Padahal tujuan dari pengungkapan tragedi Cumbok sama sekali tidak kepada yudisial, karena memang hampir mustahil dilakukan. Tujuan utama adalah demi kebenaran dan keadilan, menelusuri sejarah kelam masa lalu, demi rekonsiliasi dan pembangunan Aceh berkelanjutan. Kejadian itu terjadi di dalam konstruksi kebangsaan Indonesia, ketika Aceh telah mengakui Soevereiniteitsoverdracht bersama Indonesia.
Dari hasil penelitian lapangan yang penulis lakukan tidak terlihat sikap amarah dari keturunan korban. Yang tertinggal adalah harapan yang tersaput trauma, agar mereka tidak mati dalam konstruksi narasi sejarah yang dinista.
Kembali terkait dengan peran KKR Aceh yang memiliki mandat dalam menyelesaikan kasus kekerasan di Aceh, jangan sampai kasus besar yang berhulu sejak awal mula sejarah kemerdekaan Indonesia itu terabaikan dalam kajian dan penyelidikan. Akar kekerasan yang terjadi sejak itu menjadi jalan mengalirnya arus kekerasan lainnya, karena memang pada sumbu awal tidak pernah diselesaikan. Sumbu menyala tanpa pernah padam. Tentu ada kesulitan membangun metode dan perspektif pengungkapannya. Namun, kesulitan harus ditengahi, tidak malah membeku dalam waktu tanpa memberikan makna dan haru.
Ke depan, perjuangan semakin berlipat karena juga harus mendapatkan perhatian dari Presiden Jokowi untuk menerbitkan Keppres baru lagi, untuk kasus-kasus kekerasan yang belum diakui dan bernama. Mereka yang dibungkam oleh fitnah dan kekerasan, selayaknya tidak semakin hilang oleh pelupaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.