab. Lalu lanjut saya “ mencari damai Aceh-Indonesia di Amerika” Kau yakin itu ? “Aku yakin” saya menjawab.

Saya balik bertanya, “apa yang kau cari di AS Jhon”? Ia menjawab “Papua Barat yang hilang karena Amerika”. Kami berdua tertawa terbahak-bahak.

Saya berseloroh, “kamu sudah transformasi John dari aktivis HAM , anti kekerasan, ke pejuang Papua ya? “. Ia tersenyum, namun menjawab tegas, “tetapi aku tetap saja tak setuju kekerasan”.

Pembicaraan kami panjang, dan tiba-tiba terasa benar ia tahu apa yang sedang saya lakukan beberapa hari selama berada di Washington pada saat itu.

Baca juga: Pernyataan Prof Humam Terkait KPK, Ayah Merin dan Irwandi Yusuf Ditanggapi Pro-Kontra

Ia tahu tentang keikutsertaan saya disebuah Workshop seri I dari empat seri, yang disponsosori oleh Carnegie Foundation, dan dilaksanakan oleh East West Center beberapa hari sebelumnya.

Temanya adalah tentang kajian konflik dan perdamaian di Aceh, Papua, Xingkiang Cina, dan Moro, Filipina.

Acara itu dilaksanakan di kawasan pinggiran ibu kota AS, Washington DC, tepatnya di sebuah hotel di Rosalyn, bagian utara, negara bagian Virginia.

Peserta workshop yang diundang berjumlah 34 orang pakar, terdiri dari Indonesia, Filipina, Malaysia, Cina, India, dan AS dan Inggris.

Peserta terbanyak adalah dari Indonesia, yakni Todung Mulya Lubis,pengacara dan aktivis HAM terkemuka nasional-sekarang Dubes di Norwegia, Rizal Sukma- direktur CSIS pada masa itu, terakhir mantan Dubes RI di Inggris, Mantan Duber RI di Inggris, Wiryono- Mantan Dubes Indonesia di Australia utusan RI di perundingan GAM_RIyang difasilitasi Henry Dunand Center.

Kami semua diminta menulis untuk workshop berikutnya, namun dengan alsan kesibukan bercampur “malas” semua kami gagal, tak nyambung.

Hanya Rizal Sukma saja yang sempat mempublikasi paper kebijakan tentang operasi keamanan di Aceh.

Baca juga: Tokoh Tahun Ini: Zelensky, Anwar Ibrahim, dan Anies Baswedan


Akhirnya saya tahu, Jhon mendapat informasi itu dari mantan Gubernur Irian Jaya Barnabas Suebu, yang ikut dalam workshop itu, dan bahkan berbicara layaknya seperti panglima OPM.

Bas Suebu kemudian terpilih lagi sebagai Gubernur Papua Barat 2006-2011, namun kemudian terbukti korupsi. Ketika saya ceritakan tentang tanggapan dan ucapan Bas seperti OPM kepada Jhon ,ia tertawa terbahak-bahak.

Kami kemudian bicara lebih fokus dan serius. Saya bertanya kepada Jhon,”apa modal kalian-Papua, berontak John?”

“Bagiamana mungkin dengan jumlah suku dan bahasa yang ratusan, dan tersebar di setengah Pulau kedua terbesar dunia, Greenland dan tak saling tak berhubungan secara fisik, terbelakang secara SDM, mau melawan negara sehebat dan sebesar Indonesia?” tanya saya.

Jhon menjawab dengan sangat tenang, “harga diri, niat untuk bebas dan berdiri sendiri , apapun kurang atau lebihnya” “Hari ini masih koteka, beberapa tahun lagi celana, kemudian entah apa lagi” Pandangannya mulai menerawang. Saya mulai melihat “aura pejuang” semakin nampak dari nada bicara dan bahasa tubuhnya.

Lalu dengan nada ringkas dan tegas ia menjawab “ modal kami hanya dua Humam- rambut kami keriting, dan kulit kami hitam”.

Saya menimpal “ kan orang Ambon juga begitu?” “Ya” kata dia, “tetapi mereka kan juga pernah berontak? tukasnya. “Sudahlah itu urusan Ambon, buka urusan kami”.

Diskusi itu menjadi panjang. “Kami orang Melenesia, bukan Melayu, seperti kamu, dan itu sudah lebih dari cukup” ,katanya sambil tersenyum. Mau dibuat apapun, kami tetap seperti itu.

Rupanya Jhon sudah “kemasukan”. Sambil tersenyum ia bertanya. “Kamu tahu ngak apa modal besar bangsamu,-bangsa Aceh untuk merdeka ?“ Belum sempat saya menjawab, Jhon mendahului saya “ modal Aceh itu adalah kebesaran sejarah”. (Bersambung)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved