Kupi Beungoh
Gubernur Aceh - Mustafa Abubakar dan Judi SBY-JK - Bagian IV
Kejadian tsunami menerjang Aceh dan hampir seluruh pesisir kolam besar Samudera Hindia, telah menjadikan status Aceh masuk dalam rekor internasional
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
KETIKA tsunami menerjang Aceh pada akhir tahun 2004, Aceh juga sedang mengalami “tsunami kekerasan" akibat konflik GAM dengan pemerintah yang diwakili oleh TNI.
Praktis Aceh yang sedang berstatus sebagai daerah militer langsung bertambah statusnya menjadi daerah bencana.
Skalanya bukan nasional, apalagi daerah, tapi bencana internasional.
Kejadian tsunami menerjang Aceh dan hampir seluruh pesisir kolam besar Samudera Hindia, telah menjadikan status Aceh masuk dalam rekor internasional, dan bahkan dianggap sebagai bencana terdahsyat awal abad ke 21.
Kini perhatian pemain utama global, terutama PBB, AS, Uni Eropa, dan Jepang sangat besar untuk Aceh, baik untuk penyelesaian konflik maupun untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Mungkin salah satu ujian terbesar dan terhebat untuk SBY-JK yang baru saja memenangkan Pilpres 2004 adalah konflik dan tsunami Aceh, apalagi masa jabatan Puteh-Azawar Abubakar berakhir pada Desember 2005.
Baca juga: Gubernur Aceh - Apa Beda Soekarno, Soeharto, Gus Dur, SBY, dan Partai Aceh - Bagian I
Puteh sendiri telah terlebih dahulu diberhentikan karena menjadi terpidana kasus korupsi pembelian helikopter.
Mencari penjabat gubernur Aceh dengan tantangan yang begitu besar bukanlah pekerjaan mudah bagi pasangan SBY-JK.
Tugas penjabat gubernur yang akan ditunjuk SBY-cukup kompleks.
Pertama, disamping berfungsi menjalankan pemerintahan, pejabat gubernur harus memastikan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paskatsunami berjalan lancar dan berhasil.
Koordinasi dengan lembaga bentukan pemerintah pusat, BRR, menjadi sangat krusial.
Kedua, memastikan realisasi perdamaian Aceh yang telah dicapai melalui MoU Helsinki 15 Augustus 2005, berlanjut, terutama dalam kaitannya dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka,-termasuk penyiapan draft UU Otonomi Khusus- UU Nomor 11 Tahun 2006.
Tugas lain pejabat gubernur yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan pemilihan gubernur pascakonflik yang juga tak kalah menantang.
Banyak orang tidak tahu, tugas pejabat gubernur Aceh yang tidak bisa dianggap enteng dan tak disebutkan dalam surat pengangkatannya adalah menjadi “focal point” -titik sentral, pemerintah Republik Indonesia dalam menangani rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Karena Aceh sedang menjalani realisasi perdamaian tahap awal, sosok pejabat gubernur Aceh juga mempunyai tugas khusus tambahan.
Baca juga: Gubernur Aceh: Tujuh Gubernur Pilihan Soeharto - Bagian II
Tugas itu adalah penyelesaian konflik Aceh yang sudah menemukan momentum dengan MoU Helsinki dan mulai mengikutsertakan sejumlah “pemangku kepentingan” global, utamanya PBB, AS, dan Uni Eropa.
Jabatan penjabat gubernur Aceh yang akan ditunjuk oleh SBY-JK berkemungkinan besar menjadi ajang “perjudian” gagal atau suksesnya Aceh keluar dari konflik dan bencana tsunami.
Ini adalah jabatan yang bobot tantangannya melebihi pekerjaan menteri dalam kabinet SBY.
Pilihan SBY-JK hanya dua, mencari tokoh senior yang sarat pengalaman, teruji, berintegritas, berikut kemampuan komunikasi memadai.
Cari orang Aceh yang mempunyai kualifikasi yang telah diuraikan, atau pilihan berikutnya terbuka untuk siapapun, termasuk untuk TNI.
Jika jalan pikiran konvensional yang diterapkan, karena taruhannya sangat besar bagi pemerintah RI, maka cukup mencari mantan jenderal TNI yang berpengalaman, berintegritas, dan telah teruji.
Tetapi SBY-JK menggunakan cara berpikir lain, karena persoalannya memang tidak sesederhana yang terlihat.
SBY-JK tidak mau berpikir konvensional.
Baca juga: Gubernur Aceh - Gus Dur, Melanggar Tabu, dan Nekad - Bagian III
Ketimbang menjahit baju, kemudian mencari sosok yang pas dengan baju itu, SBY-JK justeru mencari orang, kemudian menjahit baju, sekaligus memerintahkan orang itu untuk memakai baju itu, dan mencari sejumlah ornamen penting tambahan.
Itu artinya, SBY-JK berupaya keras mencari sosok “orang Aceh” dan memberikan arahannya.
Sangat sukar mencari orang Aceh yang menduduki jabatan eselon I ketika itu.
Jangankan di Departemen Dalam Negeri, di kementerian lain pun, nyaris tak ada orang Aceh.
Di tengah “kekeringan” calon pejabat gubernur yang orang Aceh itu, tersebutlah nama Mustafa Abubakar yang jika menggunakan indikator pikaran konvesional tidak sangat memenuhi.
Tetapi SBY-JK bergeming.
Calon itu harus orang Aceh, dan itu adalah Mustafa Abubakar.
Mustafa sama sekali tak mempunyai pengalaman pemerintahan, dan ia baru tiga tahun menjadi Inspektur Jenderal sebuah Kementerian baru yang sedang didefinisikan “pekerjaannya.”
Baca juga: BSI Bermasalah, Haruskah Membanggakan Bank Konvensional?
Kementerian itu adalah hasil kreasi presiden Abdurrahman Wahid- Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Mustafa sendiri menjadi Irjen kementerian itu, kemungkinan besar disamping pengetahuan, pengalaman, dan kepeloporannya dalam sektor kelautan dan perikanan, juga dikenal dengan baik oleh Menteri Sarwono Kusumaatmaja pada masa itu.
Ia sendiri adalah insinyur perikanan IPB yang sarat ilmu-mahasiwa teladan IPB, sekaligus tokoh dan organisatoris- Ketua Dewan Mahasiwa IPB.
Pada saat itu Mustafa juga ketua paguyuban Masyarakat Aceh di Jakarta-Taman Iskandar Muda.
Di samping tak berlatar belakang pemerintahan, minim pengalaman, Mustafa juga belum teruji.
Namun rekam jejaknya di atas rata dalam hal integritas, kemampuan bergaul dan berkomunikasi, untuk tidak mengatakan cukup baik.
Mustafa juga pembelajar yang tangguh.
Baca juga: Dunia Islam Harus Siap Jika Erdogan Kalah Dalam Pemilu Turkiye
Semua uraian ini tidak banyak memberi point untuk penunjukan Mustafa untuk menjadi gubernur, namun SBY-JK punya judgment tersendiri untuk keputusan itu.
Judgment itu adalah gabungan kedua mereka, pengalaman SBY mengurus konflik Aceh, dan pengalaman JK menjadi Menko Kesra selama presiden Megawati.
JK mempunyai pengalaman penting menyelesaikan perdamaian Aceh dengan capaian puncak MoU Helsinki.
Gabungan kedua pengalaman itu, sekaligus interaksinya dengan Mustafa, akhirnya sampai pada kesimpulan, Mustafa Abubakar diangkat sebagai penjabat gubernur Aceh sampai terpilihnya gubernur Aceh definitif.
Keputusan itu tidak kontroversial memang, namun itu adalah sebuah perjudian dengan resiko yang sangat tinggi.
Gagal rehabilitasi, gagal realisasi perdamaian.
Jika itu terjadi, maka Aceh akan menjadi daerah yang sangat menderita dan nestapa kehidupan yang bercampur dengan kekerasan.
Jika Mustafa berhasil, prestasi itu tidak hanya untuk Aceh, akan tetapi juga akan menjadi narasi baru Indonesia.
Indonesia,-Aceh akan keluar dari kehancuran tsunami dan konflik tak berujung.
Baca juga: Pemilu Turkiye 14 Mei, Antara Kebangkitan "New Ottoman" atau Bangkitnya "New Attaturk"
Keputusan SBU-JK adalah judi, barangkali judi terbesar yang pernah dialami dalam kehidupan mereka berdua.
Akhirnya pilihan SBY-JK tak salah.
Mustafa Abubakar, “orang Aceh” itu tidak hanya berhasil, namun sukses dan sangat berprestasi.
Bersama BRR dan komunitas pemangku kepentingan global ia mengurus rehabilitasi dan rekonstruksi dengan baik.
Mustafa juga berinteraksi cukup baik dengan mantan pemberontak GAM dalam realisasi perdamaian, dan meletakkan dasar-dasar tata kelola pemerintahan yang baik.
Dunia mengakui keberhasilan Indonesia dalam menangani Aceh.
Di situ ada SBY-JK, ada Kuntoro Mangkusubroto, dan ada Mustafa Abubakar.
Bobot pekerjaan pejabat gubernur Aceh pascatsunami dan konflik yang setara jabatan menteri kabinet atau kepala lembaga negara itu memang nyata dan benar.
Buktinya? Setelah selesai jabatan pejabat gubernur, Mustafa dipromosi SBY-JK di dua lembaga yang cukup menantang.
Ia menjadi Kabulog, dan tak lama kemudian diangkat menjadi Menteri BUMN di kabinet SBY-JK.
Baca juga: Inikah Etika dan Moral Politik yang Akan Diwariskan Jokowi untuk Bangsa?
Keberhasilan Mustafa semakin memberi keyakinan kepada SBY untuk menunjuk putera Aceh lain menjadi pejabat Gubernur pada masa berikutnya.
Ketika masa Irwandi habis sebagai gubernur SBY menunjuk Tarmizi Karim sebagai pejabat gubernur Aceh pada tahun 2013.
Tarmizi pada masa itu adalah pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri dengan jabatan Kepala Badan Pendidikan dan Latihan.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.