Kupi Beungoh

Fenomena Pengemis dan Anak Jalanan di Banda Aceh, Tanggung Jawab Siapa?

Anak-anak di Lampu Stop itu bermasalah dengan kesejahteraan sosial. Mereka adalah "kelompok rentan" atau " marginal".

Editor: Amirullah
ist
Zahratun Nur HSB, Mahasiswa Prodi Kesos FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Ini sejalan dengan kebijakan negara tentang wajar (wajib belajar) 12 tahun. Anak-anak di bangku SD Negeri (MIN), SMP Negeri (MTsN) hingga SMA Negeri (MAN/SMKN) digratiskan dari iuran bulanan sekolah.

Kebijakan pemerintah adalah anak-anak Indonesia wajib belajar selama 12 tahun. Tidak boleh ada alasan tidak ada biaya karena pemerintah telah menggratiskan wajar 12 tahun di sekolah milik pemerintah.

Akan tetapi, kita menyaksikan bahwa di Banda Aceh juga terdapat sejumlah anak yang ikut menjadi pengemis, pengamen dan penjaja buah dalam genggaman di lampu-lampu stop dalam kota.

Miris sekali kita lihat mereka. Dalam observasi yang saya lakukan di Lampu Stop Simpang BPKB Lambhuk, ada anak perempuan dengan memakai baju setengah lusuh menggedor pintu mobil untuk menjaja buah-buah (timun), pada saat teman seusia dia sedang belajar atau bermain dengan rekan sebaya di TPQ (Tempat Pengajian Al-Quran) atau tempat kursus.

Anak-anak di Lampu Stop itu bermasalah dengan kesejahteraan sosial. Mereka adalah "kelompok rentan" atau " marginal". Istilah ini digunakan untuk menggambarkan individu atau kelompok masyarakat yang menghadapi tantangan dalam mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang memadai.

Kelompok rentan dapat meliputi mereka yang mengalami kemiskinan, pengangguran, disabilitas, migran, tunawisma, korban kekerasan, anak jalanan, atau individu yang terpinggirkan secara sosial.

Mereka seringkali menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya, pendidikan, pekerjaan, perumahan, layanan kesehatan, dan perlindungan sosial.

Penting untuk memperhatikan dan memahami tantangan yang dihadapi oleh kelompok rentan ini, serta berupaya untuk memberikan dukungan, pemberdayaan, dan perlindungan yang sesuai guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain melakukan observasi, saya juga melakukan interview (wawancara) dengan seorang anak pedagang buah di Banda Aceh. Sebut saja namanya Indah Nian. Gadis cilik ini berusia sekitar 6 tahun. Dalam amatan saya, Indah Nian adalah gadis cantik andai dia terlahir dari keluarga berada.

“Dengan memakai baju alakadar saja gadis mungil ini tampak cantik sekali. Apalagi kalau dia memakai seragam sekolah atau baju pesta ya,” kata dosen kami dalam MK Academic Writing, Hasan Basri M Nur, tatkala saya memperlihatkan foto Indah Nian bersama saya kepadanya di kelas beberapa hari lalu.

Jualan Hingga Larut Malam

Saya sendiri terkesan dengan keberanian dan dedikasi Indah Nian. Gadis ini mengaku berasal dari Perumnas Ujong Batee Aceh Besar, dan merupakan siswa kelas 1 SD di sekolah setempat.

Indah Nian mengaku memulai usahanya menjual buah sejak jam 4 sore hingga tengah malam. Ditemani oleh ibunya, Indah Nian turun dari kendaraan dan mulai menjelajahi kafe dan warung kopi di Kawasan Lampineung Banda Aceh, selain di Lampu Stop.

Dengan penuh semangat, ia menawarkan buah-buahannya satu per satu kepada pelanggan di setiap meja, dengan harga Rp 10 ribu per cup.

Sungguh luar biasa melihat bagaimana seorang anak kecil dengan tekun dan gigih berusaha untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved