Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh X - Tampok, Tumpok, dan Ca…
Kisah kehidupan para pemimpin pria, mulai dari zaman klasik sampai dengan hari ini, sama sekali tak terlepas dari keberadaan wanita.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Kisah kehidupan para pemimpin pria, mulai dari zaman klasik sampai dengan hari ini, sama sekali tak terlepas dari keberadaan wanita.
Sang wanita itu bisa membawa kebaikan, keburukan, atau keduanya sekaligus.
Jika setiap budaya membuat kalimat peringatan tentang kekuasaan dalam bentuk, “tahta, harta dan wanita”, sastera Aceh klasik punya satu kalimat, mungkin paling sarkastik dan “kotor” di dunia.
Betapapun, kalimat Aceh itu tetap mengandung pesan yang serupa.
Kalimat itu adalah “tampok”, “tumpok” dan “ca…”.
Dari fenomena ketersinggungan pemimpin dengan wanita bukan isteri resminya, sebagian mereka yang mampu menjalaninya dengan baik, hasilnya tidak hanya baik, tetapi juga spektakuler.
Sebaliknya, cukup banyak pula yang kandas, terhempas, dan bahkan tragis.
Banyak yang tidak tahu bahwa Sultan Selim II dari dinasti Osmani- Ottoman, yang sempat menjadi “protector” kerajaan Aceh pada abad ke 16, adalah putera dari Sultan Sulaiman Agung- Sulaiman the Magnificent.
Selim II adalah anak Sulaiman dengan seorang gundik keturunan Ukraina.
Namanya Roxelana, gadis muda yang ditangkap oleh tentara Ottoman di Rohatyn, Ukraina, tepatnya oleh kesatuan pasukan Tartar.
Ketika ditangkap, Roxelana berumur 17 tahun, dan ia dibawa pulang ke Istanbul dengan status budak tangkapan.
Ia kemudian dijadikan salah satu gundik Sultan Sulaiman, dan ditempatkan dalam harem- tempat dimana belasan gundik Sultan tinggal.
Tradisi harem- dimana tinggal para wanita cantik yang menjadi gundik para raja, tidak hanya di Ottoman, tetapi juga jamak dibanyak kerajaan Islam, baik pada masa Usmaniyah, maupun Abbassiyah.
Karena kecantikan, pengetahuan, dan kepandaiannya, ia menjadi gundik kesayangan Sulaiman.
Sang Sultan bahkan melanggar tradisi Ottoman yang sudah berlangsung 4 abad sebelumnya.
Sulaimana mengawini secara formal Roxelana, dan jadilah ia isteri Sulaiman yang resmi.
Mungkin untuk ukuran hari ini keputusan kontroversial Sulaiman itu dapat dianggap sebagai sebuah “affair” atau “skandal”, tetapi tidak untuk masa itu.
Segera saja Roxelana menjadi sangat berpengaruh, dan kemudian menjadi pendamping Sulaiman.
Ia bahkan kemudian digantikan namanya menjadi “Hurrem Sultan”, yang dianggap wanita yang paling berpengaruh di dalam sejarah Ottoman.
Ia melahirkan banyak Sehzade-putera Sultan, dan menjadi ibu dari Sultan Selim II.
Berlainan dengan Sulaiman Agung, lebih kurang 1.300 tahun sebelumnya, panglima andalan Julius Cesar- sang diktator imperium Roma, Marx Anthony, mempunyai affair dan kemudian kawin dengan Ratu Cleopatra dari Mesir.
Kecantikan dan kecerdasan Cleopatra yang sebelumnya pernah menjadi kekasih Julius Cesar, membuat Marx Anthony mau melepaskan segalanya untuk sang kekasih.
Kisah cinta mereka yang digambarkan sebagai tragedi dalam drama Shekespeare menggambarkan kisah cinta yang sangat memukau.
Marx Anthony mengabaikan negaranya, Romawi dan rekan “trium viratnya”-tiga serangkai, Octavianus dan Pompey.
Ia berperang melawan Octavianus, ia kalah, dan kemudian Marx Anthony dan Cleopatra mati bunuh diri secara bersama-sama.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh VIII - Merin: Perampok, Pemeras, Atau Robinhood?
Baca juga: Berani Kritik KPK dan Presiden Jokowi Terkait Kasus Ayah Merin dan Irwandi Yusuf, Siapa Humam Hamid?
Dari Bill Clinton Hingga Irwandi Yusuf
Di abad moderen, pada akhir abad ke 20,seorang anak muda cerdas, dan gubernur termuda AS, Bill Clinton terpilih menjadi presiden. Kebiasaannya sebagai “playboy” sejak muda, ketika gubernur, bahkan ketika terpilih menjadi presiden tak berubah.
Ia mengakui “affair” dengan mahasiswi praktek kerja-internship- di gedung putih, Monica Lewinsky, dalam bentuk bukan hubungan sex konvensional, setelah ia berbohong sebelumnya.
Clinton kemudian menjalani proses pemakzulan, namun ia dibebaskan oleh ke 55 anggota Senat dari kasus itu.
Menariknya, Clinton dan ketua komite, sekaligus jaksa khusus kasus Monica Lewinsky, Kenenth Star, menjadi tokoh tahun 1998 versi majalah Time.
Monica Lewinsky kemudian menjadi selebritas unik tersendiri, sampai dengan hari ini.
Peristiwa jerat korupsi Irwandi dimulai dengan operasi tangkap tangan KPK yang dikaitkan dengan Steffy Burase dalam kasus Marathon Sabang, juga tak kalah serunya dengan apa yang dialami oleh Marx Anthony dan Bill Clinton.
Ada kekuasaan, ada wanita, dan ada pula aroma penyalahgunaan kekuasaan.
Irwandi dituduh menerima gratifikasi sebesar Rp 1.05 miliar melalui T Saiful Bahri dan Hendri Yuzal dari Bupati Bener Meriah, Ahmadi.
Gratifikasi diberikan atas program/kegiatan pembangunan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh tahun 2018 di Kabupaten Bener Meriah
Apakah Irwandi layak disatukan dengan berbagai tokoh dunia itu dalam konteks “affair” atau “skandal” itu?
Mungkin, dari segi koteks dan bobot sejarah, semua kejadian itu berbeda, akan tetapi dari segi pemimpin sekaligus manusia biasa, mereka tidak terlepas dari segala kehebatan dan kekurangannya.
Substansinya sama, ada kekuasaan, ada materi, dan ada pula wanita.
Ketika berbagai kelindan itu “diacehkan”, maka dengan segera narasi tampok, tumpok, dan ca*** tak dapat dielakkan.
Tuduhan korupsi saja mungkin kurang ampuh untuk menangkap Irwandi, apalagi kalau hanya dengan nilai sekitar satu miliar.
Namun, ketika hal itu terkait dengan kehadiran seorang wanita cantik, ibarat makan di restoran fast food, korupsi itu menjelma menjadi sebuah “paket lengkap”.
Ceritanya menjadi lain, basis moral yang dimiliki KPK saat itu melambung, bahkan melebihi basis legal yang melekat pada KPK itu sendiri.
Segera saja jagat Aceh dan nasional, bahkan internasional menggelegar dengan tangkapan seorang Gubernur, eks kombatan GAM, pimpinan partai lokal versi 2 GAM-PNA, terpilih untuk memerintah kali kedua.
Gubernur yang pernah memerintah 2007-2012, dan kini, pada jabatan 2017-2022 menerima gratifikasi dana Otsus 2018, dari bupati Kabupaten Benar Meriah.
Sengaja atau tidak “angle” pemberitaan versi KPK yang tak pernah lalai menyebutkan nama Steffy Burase dalam setiap keterangan pers sangat ampuh.
KPK telah berhasil menjadikan Irwandi sebagai “icon” korupsi Aceh yang terkait dengan kegagalan pembangunan dan penyalahgunaan Dana Otonomi Khusus Aceh.
Simpati publik Aceh kepada Irwandi meluntur perlahan seperti daun di musim gugur ketika menerima berita kasus korupsi Sabang itu.
Sekalipun publik Aceh tidak begitu peduli dengan praktek poligami pemimpin, namun ketika ada perempuan beririsan dengan uang dan kekuasaan, bagaimanapun baiknya, ceritanya menjadi lain.
Seperti diketahui semenjak perdamaian Aceh, hanya satu dari empat pemimpin Aceh -Zaini Abdullah, yang tidak mempraktekkan poligami.
Selebihnya menuruti istilah perbincangan “sarkastis” kaki lima, “lagee biasa” (ya begitulah).
Kepercayaan publik kepada pemimpin langsung menjadi sirna seketika.
Dalam pemberitaan media pada masa itu, setiap ada kata Irwandi, ada pula kata Burase.
KPK dalam komunikasi medianya mampu menjadikan Steffy Burase seolah sebagai pembuka “biang kerok” keburukan Irwandi.
Kejadian seperti itu mengingatkan praktek rezim Orde Baru menjadikan “geisha”-pelayan bar Jepang, Dewi Sukarno sebagai pintu pembuka untuk menyerang presiden Sukarno sebagai biang dari segala keburukan negara pada waktu itu.
Dewi Sukarno memang menjadi isteri Sukarno.
Sama seperti kasus Sukarno, sebagian masyarakat Aceh sedih, marah, dengan kasus yang melibatkan wanita itu.
Irwandi mulai ditinggalkan.
Tak cukup dengan dakwaan kasus Marathon Sabang- gratifikasi DOKA 2018 Bener Meriah, Irwandi ditimpa lagi dengan dua gratifikasi lainnya, dalam satu berkas gugatan. Pertama, melalui pengusaha Bireun Mukhlis, sebesar 4,42 miliar, melalui Steffy Burase sebedsar 568.080 juta, dan dua kawan baik Irwandi, Samsul Bahri -Tiyong, dan Nizarli sebesar3,72 milliar
KPK menimpa lagi dakwaan ketiga.
Irwandi didakwa menerima gratifikasi bersama Izil Azhar (Ayah Merin) dari kasus BPKS Sabang sebesar Rp32,454 miliar.
Dakwaan itu seolah menjadi “godam” penutup untuk Irwandi yang terkesan koruptor yang “sangat sempurna”.
Ketika ia dituntut di pengadilan, jaksa merinci jumlah uang yang diduga diterima Irwandi selama menjabat periode 2001-2012 dan 2017-2018 hingga mencapai total Rp 41,7 miliar.
Jumlah menjadi sangat lengkap karena juga terkait dengan “skandal” seorang wanita cantik.
Karena kasus itu pula, KPK mendapatkan point tehebat dalam sejarah karena berhasil membekuk gubernur “mantan pemberontak” dari kawasan konflik terlama dan terhebat dalam sejarah Republik Indonesia.
Narasi kebaikan eks kombatan GAM yang sebelumnya digambarkan patriotis, dengan sejumlah kontradiksi kelemahan lainnya selama ini di lapangan, kini terbantah sudah.
Awalnya Irwandi divonis 8 tahun penjara pada 2018 oleh pengadilan Tinggi Jakarta, kemudian dikurangi oleh Mahkamah Agung (MA) menjadi 7 tahun penjara, dan diharuskan membayar denda 300 juta rupiah, subsidier tiga bulan kurungan.
MA beralasan Irwandi telah berjasa untuk Indonesia.
Pada hari Kamis 15/10/20 secara resmi presiden Jokowi memberhentikan Irwandi Yusuf dari jabatannya sebagai Gubernur Aceh 2017-2022.
Irwandi resmi bebas dari penjara setelah mendapatkan program bebas bersyarat pada Selasa (25/10).
Irwandi dikeluarkan dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Ia telah menjalani 2/3 dari masa pidana, dan semenjak saat itu ia telah berobah status dari “narapidana” menjadi “klien permasyarakatan.”
Tak lama ia menghirup udara bebas, dalam sebuah kesempatan, ia membuat sebuah pernyataan kepada sekelompok masyarakat yang membuat publik tersentak.
Statemen itu juga direkam dalam video, bahwa pemenjaraannya semenjak 2018 sampai dengan pembebasan bersyarat pada Oktober 2022, terkait masalah politik.
Kasusnya kemudian disebutkan terkait dengan seorang pejabat tinggi negara, tanpa menyebut namanya.
Dalam waktu yang tak berapa lama, kurang dari dua minggu, Ayah Merin, buron kasus dermaga Sabang, yang disangka publik telah bebas, karena pengadilan telah memvonis bebas Irwandi pada pengadian 2018, ditangkap dan dibawa ke Jakarta.
Tak lama setelah itu Irwandi dipanggil sebagai saksi, dan kini terbuka lebar Irwandi bakal berobah lagi statusnya.
Yang menjadi pertanyaan besar kemudian, apakah Merin akan ditangkap seandainya Irwandi tidak “membuat” tuduhan itu?
Ironisnya, Merin selama lebih tiga tahun terakhir diketahui publik bebas berkeliaran di Banda Aceh dan Sabang, sementara KPK pura-pura tidak tahu terhadap Merin selama tiga tahun itu.
Ini adalah sebuah teki teki yang hanya KPK bisa memberikan jawabannya.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.